33. INT. KANTIN LAPAS PASIR PUTIH-SIANG
Lima belas menit lagi pukul satu siang. UTARA sudah selesai dengan makan siangnya. Ia tinggal duduk manis dan menunggu salah seorang sipir untuk membawanya ke ruang interogasi, yang kini merupakan tempat favoritnya di seluruh dunia.
Jam berjalan sangat lambat. Jarum detik pada jam raksasa yang terdapat di tengah-tengah kantin seolah sedang malas bekerja. UTARA mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai, tidak sabaran.
Ketika jarum pendek menunjuk angka satu, UTARA tersenyum lebar. Satu menit berlalu. Dua menit. Tiga menit. Kok tidak ada sipir yang menjemputnya?
UTARA berdiri dan menghampiri salah satu sipir yang sedang berjaga di dekat situ.
UTARA
Tahanan 272. Aku mau ketemu Mas Gama. Kok gaada sipir yang jemput?
Sipir
Tidak ada perintah. Duduk kembali sana.
UTARA mengerutkan alisnya bingung.
UTARA
Kan udah dari kemarin begitu. Kalau jam satu, aku dibawa buat ketemu sama Mas Gama.
Sipir
(dengan tegas)
Kalau dibilangin gaada perintah, ya berarti gaada perintah. Duduk kembali dan tunggu sampai waktu istirahat selesai, lalu kembali ke sel bersama tahanan lainnya.
Ekspresi UTARA terlihat kesal.
UTARA
Mana si Baskara? Biar aku ngomong sama dia.
Bertepatan dengan itu, UTARA melihat BASKARA berjalan memasuki kantin. Kepalanya celingukan.
UTARA
Nah, kebetulan banget. Baskara!
UTARA melambai-lambaikan tangannya sembari memanggil nama BASKARA dengan keras, membuat beberapa pasang mata menaruh perhatian padanya.
BASKARA mendengar panggilan itu dan apabila dibaca dari gerakan mulutnya, ia baru saja mengucapkan, "Aha!". BASKARA berjalan mendekati UTARA dengan sebuah senyuman lebar.
BASKARA
Sudah selesai makan siangnya, tahanan 272?
UTARA
Ngga usah basa-basi. Nih, kata dia gaada perintah untuk bawa aku ke ruang interogasi. Kan aku mau ketemu Mas Gama. Bilangin, noh, Bas, bawahanmu.
UTARA menoleh pada sipir yang masih berdiri di sebelahnya dengan mencibir.
BASKARA
Oh, iya, soal itu.
Ekspresi BASKARA yang semula ceria menjadi datar.
BASKARA
Gama ngga dateng hari ini. Tadi pagi ada ini. Dikirim ke sini. Untuk kamu.
BASKARA menarik amplop merah tua berisi surat yang semalam GAMA tulis dari saku seragamnya.
BASKARA
Dari Gama.
UTARA menyambut amplop itu dengan bingung. Ia membolak-balikkan amplop itu. Pada bagian depan, tertulis namanya dengan tinta berwarna emas.
UTARA
Kenapa Mas Gama ga dateng?
UTARA kembali menengadah ke arah BASKARA, tangannya yang memegang amplop ia turunkan.
BASKARA
Liat aja di suratnya, mungkin dia bilang.
Dengan itu, BASKARA pun pamit dari hadapannya.
34. INT. SEL UTARA-SIANG
Walau tidak seantusias ketika biasanya duduk di hadapan GAMA, UTARA tetap tersenyum saat duduk di atas kasur selnya dan menatap amplop di tangannya.
Ia membalikkan amplop itu dan membuka segelnya pelan-pelan, takut sobek. Ditariknya keluar kertas yang terdapat di dalamnya dan membukanya, kemudian mulai membaca.
GAMA (V.O)
Utara, mulai hari ini kita sudah tidak perlu bertemu lagi. Saya sudah dapat cukup bahan untuk dimasukkan ke dalam biografi kamu yang akan saya tulis. Tolong habiskan sisa-sisa harimu dengan menyenangkan. Sampai 19 Juni. Gama.
UTARA meremas kertas di genggamannya. Napasnya memburu. Ia meronyok kertas itu beberapa kali sehingga menjadi bola kertas yang kecil dan melemparnya hingga menabrak pintu selnya, kemudian terjatuh ke lantai.
Ia menoleh kepada buku "Mati atau Mati" yang sudah hampir selesai ia baca tergeletak di tempat tidurnya. UTARA mengambil buku tersebut dan melemparkannya ke arah yang sama dengan kertas tadi, sehingga kedua benda itu kini berada di lantai, dengan jarak yang tidak terlalu berjauhan.
UTARA menatap buku dan surat tersebut dengan marah. Ia kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Kedua tangannya dikepal di samping tubuhnya, lalu ia berteriak marah.
35. INT. KANTIN LAPAS PASIR PUTIH-SIANG
Makanan di atas meja belum disentuh oleh UTARA sama sekali. Dua tangannya berada di sisi kiri dan kanan nampan, matanya menatap lurus ke depan.
