Jejak yang Hilang
Daftar Bagian
1. Bab 1. Teman Kecil Kesayangan
Tidak ada yang tahu Dhira adalah temanku dari kecil. Apalagi mengetahui rasa sukaku kepada Dhira. Ra
2. Bab 2. Menghindar
Tidak ada asisten redaktur terbitan surat kabar Minggu yang terlambat malam ini. Semua menyimak outl
3. Bab 3. Taksi Online
Ternyata di dunia yang semakin lama bertambah serba komersil ini masih ada teladan yang layak diangk
4. Bab 4. Bendera
"Kamu tuh nyakitin hati perempuan Faiz, kakak-kakakmu dua-duanya perempuan. Bisa-bisa gara-gara
5. Bab 5. Sejarah yang Tak Tercatat
Perang Riau (1782-1784), namun tidak ada satu pun buku sejarah di Indonesia yang menjadikan perang i
6. Bab 6. Putuskan Dia Sekarang!
Aku diam dan menatap wajah marah di depanku. Tak diragukan lagi perempuan di depanku ini mencintaiku
7. Bab 7. Kenangan
TKI yang bekerja secara illegal dan tidak dibayar bertahun-tahun, meninggalkan keluarga yang terus b
8. Bab 8. Menang
Dia memposting gambar di IGnya dengan gambar hati yang sebagian bergradasi warna yang mulai memudar.
9. Bab 9. Menjaga Jarak
Di panggung aku melihat bidadari redaksi, Dhira sedang melakukan pengecekan microphone. Aku berjalan
10. Bab 10. Wartawan Belanda
Ini kedua kalinya wartawan Belanda mendengar waktu di Indonesia yang tidak menyebut angka pasti. Su
11. Bab 11. Sumber Terpercaya
Pihak Jepang memberikan janji-janji manis kepada para pemuda, seperti pelatihan dasar kemiliteran da
12. Bab 12. Cerita Sang Penulis
Lebih dari separuh Romusha dalam kondisi sakit, berselimutkan goni yang sudah koyak-koyak, menderita
13. Bab 13. Jejak yang Hilang
Pada zaman kolonial, batu bara Sawah Lunto dibawa ke Pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Tambang ini ak
14. Bab 14. Lamaran
Aku terpana melihat siapa yang datang. Umi Ustadzah dan Nadhira. Nadhira sangat cantik dengan gamis
15. Bab 15. Rasa Kehilangan
Jantungku serasa copot dan menggelinding entah kemana. Dhira sudah tidak bekerja di sini lagi? Omega
3. Bab 3. Taksi Online

Benar dugaanku, akhirnya kami pulang jam 23 tepat tadi malam. Jangan tanya, kalau sudah mengenai narasumber, seakan-akan para jurnalis ini penilai paling hebat. Anehnya penilai hebat tersebut kadang-kadang hilang ketika dituangkan dalam tulisan. Feature yang mati, istilahku. Kurang greget, seperti masakan tanpa garam.

Kami akhirnya memilih lima kandidat yang menurut kami lebih layak menjadi “pahlawan” milenial karena aksi sosialnya yang memberi dampak sosial tinggi, dan kedekatannya dengan daerah kami tentunya. Yang pertama adalah guru di pelosok daerah Kampar, suatu daerah yang jauhnya kira-kira satu jam perjalanan dari ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Itu Kamparnya, sedangkan lokasi guru tersebut masih harus dicapai lagi kira-kira 1,5 jam perjalanan menuju ke arah Bukit Barisan yang berdiri dengan anggun pada satu sisi sepanjang Pulau Sumatera. Sorenya, pemuda itu masih mengajar mengaji di musala. Memang teladan dan calon penghuni surga.

Ada lagi seorang penggagas penghijauan di sekitar PLTA Kotopanjang. Pembangkit Listrik Tenaga Air ini adalah penopang kelistrikan di Riau, dibangun bekerjasama dengan Jepang, dengan menggelamkan desa-desa yang sekarang menjadi PLTA Kotopanjang. Begitu mahalnya pembangunan PLTA ini, bukan dari segi biaya, tetapi juga airmata penduduk desa. Mudah-mudahan mereka mendapat balasan pahala yang setimpal. Aku pernah bertemu pemuda penggagas penghijauan ini. Bertubuh gempal dengan jenggot tebal, menyembunyikan usianya yang masih muda. Dia lulusan Universitas Gadjah Mada, satu almamater dengan Presiden RI saat ini.      

