Laki-laki dengan tubuh jangkung baru saja keluar dari rumah besar dengan pohon cemara di depannya. Ia berjalan menuju mobilnya yang terpakir di luar gerbang rumahnya.
"Gak mau saya antar aja, Mas?" tanya Iwan, supir keluarga yang masih muda.
"Gak usah, Mas. Shaka lagi buru-buru."
"Ya, sudah. Hati-hati di jalan."
Shaka memasuki mobilnya dan mengendarai dengan kecepatan yang bisa dibilang tinggi. Beberapa kali ia harus melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Janji yang ia buat bersama Bundanya beberapa waktu lalu mungkin akan sedikit tidak sesuai rencana. Tinggal di rumah berbeda membuat mereka berdua sulit bertemu.
Sesampainya di rumah Bundanya, Shaka langsung masuk. Ia melihat Amelia—nama Bundanya—tersenyum sumringah ke arahnya.
"Bunda." Shaka langsung mencium tangan Amelia. "Maaf agak telat."
Amelia mengelus kepala anaknya, "Iya. Gak apa-apa. Kamu udah makan?"
"Udah, Bun."
"Ya, udah, kalo gitu ayo ngobrol-ngobrol sama Bunda di taman belakang."
Shaka mengangguk dan mengikuti Amelia menuju halaman belakang rumahnya. Sudah lama sekali sejak ia terakhir berkunjung ke sini. Sejenak ia melupakan masalah dengan Ayahnya.
"Ayah gimana? Sehat?"
"Iya, Bun."
"Kamu berantem sama Ayah kamu?"
"Iya, Bunda. Shaka capek sama Ayah. Shaka pengin tinggal sama Bunda aja."
Suara gemericik air terdengar nyaman di telinga Shaka. Suasana di rumah ini jauh lebih tenang dari rumah Ayahnya yang setiap hari selalu ada saja keributan.
"Bunda kenapa cerai sama Ayah, sih, Bun?" tanya Shaka. Sudah sembilan tahun sejak perceraian kedua orang tuanya dan dia belum mendapatkan jawaban apa pun dari kedua orang tuanya.
Amelia tersenyum tipis, "Ayah kamu punya orang lain yang lebih dia cintai. Apa Bunda harus bertahan dilingkaran pernikahan kalau salah satu dari kami sudah tidak mencintai?"
Shaka tertunduk, "Maaf Shaka egois."
"Bukan tugas kamu untuk meminta maaf, Nak."
"Shaka kangen sama suasana rumah yang dulu."
"Sabar, ya. Maafin Bunda udah menyakiti hati kamu."
Laki-laki dengan kacamata tipis itu memeluk Bundanya, "Shaka sayang banget sama Bunda."
"Bunda lebih sayang sama Shaka."
Lantas keduanya tertawa, walau pun keduanya masih menyimpan luka yang berbeda.
...
"Raka! Balikin dompet gue!"
"Gak mau, wleeee!"
Shaka memasuki kelas yang terdengar ramai dari luar. "Lo ngapain, Rak?" tanya Shaka kepada temannya.
"Udah gue bilang jangan panggil gue 'Rak'!. Panggil 'Ka', kan, bisa," cibir Raka.
"Kan nama lo Raka. Masa harus gue panggil Cinta."
Farah tertawa keras, kemudian menghampiri Raka dan merebut dompetnya. "Dasar rak buku!"
"Heh!"
"Lo tau gak dompet ini isinya banyak tau!"
"Halah palingan hasil malak adek kelas!"
"Lo masih malak, Far?" tanya Shaka.
"Eh, anu, enggak, kok!"
Raka berbisik di telinga Shaka sedikit keras, "Bohong dia! Gue liat dia malak anak kelas sepuluh di bawah tangga!"
"Ih, Raka! Apaan, sih?!"
Shaka meletakkan tasnya yang belum sempat dilepaskan dari punggungnya, kemudian berjalan ke arah Farah, "Jangan malak-malak lagi. Gue gak suka."
Di tempatnya berdiri, Farah cemberut. "Lo kenapa, sih, peduli sama apa yang gue lakuin?"
Shaka tidak menjawab. Ia hanya menatap Farah datar.
"Jawab, Shaka!"
"Karena lo ngambil punya mereka."
"Gue cuma ngambil sepuluh ribu dari mereka!"
Shaka menahan untuk tidak beteriak di depan teman-teman sekelasnya. "Sepuluh ribu bagi lo emang cuma dikit. Tapi, bagi beberapa orang di luar sana, sepuluh ribu itu banyak, Far!"
"Iya, iya! Gue gak malak lagi."
"Lo selalu bilang gitu. Tapi, besoknya diulangi lagi."
Raka menarik Shaka, mengajaknya keluar supaya tidak beradu mulut dengan Farah. "Udah, Ka. Jangan buang-buang tenaga buat ladenin Farah. Inget, besok lo ada kompetisi matematika."
Shaka teringat, bahwa besok ia harus mewakili sekolahnya untuk kompetisi matematika.
...