Ia menghabiskan semalaman memikirkan alasan sebenarnya GAMA berhenti datang. Menurutnya, masih banyak hal yang belum ia ceritakan pada GAMA. Masih banyak cerita-cerita menarik akan masa lalunya yang UTARA inginkan untuk ada di dalam biografi dirinya.
TAHANAN 159
Eh, liat.
TAHANAN 159 adalah seorang pria di pertengahan 40-an, brewok tebal dan tubuh yang dipenuhi tato. Ia menyenggol tahanan yang berjalan bersamanya dengan siku, karena dua tangannya menggengam ujung-ujung nampan makanannya.
Tahanan di sampingnya menoleh dengan pandangan bertanya. Si TAHANAN 159 mengangguk ke arah UTARA, mengisyaratkan pada temannya untuk melihat ke arah yang sama dengannya. Begitu mengerti siapa yang ia maksud, si TAHANAN 214, tertawa mendengus. Pria dengan kepala plontos dan sebuah bekas luka panjang di sisi kepala sebelah kanannya menarik si TAHANAN 159 mendekat pada meja tempat UTARA sedang duduk sendiri.
TAHANAN 159
Kasian banget, ditinggal gebetannya. Langsung gamau makan gitu.
TAHANAN 214
Padahal itu cowonya cuma mau manfaatin buat nulis buku doang.
UTARA tidak merespon. Ia bahkan tidak bergerak sama sekali.
TAHANAN 159
Heh.
Si TAHANAN 159 menyenggol kaki meja UTARA dengan ujung kakinya, membuat UTARA tersentak dan mendongak.
TAHANAN 214
(dengan mengejek)
Dia sedih banget kayaknya, sampai ga sadar sekeliling.
Dua tahanan di depannya itu tertawa dengan mengejek.
TAHANAN 214
(dengan keras)
Eh, liat, deh. Si pelacur lagi sedih ditinggal cowonya.
Karena diucapkan dengan setengah berteriak, hampir seluruh ruangan kantin itu dapat mendengarnya. Hal itu mengundang tawa beberapa orang tahanan.
TAHANAN 159
Makanya ... cewek tuh menikah saja, jadi istri orang. Ga usah kau sok-sokan mau bunuh orang lain. Sekarang dipenjara, malah jadi pelacur di sini. Untung saja cowo itu gamau sama kau. Pintar dia.
Ucapan si TAHANAN 159 itu lagi-lagi mengundang tawa dan anggukan setuju dari TAHANAN 214 yang masih berdiri di sampingnya.
TAHANAN 214
Mana cowonya itu orang yang bakal bunuh dia, lagi. Tolol.
TAHANAN 159
Licik dia, mau pakai cara itu supaya bisa menghindar dari hukuman mati. Padahal--
Ketika sedang tertangkap lengah, UTARA segera meraih garpu di atas nampannya. Garpu itu kini dihujamkan berkali-kali di leher si TAHANAN 159 tanpa ampun. Situasi menjadi ricuh. Ada tahanan yang kaget. Ada yang menyoraki UTARA untuk membunuh si TAHANAN 159 di tempat saja.
Beberapa orang sipir datang untuk melerai. UTARA tetap tidak mau melepaskan pria yang baju tahanannya kini sudah dihiasi cipratan darah. Bajunya sendiri pun kena.
Karena perkelahian sepihak itu tak kunjung selesai, salah seorang sipir terpaksa menghentikan UTARA menggunakan stunt gun, membuatnya segera terjatuh tidak sadarkan diri.
36. INT. SEL-MALAM
UTARA terbangun dan terduduk di sebuah ruangan yang asing. Ia telah dipindahkan ke sel baru. Sel baru yang akan dijaga jauh lebih ketat. Ia tidak akan diperbolehkan untuk keluar dari sel ini sama sekali. Semuanya harus ia lakukan tanpa keluar dari sel barunya ini, termasuk makan dan mengganti pakaian.
Matanya mengedar ke sekeliling dan mengerjap-ngerjap. Kepalanya terasa pusing. UTARA berusaha mengingat kembali apa yang terakhir terjadi sebelum ia berakhir di sel barunya ini.
Ia masih belum sepenuhnya sadar ketika mendengar suara sesuatu dibuka. Celah di pintu selnya. Hanya sebuah celah berukuran kira-kira 15cmx10cm yang penutupnya hanya bisa dibuka dari luar.
BASKARA
Hai, sudah bangun?
UTARA tidak menjawab. Ia melihat sepasang mata BASKARA mengintip dari celah kecil itu. Kemudian ia mendengar suara pintu selnya dibuka. BASKARA melangkah masuk dan pintu di belakangnya kembali ditutup, lalu dikunci dari luar.
