Kernet
Nenek asli Batu Besar? Kok saya baru lihat nenek. Sudah lama merantau nek?
Nenek
Bukan, suami saya yang rumahnya batu besar. Bapak rumahnya Batu Besar?
Kernet
Iya nek, rumah saya Batu Besar. Nenek merantau?
Nenek itu mengangguk dan diam. Bus bergoncang-goncang.
Kernet
Kemana nek?
Nenek
Saya di Sungai Panjang.
Kernet
Oh disana.
Nenek
Iya pak.
Mereka saling diam, kernet itu duduk di kursi samping nenek itu. Menghitungi karcis dan uang.
Kernet
Batu besarnya yang mana nek?
Nenek
Di Samping Stasiun Kereta yang mati ituloh.
Kernet
Oh rumah besar itu
Nenek
Iya
Kernet
Nenek dulu disitu?
Nenek
Memang bapak tahu?
Kernet
Disitu rumahnya orang terkenal nek. Orang kaya. Dulu saya masih kecil, orang itu jadi orang terkaya.
Nenek itu melongo dan bingung. Ia memandangi senja dari di atas bus yang terlihat merekah dibarat sana.
Kernet
(Sayup-sayup terhalau suara bus) Kalau tidak salah namanya (wawawa)
Nenek itu diam mengangguk.
Nenek
Betul pak, itu namanya (Nenek mengusap matanya yang berair)
Kernet itu dengan tenang menghitungi uangnya.
Kernet
Kalau tidak salah, dia itu preman nek. Dia juga dibunuh preman dijalan.
Nenek
Masak sih pak?
Kernet
Iya, masak nenek nggaktahu?
Nenek
Nggak.
Kernet itu membenarkan posisi duduknya.
Kernet
Lihatlah nek, hartanya banyak darimana. Memang orang itu dulu anaknya siapa? Sawah saja nggakpunya, sapi juga nggakpunya. Dapat uang darimana nek?
Nenek
Masak sih pak? Saya masih tidak percaya. Dia orang baik pak.
Kernet
Iya nek, orang Batu Besar juga tahu dia orang baik. Tapi caranya mencari kekayaan itulho. (wajahnya meyakinkan dan sinis)
Nenek
Masak sih pak? Kok saya baru dengar hari ini.
Kernet
Nek, sekarang coba deh dipikirkan lagi. Orang desa itu dapat uang darimana sih nek?. Kalau nggak tani ya dagang. Paling-paling ya kayak saya ini narik bus. Kalau orang itu nek, dapat uang darimana? Preman dia nek.
Nenek itu diam, jalanan yang menjelang magrib diisi dengan suara-suara sayup-sayup suara shollu-shollu masjid ketika hendak maghrib.
Bus berjalan berasap, berhenti kadang berjalan.
Bus berhenti disebuah warung kecil ditepi jalan. Dengan Masjid diseberangnya.
Nenek
Kenapa berhenti pak?
Kernet
Ini busnya mau masuk hutan nek. Ini masih maghrib juga, jangan masuk maghrib-maghrib. Nggak boleh.
Nenek
Oh, memangnya kenapa pak?
Kernet
Kalau nekat masuk, nanti bisa hilang nek. Nunggu barang setengah jam, nanti boleh berangkat lagi.
Supir bus turun beberapa orang turun, nenek itu diam di kursinya memegangi wajahnya sedih.
Seorang laki-laki tua yang juga penumpang mendekatinya. Dari depan tadi tempat duduknya, lalu berjalan ketempatnya.
Kakek
Kak (Mbak), mari ikut saya.
Nenek
Kemana pak?
Kakek
Kita berdoa dulu disana (katanya menunjuk tempat ibadah lusuh dengan lampu pijar yang redup)
Nenek
Baik. (sambil melihati kakek itu, sepertinya kenal, sepertinya)
Nenek dan Kakek itu turun dari bus. Berjalan sama-sama membungkuk ke arah Tempat ibadah di seberang jalan.
Kakek itu menyebrang bersama nenek, kakek itu menyebrangi jalan sepi dan temaram dengan membungkuk-bungkuk.
Mereka berdua berjalan, tenang dan terlihat sopan. Saling menyebrangkan jalan.
Mereka berwudhu. Berjalan pelan-pelan dan masuk kedalam masjid yang temaram lampunya.
Int. Masjid/Tempat ibadah sepi nan temaram
Sholat berjamaah dilakukan, sepertinya ini memang masjid untuk musafir. Jadi jarang orang datang dan membersihkan.
Hanya terlihat dua orang perempuan yang masih muda, sepertinya juga dari warung depan yang sedang sibuk akan sholat disana.
