Interior Bus dengan beberapa orang
Nenek itu berjalan kedalam bus, mencari kursi kosong disekitar depan. Namun penuh.
Adanya di belakang, ia melihat seseorang melambaikan tangannya agar duduk disampingnya. Nenek berjalan mendekatinya.
Laki-laki itu duduk di kursi tengah bukan dipinggir jendela, ia memberikan jalan dipinggir jendela pada nenek.
Nenek itu berjalan masuk hati-hati, dan berjalan berdoa sedikit pelan-pelan kesakitan. Lalu bersyukur. Alhamdulillah.
Bus berjalan tenang di jalanan yang sepi pedesaan.
Memandangi jalan, jalanan yang berlalu lalang kendaraan. Nenek terlihat senang, tegar, dan biasa saja.
Laki-laki disampingnya beranjak tidur sambil menyelonjorkan kakinya di antara kursi.
Nenek itu memandanginya.
Kernet datang dan menanyai nenek itu.
Kernet
Mau kemana nek?
Nenek
Ke Batu Besar.
Kernet
Lima ribu nek.
Nenek diam mencari dompetnya, ia bingung, ia lupa bahwa ia tidak membawa dompet. Uang yang diberi ibu-ibu tadi telah diberinya pada anak-anak lusuh ditepi jalan.
Tangannya menggerayahi kantong-kantong bajunya, tapi tak ada sama sekali.
Laki-laki disampingnya tiba-tiba merogoh kantongnya, membenarkan duduknya dan memberikan lima ribuan pada kernet itu.
Nenek
Tidak usah pak
Bapak-bapak
Tidak mengapa nek, (katanya sambil membenahi tempat duduknya)
Nenek
Terimakasih banyak.
Bapak-bapak
Mau kemana memangnya nek?
Nenek
Pulang
Bapak-bapak
Kemana nek?
Nenek
Ke Batu Besar
Bapak-bapak
Oh disana?
Nenek
Iya
Bapak-bapak itu diam sebentar, membenahi topinya dan menyelonjorkan lagi kakinya diantara kursi-kursi tengah bus.
Nenek itu memandanginya.
Nenek
Kalo bapak mau kemana?
Bapak-bapak
Pulang nek, ke rumah
Nenek
Dimana memangnya rumahnya?
Bapak-bapak
Di sekitar sungai merah
Nenek
Oh disitu
Bapak-bapak itu mengangguk-angguk
Nenek
Bapak sekarang bekerja?
Bapak-bapak
Iya nek
Nenek
Dimana pak?
Bapak-bapak
Saya kerja jadi tentara nek
Nenek
Oh iya?
Bapak-bapak
Iya
Nenek itu terdiam melihat bapak-bapak itu. Bapak-bapak itu juga terlihat diam saja.
Nenek
Tadi aku bertemu dengan beberapa anak muda yang ingin jadi tentara.
Bapak-bapak
Dimana nek?
Nenek
Dijalan sedang lari-lari
Bapak-bapak
Oh, dia mau jadi tentara?
Nenek
Katanya iya.
Mereka berdua diam lagi. Jalan yang buruk membuat bus bergoyang-goyang tak karuan.
Bapak-bapak
Saya satu tahun lagi pensiun.
Nenek
Sudah lumayan lama berarti menjadi tentara. Saya turut senang dengan pengabdian anda pak.
Bapak-bapak itu mengecutkan wajahnya meremehkan.
Bapak-bapak
Mungkin saya mengabdi nek, tapi saya tidak yakin ada gunanya. (Ia bernafas dengan sengau)
Semoga saja dunia benar-benar damai. (sedikit tertawa)
Nenek itu kaget mendengarnya. Bus bergoncang cukup hebat.
Nenek
Kenapa pak memangnya?
Bapak-bapak
Iya, mereka akan jadi orang yang berbeda ketika mereka tahu rasanya dekat dengan maut.
Nenek
Bagaimana?
Bapak-bapak
Ketika mereka mendengar desingan peluru dari musuh, saat itu juga, mereka jadi orang yang berbeda.
Rasanya seperti tergelincir di jurang, namun tak ada dasarnya.
Terjun terus menghilang. Tinggal menunggu terbentur saja dan hancur.
Penumpang lain terlihat tidur, nenek itu memerhatikan sekitarnya. Lalu memerhatikan bapak itu lagi dengan nada marah.
Nenek
Begitu?
Bapak-bapak
(Dengan malas menjawab) Iya, apalagi suatu waktu ketika mereka membunuh seseorang.
Mereka berdua diam dan bergoyang-goyang diatas bus.
Bapak-bapak
Satu tarikan pelatuk, satu nyawa melayang. (Bapak-bapak itu menunduk). Mudah sekali membunuh orang.
Nenek itu hanya mengangguk dan memerhatikan
Bapak-bapak
Bagaimana memangnya orang itu, bagaimana memangnya keluarganya? Bagaimana ia. Kita mengubur mimpi dan hidupnya saat itu juga. Saya merasa bukan manusia saat itu.
Nenek
Bagaimana anda tahu?
Bapak-bapak
(Menarik nafas panjang) Saya tahu, karena saya telah membunuh tiga orang di medan perang.
Nenek itu diam saja. Memerhatikan.
