28. INT. RUANG CCTV-SIANG
Pukul 12 lewat 30 menit siang. GAMA dan BASKARA sedang makan nasi bungkus bersama. Sudah lama sejak terakhir kali mereka makan siang bareng. BASKARA terus melirik sebuah map berwarna gelap yang dibawa oleh GAMA.
Baskara
Bawa apaan, sih, Gam?
GAMA
Bab 1.
BASKARA
Bab 1 buku lo? Buku soal si Utara?
GAMA mengangguk.
BASKARA
(bersemangat)
Mau baca!
BASKARA bermaksud mengambil map tersebut, tapi GAMA lebih cepat merebutnya dan meletakkannya ke sisi meja yang lain agar temannya itu tak dapat mengambilnya.
BASKARA
(dengan kesal)
Lo kenapa ga pernah kasih gue baca, sih?
GAMA
Tunggu aja pas nanti udah rilis.
BASKARA
Kelamaan. Lagian, ngapain lo cetak terus lo bawa ke sini kalau bukan buat gue baca?
GAMA
Jangan geer. Ini gue cetak buat si Utara.
BASKARA yang semula ingin menyuapkan nasi ke dalam mulutnya berhenti. Ia membenarkan posisi duduknya menghadap GAMA, menatap sahabatnya itu dengan tatapan aneh. Merasa diperhatikan, GAMA pun menoleh dengan mulut yang masih penuh oleh makanan.
GAMA
Kenapa?
BASKARA
Lo agak beda beberapa hari ini.
GAMA
Udah tiga bulan sejak lo ketemu gue. Jelas beda, lah.
BASKARA
Engga. Gue udah kenal lo ... lima tahun? Sejak gue jadi kepala sipir di sini. Gue udah hafal banget sama sifat lo.
GAMA
Terus?
GAMA memberikan ekspresi bingung, tidak mengerti akan apa yang dibicarakan oleh BASKARA.
BASKARA
Pertama, lo orangnya ga pernah mau repot.
GAMA mengangguk membenarkan sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
BASKARA
Tapi kemaren lo ngebawain buku buat si Utara cuma karena dia minta.
Sekali lagi, GAMA mengangguk, tetapi ia masih bingung.
BASKARA
Kedua, lo ga pernah mau nunjukin draf tulisan lo buat siapapun. Tapi sekarang? Lo sampai cetak buat si Utara baca.
GAMA
Ya, terus? Ini kan karena gue emang nulis biografinya dia. Dia minta gue tunjukin karena pengen mastiin gue nulis cerita hidupnya dengan bagus dan benar. Dia juga punya hak buat baca.
BASKARA
Oh ya? Karena dia minta gitu, langsung lo cetakin?
GAMA
Ya ... iya? Masa gue angkut komputer gue ke sini? Kan ga mungkin.
BASKARA hanya mengangguk, memutuskan untuk tidak berdebat lebih lanjut. Ia kemudian bergerak untuk membersihkan bungkus sisa makanannya dan membuangnya ke tong sampah.
BASKARA
Kalau kata gue, nanti pulang, lo renungin lagi. Yaudah, gue panggilin dulu, ya, si Utara. Pas lo selesai makan langsung ke sana aja nanti.
Sebelum keluar, BASKARA menepuk punggung sahabatnya beberapa kali, meninggalkan GAMA yang kebingungan.
29. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG
H-11.
UTARA
Hai, Mas Gama.
GAMA menarik kursi dan duduk di hadapan UTARA, sama seperti hari-hari sebelumnya.
GAMA
Iya, hai.
UTARA
Bawa apa?
UTARA menunjuk pada map di genggaman GAMA.
GAMA
Draf bab 1.
UTARA
(bersemangat)
Udah jadi? Liat!
GAMA tersenyum melihat antusiasme UTARA. Ia menyodorkan map itu pada wanita di hadapannya. UTARA meraihnya dengan cepat dan mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi paragraf-paragraf hasil ketikan GAMA di dalamnya.
UTARA
Wow. Aku baca dulu, ya?
Begitu mendapat persetujuan berupa anggukan, UTARA dengan cepat segera tenggelam ke dalam barisan kata-kata.
GAMA, tidak punya kegiatan lain yang dapat ia lakukan, memutuskan untuk memperhatikan UTARA. Ia memperhatikan ekspresi wajahnya ketika membaca tiap kalimat. Untungnya, wanita di hadapannya itu sangat ekspresif, sehingga ia dapat tahu apakah UTARA menyukai apa yang sedang dibacanya itu.
Setelah beberapa saat, UTARA sadar bahwa ia sedang diperhatikan. Ia menengadah.
UTARA
Kenapa, Mas?
GAMA
Gapapa.
GAMA menggeleng.
GAMA
Lanjutin.
UTARA pun melanjutkan membacanya.
UTARA
(dengan nada mengejek)
Hati-hati, lho, Mas, kalau ngeliatin terus. Nanti suka.