Ada lagi seorang perempuan. Berjilbab panjang dan bercadar. Dia adalah pengagas makanan kecil khas Riau, yang menggunakan tenaga kerja dari daerah lokalisasi di sudut kota. Intinya dia dan teman-temannya, mengajak penjaja seks komersial, agar memilih jalan hidup yang lebih baik dan halal. Dengan membantu mereka belajar membuat kue, kripikdan lain-lain, dan membantu merancang kemasan yang menarik serta jalur distribusi pemasaran.

Dari tiga kandidat tersebut saja, aku sudah kepanasan, hareudang euy, meminjam istilah viral milenial. Rasa bahagia menyapa relung hati. Eh, ternyata di dunia yang semakin lama bertambah serba komersil ini masih ada teladan yang layak diangkat menjadi berita. Ditambah kandidat ke empat dan kelima, satunya seorang yang berhasil mengolah sampah menjadi energi skala kecil, satunya dokter muda yang mempunyai prestasi luar biasa.  

Karena pengaruh hareudang ini akhirnya aku baru bisa tidur jam 2 pagi.

“Faiz, Faiz, bangun, udah adzan, nanti kau telat salat subuh,” teriak Mama, yang kekuatan suaranya melebihi suara adzan bilal Masjid menggunakan dua microphone.

“Ya, Ma, sebentar.” Aku bangun dengan kepala berat, maklum baru empat jam terlelap. Belum lagi selesai mengancing baju koko, gantian ayah pula yang mengetok-ngetok pintu dan memanggil.

“Cepat Faiz, dah iqomat tuh. Ayah duluan.”

“Ya,” jawabku singkat. Mempercepat gerakan dan membuka pintu kamar. Inilah kewajiban laki-laki, berat. Salat lima waktu kalau bisa di masjid. Mungkin karena beratnya ini, makanya tugas melahirkan diberi kepada perempuan. Ish, bisa-bisa diamuk perempuan seluruh dunia aku bila mereka bisa membaca fikiran ini.

Selesai salat, aku langsung membuka laptop dan memberi perintah-perintah redaksional kepada asisten redaktur. Ngantuk akhirnya tidak tertahankan. Setelah menyelesaikan email-email tersebut aku kembali ke daerah nyaman, di balik selimut.

*

Motor ini bisa dibilang benda yang menghantar aku menjadi sarjana hukum. Dari pertama kuliah, sampai pertama kerja. Enam tahun sudah kami bersama, pastinya lebih lama dari beberapa pernikahan selebriti. Aih kok sampai ke sana. Sepertinya aku harus menyembunyikan remote TV di ruangan redaktur yang selalu berpindah channel ke saluran gossip selebriti. Setiap hari terdengar protes keras dari redaktur opini yang bertugas membuat kolom editorial, dan harus mendengar berita-berita up to date. Berdebat dengan redaktur halaman entertainment, yang memang hobby betul dengan gossip selebriti.   

Akhirnya motor butut ini terjual juga. Dua juta rupiah. Lumayanlah. Ketika hendak dibawa oleh pembelinya, aku masih mengelus motor Suzuki Shogun itu dengan rasa sayang. Petualangan kami sudah berakhir. Dia akan mengalami petualangan yang mungkin lebih seru lagi dengan bakul sayur. Ya, yang membeli motorku adalah penjual sayur.

Siangnya aku ditemani Kak Eka, kakakku yang pertama, akan ke showroom. Karena sekarang aku sudah bekerja, karena itu aku dapat membeli mobil secara kredit, dari sebuah perbankan syariah tenama, tempat kak Eka berkerja. Mulai hari ini dia sudah mengambil cuti melahirkan. Suaminya adalah seorang dosen arsitektur di Universitas Riau.