Bapak-bapak
Siapa yang tega melihat pertempuran, berjibaku darah seperti itu? (nadanya meninggi)
Dua teman saya, mati di medan pertempuran. Dua hari aku tak bisa merasakan apa yang terjadi. (Tentara itu bangkit dari bungkuknya, bicara dengan tenang)
Mungkin sampai saat ini, aku tak bisa menjelaskannya. Seperti tadi, aku terjun, semakin lama semakin cepat, semakin lama semakin hilang. Tinggal menunggu waktu untuk meledak dan hancur. (Katanya marah sembari memeragakan kepala yang hancur dengan tangannya)
Nenek
Bapak menyesal?
Bapak-bapak
Saya tidak bisa membantunya. Sekarangpun, saya tidak bisa membantu keluarganya. Saya rasa dua orang teman saya, mereka beruntung. Dan saya adalah seorang yang sial.
Nenek itu diam, ia mendengarkan dengan seksama.
Nenek
Bapak menyesali itu?
Bapak-bapak
Saya menyesal. Sangat. Saya lebih baik mengikuti kata bapak saya untuk tetap di desa. Kerja sebagai petani. Meskipun sedikit hasilnya, tapi tidak seburuk ini.
Atau saya lebih baik ikut pergi bersama dua teman saya.
Nenek
Kenapa harus disesali?
Bapak-bapak
Karena memang berat hidup seperti ini. (sambil memandang wajah nenek, lalu menunduk)
Nenek
Memang apalagi selain bapak kehilangan teman?
Bapak-bapak
Saya pernah membunuh orang.
Nenek
Bukankah itu hal yang biasa dalam peperangan?
Bapak-bapak
Biasa. (katanya tegar).
Mereka berdua diam, bapak itu mengusap-usap hidungnya.
Nenek
Apa yang anda rasakan ketika harus membunuh orang?
Bapak-bapak
Bangga. Namun hanya satu jam.
Nenek
Setelah itu?
Bapak-bapak
Saya merasa hilang.
Bus berjalan terus diantara jalanan dengan kanan kiri pemandangan.
Bapak-bapak
Kita menang. Orang-orang dibalik bukit, mereka kalah. Ketika itu dua temanku mati. Ketika itu juga aku merasa harus membalas kematian dua temanku.
Bus berhenti dan menurunkan beberapa penumpang. Sayup-sayup kernet berteriak-teriak terdengar.
Bus berjalan dan bapak itu melanjutkan ceritanya.
Bapak-bapak
Orang pertama, dia meminta ampun padaku. Dia berteriak-teriak dan menangis didepanku. Tapi aku tetap membunuhnya. (bapak itu menghirup nafas panjang)
Bapak-bapak
Orang kedua, dia diam saja. Tapi dari matanya berkata tolong maafkan aku. Aku juga tetap membunuhnya.
Bapak-bapak
Orang ketiga, dia diam dan terlihat marah denganku. Sampai ia meregang nyawa. Ia tetap menatapku marah. Ia mati dengan mata terbuka. (bapak itu membungkuk, ia terlihat menyesal)
Nenek itu diam, ia memerhatikan saja bapak tentara itu bercerita.
Tentara itu mengucek-ucek matanya, sambil berusaha tegar menatap langit-langit bus.
Bapak-bapak
Sekarang saya hilang. Saya mati rasa, dan ketika saya membunuh orang lagi. Saya juga sudah mati rasa. Saya bukan manusia. Saya hilang diantara sorot mata yang masih terbuka dipikiranku sekarang.
Bus terlihat dari kejauhan, menyongsong.
Nenek itu terlihat memandangi bapak-bapak tentara yang sedang bercerita tadi.
Bapak-bapak
Begitulah. Semoga saja dunia ini damai. Setiap malam aku tak bisa tidur nyenyak, karena aku telah memutus kehidupan orang.
Nenek
Iya benar pak, semoga saja dunia ini damai.
Mereka berdua saling diam. Bapak itu menatap luar jendela.
Bus berjalan, dan mereka berdua saling diam.
Jembatan sudah terlihat, kernet juga teriak-teriak jembatan.
Bapak itu berdiri dan bersiap untuk turun dari bus.
Bapak itu menyapa mengangguk kepada nenek. Nenek itu berkata dan tentara itu membungkuk untuk mendengarkan nenek di kursinya.
Nenek
Mungkin benar pak, jika dunia belum benar-benar damai. Tapi, ada satu kedamaian yang layak bapak dapatkan.
Bapak-bapak
Apa itu nek?
Nenek
Kedamaian yang ada di diri bapak. Bapak mulai berdamai dengan diri bapak sendiri. (tangan nenek itu menyentuh dada bapak diantara goncangan bus.)
Bapak tentara itu tersenyum tertawa, berdiri pergi dan mengusap matanya dengan lengannya. Membenarkan posisi tas di pundaknya, ia berjalan pergi meninggalkan busnya.
Bapak tentara itu gelisah, beberapa kali ia hampir jatuh dari tempatnya berdiri. Beberapa kali juga ia mengusap-usap matanya.
Dengan senyum, ia berjalan keluar dan menegapkan tubuhnya.
Bus berjalan, Nenek itu diam memandangi jendela yang sudah merekah senja. Pertanda hari hampir malam.
Bus tetap berjalan, namun pelan, pelan sekali.
Kernet bus itu mendekat, sekedar mengajak bercengkrama sepertinya.