23. EXT. SEKOLAH DASAR NEGERI 67-SIANG
UTARA mendekati pendopo SDN 67. Di jalanan depan sekolah sudah dipenuhi penjual-penjual kaki lima, siap menerima pundi-pundi rupiah dari para pelajar. Beberapa menit lagi bel pulang sekolah.
Sembari menunggu, UTARA bercermin pada kaca salah satu mobil yang terparkir dekat sana dan membenarkan kerah kemejanya. Ia juga menyisir rambutnya sedikit. Setelah memastikan ia terlihat rapi, UTARA tersenyum kepada pantulan dirinya sendiri. Ia merasa bersemangat. Bersamaan dengan itu, terdengar dering bel pulang sekolah. Anak-anak segera berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing.
UTARA menghampiri anak pertama yang dilihatnya.
UTARA
Dek, kamu tahu, gak, anaknya Indra Wardana yang mana?
Anak perempuan yang ditanyai itu sedikit bingung, tetapi kemudian mengangguk.
ANAK PEREMPUAN
Namanya Cakra. Dia kalau pulang sekolah biasanya makan di kantin sambil nungguin ekskul futsal.
UTARA
Ciri-cirinya gimana?
Anak yang ditanyai itu berpikir.
ANAK PEREMPUAN
Dia lebih tinggi dari aku, mungkin segini.
Tangan sebelah kanannya terangkat beberapa sentimeter di atas kepalanya.
ANAK PEREMPUAN
Badannya agak gendut. Seragamnya paling bersih di sekolah ini.
UTARA
Ok. Makasih, ya, Dek.
UTARA segera berjalan menjauh dan masuk ke dalam gedung sekolah untuk mencari kantin yang dimaksud anak perempuan tadi. Tidak sulit menemukan kantin tersebut, karena ternyata letaknya berada di bagian depan gedung sekolah. Terdapat pula sebuah papan dengan tulisan "KANTIN SEJAHTERA" di atas pintu masuknya.
UTARA memasuki kantin yang dipenuhi oleh anak-anak SD itu. Bau berbagai jenis makanan yang menyatu menyapa hidungnya. Terdapat kurang lebih sepuluh meja di dalam kantin dan barangkali ada lebih dari ratusan anak di dalam sana.
UTARA
Sial, gimana nyarinya kalau gini?
Ia berjalan dengan hati-hati di antara kerumunan manusia-manusia kecil di dalam sana. Matanya mencari-cari anak yang sekiranya cocok dengan deskripsi anak perempuan yang tadi ditanyainya.
UTARA
(bergumam)
Yang seragamnya bersih ....
Tidak lama kemudian, matanya menangkap seorang anak bertubuh montok yang seragamnya terlihat putih mengkilap di antara teman-temannya yang berseragam putih kekuningan. Rambutnya tampak klimis, ditata ke atas dengan gel rambut, menampakkan seluruh jidatnya. Ia terlihat seperti seorang bapak-bapak di dalam tubuh seorang anak SD. UTARA berjalan mendekatinya yang sedang makan bakso bersama teman-temannya.
UTARA
Cakra?
UTARA menunjukkan senyumnya yang paling lebar. Anak yang merasa terpanggil itu mendongak. Wajahnya yang congkak membuat UTARA merasa ingin menghantam kepalanya ke dalam mangkok bakso yang berisi kuah panas.
CAKRA
Siapa lo?
UTARA
Nama Kakak Karina. Kakak dikirim Ayah buat jemput kamu pulang.
Ya, tentu saja ia harus memalsukan namanya. Banyak teman-teman CAKRA yang ikut mendengar percakapannya di sini.
CAKRA
Pak Joko ke mana?
Pak Joko? Ah, untunglah otak UTARA dapat berputar dengan cepat. Ia sudah terbiasa berbohong seperti ini.
UTARA
Pak Joko sedang sakit, jadi Kakak yang ke sini menjemput kamu.
CAKRA
Gue ada ekskul futsal. Ayah tahu, kok.
UTARA
Hari ini jangan ikut ekskul dulu. Ibu kamu masuk rumah sakit, jadi ayah kamu ingin kamu segera ikut ke sana.
Air muka CAKRA tiba-tiba berubah. Panik.
CAKRA
Bunda kambuh lagi?! Minggu lalu kata dokter Bunda udah sembuh!
Oh, sepertinya keadaan sedang memihak kepada UTARA hari itu. Ibu CAKRA ini memang penyakitan? Sebuah kebohongan yang tepat. Anak itu pasti akan percaya dan berjalan mengikutinya beberapa menit lagi.
Benar saja. Walaupun sempat menjejalkan paksa tiga butir bakso ke dalam mulutnya, CAKRA cepat-cepat meraih ranselnya dan berpamitan kepada teman-temannya, kemudian keluar dari kantin bersama UTARA.
CAKRA
Kakak bawa mobil?
UTARA
Iya, tapi parkirnya agak jauh. Tadi di depan sekolah penuh.
CAKRA tidak menjawab. UTARA dapat melihat rasa khawatir di wajah bocah itu. Sepertinya ia memang sangat panik setelah mendengar bahwa ibunya masuk rumah sakit ... lagi.