Nenek itu sholat sendiri dibagian perempuan, sedang kakek itu juga sholat sendiri dibagian laki-laki.
Dalam sujudnya yang dalam, ia berdoa, lumayan lama sujudnya.
Kakek itu sudah menyelesaikan sholatnya, dan menunggu dari luar.
Nenek itu berdoa, seperti yang dilakukannya tadi siang di seberang pos polisi.
Terlihat kernet dari seberang jalan, melambai-lambaikan tangannya pada kakek di masjid. Kakek juga melambaikan tangan sambil berkata, “Sebentar”
Nenek masih berdoa.
Kakek itu medekat dan berbicara dibelakangnya, (kalau gereja, mungkin disamping kursinya. Mungkin, cmiiw)
Kakek
Bus sudah hendak berangkat, mari
Nenek
Iya, mari
Mereka berdua berdiri dan sama-sama berjalan.
Mereka masuk kedalam bus dan duduk bersama. Di sebelah kiri kursi belakang.
Kakek
Mau kemana kakak memangnya?
Nenek
Batu Besar. Kalau bapak?
Kakek
Sama, saja juga mau ke Batu Besar.
Nenek tertarik dengan obrolan itu.
Nenek
Dimana pak rumahnya?
Kakek
Saya dibelakang balai. Kalau kakak ingin mengunjungi siapa?
Nenek
Saya ingin mengunjungi masa lalu.
Kakek
Masa lalu-nya memang ada disana?
Nenek
Iya
Bus berjalan, malam-malam, temaram lampu bus menggilas jalan yang sepi di tengah-tengah hutan dan ilalang begini.
Kakek
Kalau saya tidak salah dengar, apakah rumah kakak yang dibelakang stasiun?
Nenek
Iya.
Kakek itu tersenyum.
Kakek
Nanti turun bersama saya saja.
Nenek
Memang Bapak rumahnya dekat dengan situ?
Kakek
Sudahlah, ikut saya saja. Nanti saya cerita.
Nenek itu diam dan bus berjalan menggerus jalan sepi malam.
Terlihat, hutan sudahlah usai, berganti lampu-lampu yang terlihat lumayan temaram. Tanda masuk ke Batu Besar.
Jalan berkelok dengan berbagai macam gundukan dan pepohonan, namun terlihat malam.
Kakek itu terdiam, ia melihati Nenek itu diam. Bus berjalan dan kernet-pun berteriak.
Kernet
Tugu, tugu, tugu, tugu
Nenek itu hendak berdiri, namun kakek itu mencegahnya. Tangannya memberi petunjuk.
Kakek
Tenanglah kak, sebentar lagi.
Nenek itu diam dan mengangguk.
Orang-orang turun, diperempatan tugu dengan lampu merah hijau yang tidak berfungsi dan temaram.
Mereka semua diam dan memerhatikan.
Setelah semua turun, kernet naik lagi dan bus berjalan.
Kernet
Lapangan-lapangan
Kakek
Lapangan pak.
Kernet itu mengangguk, bus tetap berjalan dan kakek dan nenek itu bersiap turun.
Bus berhenti di depan sebuah lapangan dengan sebuah balai terlihat diujungnya.
Kakek itu turun dulu, dan nenek menyusul dibelakangnya. Sembari bilang terimakasih, nenek itu mengangguk pada Kernet itu.
Kakek itu berjalan, dengan tenang ia tetap berjalan didekat nenek.
Kakek
Masa lalu apa yang ingin kakak kunjungi?
Nenek
Saya tidak tahu pak.
Kakek itu diam dan tetap berjalan. Diantara temaram lampu kota disekitar balai, sepi.
Kakek
Suami dimana memangnya kak?
Nenek
Sudah meninggal, berpuluh-puluh tahun lalu.
Kakek
Iya nek, saya tahu.
Nenek
Bapak tahu?
Kakek
Iya, saya tahu siapa kakak dan siapa suami kakak.
Nenek itu diam. Ia diam. Sambil menahan air matanya, ia malu jika menangis.
Nenek
Saya tidak tahu lagi.
Kakek
Kenapa?
Nenek
Saya tidak tahu. Setiap hari saya hanya terbayang, saya akan bertemu dengannya.
Kakek itu tetap berjalan didepannya.
Nenek
Saya tahu dia meninggal, tapi saya tahu saya akan bertemu.
Nenek itu berjalan dibelakang kakek. Entah apa yang terjadi.
Mereka berdua berjalan, ke sebuah rumah kecil dibelakang balai. Rumahnya lumayan terang, ada seorang muda dengan anak-anak kecil disana.
Nenek itu diam, ia menyapa semuanya dengan anggukan.
Kakek
Ini nenek, dia teman kakek dulu.