Pilihan yang paling memungkinkan dari gajiku yang tidak seberapa adalah sebuah citicar murah berwarna merah. Rencananya aku akan mendaftarkan diri menjadi supir taksi online juga pada salah satu perusahaan taksi online yang cukup terkenal saat ini. Kak Eka diam saja, sama sekali tidak mengemukakan pendapatnya terhadap pilihanku. Kakakku yang tertua ini memang pendiam, bertolak belakang dengan Kak Jihan yang sangat cerewet. Kata Mama, aku berada di tengah-tengahnya, tidak pendiam dan tidak cerewet.

Seperti aku, kedua kakakku juga cerdas. Kalau Kak Eka berkarir di Perbankan, meskipun seorang Sarjana Arsitektur, Kak Jihan sekarang adalah pegawai Kantor Imigrasi. Kak Jihan dan aku satu almamater, alumni Fakultas Hukum pada sebuah Universitas ternama di Sumatera Utara. Karena itulah, aku lebih akrab dengan Kak Jihan, daripada dengan kakakku yang pendiam ini.

Sebagai balasan kebaikan Kak Eka mengantarku ke showroom, aku menjadi supir pribadinya membeli segala tetek bengek calon ponakanku yang masih berada di dalam perut ibunya. Kata dokter, ponakan pertamaku ini seorang bayi perempuan. Wah, keluargaku ini memang kurang berimbang. Lebih banyak perempuan dari laki-lakinya. Berarti belum ada temanku yang bisa diganggu untuk salat berjamaah ke masjid.

Mama sudah sangat mencemaskan kondisi Kak Eka yang masih saja belum mengambil cuti hamil. Baru menjelang melahirkan, perkiraan dokter lima hari lagi, Kak Eka mengambil cuti melahirkan. Alasannya agar lebih lama dia bisa bersama bayinya di rumah. Karena jatah cuti melahirkan hanya 3 bulan. Tetapi yang paling penting menurut Mama, adalah belanja kebutuhan bayinya.

“Apa Kau hanya akan membungkus bayimu dengan sarung saja setelah dia lahir?” tanya Mama gemas, karena Kak Eka belum juga berbelanja kebutuhan bayinya. Aku terkekeh dalam hati melihat kepanikan calon nenek versus ketenangan calon ibu.

Meski anaknya perempuan, Kak Eka yang memang agak tomboy, tidak membelikan barang-barang yang serba pink buat si bayi. Kakakku itu memang penuh perhitungan, sangat cocok bekerja sebagai pegawai bank. Untuk barang-barang yang than lama seperti kereta bayi, boks bayi dia memilih warna netral.

“Bisa dipakai kalau adiknya cowok besok,” tegasnya kepadaku, “atau dipakai anak Jihan.” Hmm, siapa yang bisa melawan anak pertama. Ketika aku duduk dengan anteng bagaikan bodyguard, menjaga barang-barang kakak selagi dia membayar, suara heboh mengiringi pintu toko yang terbuka.

“Faiz..lagi ngapain kamu di sini?” suara cempreng dan muka cantik yang sangat ku kenal.

Aku terkejut bertemu Lola, pacar pertamaku di sini. Menggunakan seragam kantornya yang berwarna kuning cerah seperti warna mobiil Kak Jihan, dia berjalan dan berdiri tepat di mukaku, meninggalkan teman sekantornya yang menggunakan hijab.

“Kemana aja kamu Faiz.. sering banget ngga jawab pesan wa-ku,” tukas gadis itu lebih dekat dan tidak terlihat malu karena dilihat orang banyak.

“Ehm..” Belum sempat aku menjawab, Kak Eka sudah berdiri di samping Lola.

“Eh, Lola ya, kan?”

Ups, aku selamat.

“Eh kakak, ngga kelihatan tadi, belanja ya?”

“Iya. Lola ngapain ke sini?”

Kakak benar-benar to the point.

“Ini ada orang kantor melahirkan. Kami mau beli kado untuk bayinya.”

“Ooh, ya udah kakak tinggal dulu ya. Faiz hari ini kakak jadikan supir kakak.”

“Ooooh. Hati-hati ya Kak.”

Oooh yang panjang.

“Makasih Lola.”

Aku mengikuti kakak sambil tersenyum melihat Lola. Dia masih memberi kode dengan tangannya kepadaku. Telepon aku, demikian kira-kira kodenya.

***

  

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar