45. EXT. PANTAI-SORE
Dua tahun kemudian.
Sebentar lagi malam, tetapi sepertinya sang mentari masih enggan untuk pergi. Cuaca sore itu hangat. Angin sepoi-sepoi sesekali bertiup, menyapu rambut seorang pria yang sedang duduk di bibir pantai dengan kedua tangan dilipat dan ditumpu di atas lutut.
UTARA
Belum mau pulang, Mas?
GAMA menoleh pada pemilik tangan yang sedang mengelus bahunya pelan dan tersenyum. UTARA duduk di sampingnya sambil mengisap rokok yang dijepit di tangan kanan.
GAMA
Sebentar lagi, ya?
GAMA mengambil tangan UTARA dari bahunya dan mengecup punggung tangannya pelan, tetapi dalam dan penuh kasih sayang.
GAMA
Cuacanya lagi bagus.
UTARA tidak menjawab. Ia menyodorkan rokoknya kepada GAMA, yang langsung diisapnya dari tangan UTARA.
UTARA
Ambil aja.
Rokok yang sudah sisa setengah itu berpindah ke tangan GAMA. UTARA kemudian melingkarkan tangannya di lengan kekasihnya dan menyandarkan kepala di atas bahunya.
UTARA
Ga kerasa, ya, Mas. Udah dua tahun.
GAMA
Mm. Terasa seperti baru kemarin, waktu kita berlabuh di pantai ini.
UTARA
Iya, setelah naik kapal hampir tujuh jam. Pak Jaya hebat, deh, bisa nemuin tempat terpencil kayak gini.
GAMA tersenyum mendengar nama itu disebut.
GAMA
Oh, iya. Mas udah lama ga nelpon Pak Jaya. Gatau kabarnya gimana sekarang. Semoga baik-baik aja.
UTARA bergumam pelan, setuju dengan apa yang baru saja diucapkan GAMA. Ia memejamkan kedua matanya, menikmati angin sore menyapa wajah manisnya. GAMA melirik pada wanita yang disayanginya itu. Dimatikannya rokok yang sudah hampir habis di atas pasir dan tangannya berpindah untuk mengelus-elus pelan tangan UTARA yang masih melingkar di lengannya.
SELESAI