BASKARA melemparkan sebuah senyum. Senyum yang tidak terlalu lebar, tetapi membuat UTARA merasa sedikit lega karena ia tidak perlu was-was, tidak perlu takut apakah BASKARA bermaksud untuk datang dan menghajarnya sampai babak belur untuk membalaskan perbuatannya kepada tahanan di kantin tadi siang.
Pria di hadapannya itu bersandar pada pintu sel. UTARA membetulkan posisi duduknya. Kedua kakinya kini bersentuhan langsung dengan lantai. Kepalanya tertunduk, tidak lagi melihat pada BASKARA.
BASKARA melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap wanita di hadapannya dengan cermat.
BASKARA
Jadi, kamu sekarang dipindahkan ke sel ini.
Hening.
BASKARA
Tau, kan, kenapa?
Hening lagi.
BASKARA
Gara-gara tadi siang.
BASKARA menarik kursi yang terdapat di sudut ruangan. Ia duduk tepat di depan UTARA dengan posisi kursi yang terbalik. BASKARA menumpukan kedua lengannya di sandaran kursi.
BASKARA
Kenapa, tadi siang?
UTARA masih juga bergeming. BASKARA merasa heran. Ia menghela napas pelan.
BASKARA
Saya dengar dari yang lain, katanya gara-gara pada ngejekin kamu?
UTARA memainkan ujung-ujung jarinya dengan ujung-ujung jari yang lain.
BASKARA
Soal Gama?
Mendengar nama itu disebut, UTARA mendongak. Tatapan matanya tajam.
BASKARA
Iya? Soal Gama?
BASKARA paham maksud dari diam UTARA. Ia menghela napas sekali lagi, kali ini lebih kuat dari sebelumnya.
BASKARA
Untung aja si tahanan 159 gapapa, cuma lukanya cukup parah dan tadi sempat pingsan karena darah yang keluar cukup banyak. Kamu brutal juga, ya, 272.
BASKARA belum menyerah. Ia akan membuat UTARA berbicara.
BASKARA
Tau, gak? Sejak pertama kamu sampai di sini, saya tuh udah kagum sama kamu. Sifat kamu periang banget, saya sempat kaget. Lima tahun saya jadi kepala sipir di sini, saya sudah ketemu segala macem tahanan. Tapi, yang sifatnya ceria kayak kamu, baru pertama kali ini.
UTARA tampak tidak tertarik dengan pembicaraan ini sama sekali. Namun, ia diam saja. Ia suka pada si BASKARA ini. Menurut UTARA, BASKARA orangnya seru. Oleh karena itu, ia biarkan saja pria itu terus mengoceh.
BASKARA
Si Gama juga, tau.
Lagi-lagi, mendengar nama itu disebut, UTARA mendongak.
BASKARA
Gama juga udah bolak-balik lapas ini. Dia udah ketemu bermacam-macam jenis tahanan. Dia bilang, belum pernah ada yang seceria kamu ketika sedang diwawancarai.
Bibir UTARA sedikit bergetar.
BASKARA
Kamu tau? Gama udah nulis sebelas buku. Sebelas orang yang ia eksekusi, sebelas orang pula udah dia wawancarai. Baru kamu, orang pertama, yang menurutnya, punya kepribadian yang asik.
UTARA
(memotong)
Terus?! Terus kalau gitu kenapa tiba-tiba ga dateng?! Wawancaranya belum selesai, banyak yang belum aku ceritain!
Berhasil. BASKARA berhasil membuat UTARA bersuara. Walaupun suaranya sedikit bergetar, BASKARA dapat mendengar UTARA dengan jelas.
BASKARA
Kamu sudah baca, surat dari dia?
UTARA
Udah! Apa-apaan! "Saya sudah mendapat cukup bahan"? Dia belum dapat apa-apa!
BASKARA
Dia bilang begitu, dalam suratnya?
BASKARA memandang dengan tenang UTARA yang sedang marah dengan mata yang berkaca-kaca dan bibirnya yang bergetar.
BASKARA
Kamu pengen, ceritamu dibaca dan dikenang banyak orang? Kamu bisa ceritain ke saya. Kalau ada yang menarik, nanti saya sampaikan ke Gama.
UTARA
(dengan ketus)
Ga usah!
UTARA membuang pandangannya ke arah lain.
UTARA
Biarin aja. Dengan apa yang dia punya sekarang, dia ga bakal bisa nulis apa-apa. Biarin aja, bukunya ga akan ada yang beli.
BASKARA tersenyum kecil dan mengangguk.
BASKARA
Ya sudah, kalau itu maumu.
Kepala sipir itu bangkit dari duduknya dan mengembalikan kursi ke tempat semula.
BASKARA
Kalian berdua ini, ternyata lebih mirip dari yang saya kira. Padahal kalau dilihat dari kepribadian, kalian sangat bertolak belakang.
Setelah mengucapkan itu, pintu sel dibuka dan BASKARA menghilang di baliknya. UTARA menatap pria itu sampai ia keluar dan ruangan itu kembali sunyi, bingung dengan apa yang dimaksud oleh si kepala sipir itu.