Ucapan UTARA itu membuat GAMA terperanjat. Ia berdeham beberapa kali dan kini beralih untuk menatap dinding, langit-langit, atau lantai. Ia ingin melihat ke mana saja kecuali kepada UTARA. Sementara UTARA, mengintip dari balik kertas yang sedang digenggamnya dan tersenyum senang karena berhasil membuat GAMA salah tingkah.
Selama beberapa menit, ruangan kecil tersebut sunyi. Hanya ada suara kertas yang dibalik sesekali dan suara detik jarum jam. GAMA sedang membenarkan letak jam tangannya ketika UTARA meletakkan kertas-kertas draf GAMA kembali ke atas meja.
UTARA
Udah selesai baca.
GAMA
Udah? Gimana?
UTARA mengangguk beberapa kali.
UTARA
Suka. Bagus.
Dua kata itu berhasil membuat GAMA tersenyum lebar.
GAMA
Bener? Gaada yang kurang?
UTARA mengangguk lagi.
UTARA
Udah bagus menurut aku. Mas kalau deskripsiin sesuatu detail banget. Kata-katanya juga bagus.
Sebelum GAMA dapat membuka mulut, UTARA sudah terlebih dahulu menyela.
UTARA
Aku udah baca Mati atau Mati. Udah sampai halaman 76.
GAMA
Wih, cepet juga.
UTARA
Habisnya bagus banget. Aku mau langsung baca sampai habis, tapi kan lampu dimatiin jam 9 malam. Jadi mau gamau harus berhenti, deh.
GAMA
Pelan-pelan aja bacanya.
UTARA
Ga boleh pelan-pelan, Mas. Nanti ga keburu. Kan dua minggu lagi, eh, ga nyampe. Kan sepuluh hari lagi aku bakal ditembak mati.
Ucapan UTARA barusan membuat GAMA tertegun. Iya, yang diucapkannya tidak salah. GAMA memang akan mengeksekusinya dalam sepuluh hari. Kini keduanya saling bertatapan. UTARA, sambil tersenyum. GAMA, sambil tertegun.
UTARA
Mas hari ini mau tanya soal apa?
Sambil bertanya, UTARA membereskan kertas-kertas di hadapannya dan memasukkannya kembali ke dalam map, kemudian mendorongnya melintasi meja, ke arah GAMA, yang langsung disambutnya.
GAMA
Um ... sebentar.
GAMA merogoh sakunya, mencari buku catatannya.
UTARA
Kalau gatau mau nanya apa, hari ini kita ngobrol aja, Mas.
Tidak ada jawaban. GAMA mengeluarkan buku catatan dan pen miliknya. Ia membaca daftar-daftar pertanyaan yang sudah pernah ditulisnya untuk ditanyakan. Hanya ada beberapa pertanyaan yang tersisa. Pandangan GAMA berpindah dari buku catatannya ke UTARA, ke buku catatan, dan kembali ke UTARA. Ia mendesah dan menutup bukunya.
GAMA
Mau ngobrolin apa emang? Kalau ga penting, jangan.
UTARA
Hmm ... apa, ya? Apa aja, sih.
GAMA
Kalau gitu kita terusin wawancaranya aja, ya.
GAMA kembali membuka buku catatan miliknya.
UTARA
Ih, jangan!
Kedua tangan UTARA yang terborgol maju untuk menahan GAMA agar tidak membuka buku kecil itu.
UTARA
Tanggal lahir Mas kapan?
GAMA
Kok malah ngobrolin soal saya? Gamau.
GAMA sudah akan membuka bukunya lagi, ketika UTARA lagi-lagi menahannya.
UTARA
Ih, kapan?
GAMA akhirnya pasrah. Ia meletakkan buku catatannya di atas meja.
GAMA
7 Januari 1948.
UTARA
Oh. Capricorn. Pantes judes.
GAMA
Kamu percaya begituan?
UTARA mengangguk.
UTARA
Seru, tau. Mas ga percaya?
GAMA
Ga.
UTARA
Terus percayanya apa?
GAMA
(dengan sedikit ragu)
Takdir ... mungkin?
UTARA
Ketemu aku juga takdir?
UTARA memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua tangan di atas meja.
GAMA
Kalau bukan, apa? Karena zodiak juga?
GAMA ikut memajukan tubuhnya. Kini jarak dua orang itu tidak lebih dari 20cm.
UTARA
Zodiak kan cuma menjelaskan sifat dan meramal peruntungan seseorang.
Lalu dua orang itu diam. Hanya ada suara napas dan detik jarum jam.
UTARA
Berarti "ini", juga bagian dari takdir, ya?
GAMA
(dengan bingung)
"Ini"?
UTARA
Ini, yang lagi Mas rasain. Yang lagi kita rasain.
GAMA berangsur mundur. Ia tidak sepenuhnya tahu apa yang dimaksud wanita di hadapannya itu. Tidak, ia tidak mau tahu apa yang dimaksud wanita itu sama sekali.
30. EXT./INT. LAPAS PASIR PUTIH-SORE
GAMA dan BASKARA sedang berjalan bersama. GAMA yang akan pulang karena urusannya hari itu sudah selesai dan BASKARA yang menemaninya berjalan keluar dari lapas.
GAMA
Bas.
Yang dipanggil menoleh, tetapi langkahnya tidak berhenti. Keduanya berjalan beriring-iringan menyusuri lorong.
BASKARA
Kenapa?
GAMA
Lo sama pacar lo, si Wina ...
BASKARA
Kenapa gue sama Wina?
GAMA
Masih?
BASKARA
Ya, masih, lah!
GAMA
Udah berapa tahun? Enam?
BASKARA
Tiga bulan lagi tujuh tahun. Kenapa deh? Ngebet nikah ya lo?
BASKARA memukul-mukul lengan GAMA dengan main-main, bermaksud mengejeknya. Namun, melihat wajah GAMA tetap datar, ia menghentikan keusilannya.
Mereka tiba di depan pintu. BASKARA membukanya dan GAMA berjalan keluar, kemudian ia menyusul setelahnya. Pintu di belakangnya dibiarkannya menutup sendiri.
BASKARA
Kenapa deh? Lo lagi suka sama orang ya?
GAMA mengerjapkan matanya beberapa kali dan kembali menatap sahabatnya.
GAMA
Emang lo bisa tau pas lo suka sama si Wina?
BASKARA
Ya, tau, lah. Ini pasti lo lagi jatuh cinta yaaa? Iya, kan? Iya, kan?
BASKARA tidak mendapat jawaban, tetapi itu tidak menghentikannya untuk kembali mengusili sahabatnya.
BASKARA
Ayo, siapa, nih, yang bikin adek gue kepikiran terus, hm?
GAMA
Ih, adek apaan? Orang beda sembilan bulan doang.
BASKARA
Jangan alihin pembicaraan, ya, Gama. Jadi, siapa yang bikin adek gue kepikiran terus?
Tangan BASKARA berpindah ke puncak kepala GAMA yang sedikit lebih pendek darinya dan menepuknya beberapa kali sambil tersenyum usil ke arahnya.
BASKARA
Hm? Hm? Siapa nih? Siapaaa?
Tidak biasanya GAMA diam saja diusili seperti ini. Ia menatap ke dalam mata BASKARA dalam-dalam dan mengucapkan nama itu dengan tegas.
GAMA
Utara.
BASKARA menghentikan tepukannya dari puncak kepala GAMA. Ia menarik tangannya perlahan.
BASKARA
Gama ....
GAMA mengangkat sebelah tangannya, menghentikan BASKARA sebelum ia melanjutkan kalimatnya.
GAMA
Gue tau, ok? Gue udah mikirin konsekuensi yang bakal gue terima kalau gue ga nahan diri. Ga usah ceramahin gue.
BASKARA tidak melanjutkan kalimatnya, melainkan menatap sahabatnya dengan sedikit iba.
GAMA
Gue pergi dulu. Sampai besok.
BASKARA
Iya. Hati-hati, Gam.
BASKARA mengikuti sosok itu berjalan menjauh, dengan bahu tegapnya yang ditegakkan dan tangan kiri yang menjepit map di antara tangan dan tubuhnya. Ia menghela napas panjang.
31. INT. KAMAR TIDUR GAMA-MALAM
GAMA tidak bisa tidur. Tubuhnya yang semula menyamping kini menjadi telentang. Wajahnya dihadapkan ke sebelah kiri, menatap ke luar jendela. Langit malam itu tidak terlalu cerah, tetapi sinar bulan cukup terang. GAMA diam pada posisi itu selama beberapa saat.
Di dalam kepalanya sedang ribut. Beberapa menit kemudian, suara-suara di dalam kepalanya mencapai suatu keputusan. Ia pun segera bangkit dan berjalan menuju ruang kerjanya.
32. INT. RUANG KERJA GAMA-MALAM
GAMA menyalakan lampu ruang kerjanya dan segera berjalan menuju meja kerjanya. Ia duduk dan menarik laci dari sisi meja sebelah kanan. Dikeluarkannya secarik kertas, sebuah amplop, dan sebuah pena.
Sesaat setelahnya, hanya terdengar suara goresan pena di atas kertas memenuhi ruangan yang sunyi itu. Satu paragraf. Dua paragraf. GAMA mencoret kalimat terakhirnya kuat-kuat. Ia meronyok kertas itu dan melemparnya ke tong sampah.
Ditariknya lagi secarik kertas baru dari laci yang sama. Kemudian ia lipat kertas tersebut satu kali dan memasukannya ke dalam amplop berwarna merah tua.