Setelah berjalan tidak lama, UTARA menemukan sebuah gang kecil yang sepi. Ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang memperhatikan dan segera menarik CAKRA ke dalam gang sempit yang gelap itu. Sebelum anak itu dapat bereaksi, UTARA sudah lebih dahulu meraih bagian belakang kepalanya dan menghantamnya keras ke tembok beberapa kali sampai darah mulai mengucur dan anak itu jatuh pingsan.
24. INT. BENGKEL TERLANTAR-SORE MENJELANG MALAM
Bocah itu mengerang pelan dan perlahan membuka matanya. Hal pertama yang ia rasakan adalah perih pada kepala bagian kirinya. Setelah kesadarannya sudah datang sepenuhnya, tubuh CAKRA mulai memberontak, tetapi ia terikat dengan kencang di atas sebuah kursi. Khas film-film penculikan sekali.
Ia menoleh ke sekitarnya. Namun, pencahayaan yang remang-remang membuatnya susah mengenali tempat di mana ia berada.
UTARA
Hai. Udah bangun lo?
UTARA muncul dari dalam bayang-bayang.
CAKRA
A-apa-apaan! Lepasin!
UTARA
Hmm ... gak.
CAKRA
Mau apa lo?! Kalau Ayah tahu, lo bakal mampus!
CAKRA berteriak, tetapi suaranya bergetar karena takut. UTARA hanya nyengir lebar.
UTARA
Ayah lo ga akan tahu kalau lo pulang tinggal bangkai doang.
CAKRA
Tolong! Tolongin aku!
UTARA
Teriak aja. Gaada yang bisa denger lo dari sini.
CAKRA
Mau apa?! Uang?
UTARA menggeleng.
UTARA
Gaada gunanya uang buat gue. Gue cuma mau ngasih ke lo apa yang layak lo dapatkan.
CAKRA menatapnya bingung sekaligus takut. UTARA tertawa kecil dan kembali masuk ke dalam bayang-bayang. CAKRA tidak dapat melihat apa yang dilakukannya dengan jelas. Ia hanya dapat mendengar suara sebuah kotak dibuka, suara peralatan besi saling menabrak karena diacak-acak, dan suara kotak tersebut kembali ditutup.
Ketika UTARA kembali ke dalam pandangannya, kedua matanya membelalak begitu melihat sebuah tang yang sudah berkarat di dalam genggaman wanita itu. Ia mulai menendang-menendang, tetapi sayangnya kakinya juga terikat, sehingga aksi itu tidak membantunya sama sekali.
Sambil tersenyum lebar, UTARA mendekati bocah yang mulai menangis itu. Dengan tangan kirinya, dicengkeramnya kedua pipi anak itu dengan keras sehingga mulutnya terbuka, membentuk huruf O.
UTARA
Ini ...
Ia mengarahkan tang itu ke dalam mulut CAKRA.
UTARA
... untuk ...
Ia menekan pegangan tang tersebut, membuat ujung-ujungnya terbuka dan menjepit gigi geraham kiri bawah CAKRA tepat di tengah-tengahnya.
UTARA
... Teo.
UTARA memastikan gigi geraham itu sudah terjepit dengan erat di antara ujung-ujung tang itu sebelum mencabutnya paksa. Teriakan lolos dari tenggorokan CAKRA, tapi tidak untuk waktu yang lama, karena UTARA kembali mencengkeram pipinya kuat.
UTARA
Tiga gigi, kan, yang patah, dari Teo?
Ujung tang itu bergerak ke gigi geraham sebelah kanan.
UTARA
Tiga juga akan diambil dari lo.
Satu gigi geraham lagi lepas dan dilemparkan asal ke lantai.
UTARA
Atau mungkin dua kali lipatnya.
Kini tang berkarat itu berpindah ke gigi premolar CAKRA.
UTARA
Itu kalau lo masih hidup setelah yang ini.
Satu gigi lagi dicabut dengan paksa. CAKRA sudah tidak bergerak. Napasnya yang semula memburu perlahan-lahan pelan. Kesadarannya hampir hilang. Entah karena rasa sakit yang ia rasakan atau karena pendarahan yang banyak di dalam mulutnya. Atau keduanya.
UTARA
Eh, mati lo? Jangan dulu dong.
UTARA melepaskan cengkeraman pada pipi CAKRA. Kepalanya langsung terkulai ke bawah dengan lemas dan darah mengucur dari dalam mulutnya, mengenai seragam putih dan celana merahnya.
UTARA
Oi, jangan mati dulu.
Didorongnya dagu bocah itu, membuat kepalanya terkulai ke belakang. Tidak ada respon.
UTARA
Yah. Lemah bener, gitu doang mati.
Tangan kiri UTARA berkacak pinggang.
UTARA
Ck. Yaudah, sekalian aja dihabisin.
Gigi-gigi yang masih ada di dalam mulut kecil itu dicabut satu per satu sampai ompong sepenuhnya. UTARA kemudian mengumpulkan semuanya ke dalam satu kantong plastik kecil dan menyelipkannya di dalam saku seragam CAKRA.
FLASHBACK OUT
25. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG
GAMA menyimak cerita itu dengan baik. Kata demi kata. Sementara UTARA, napi itu bercerita dengan heboh. Kedua tangannya bahkan ikut bergerak untuk menambak keseruan dalam ceritanya. Intonasi suaranya berubah-ubah, membuat GAMA penasaran akan tiap kalimat yang akan diucapkan selanjutnya.
UTARA
Mas tahu, setelah itu mayatnya aku apain?
Alis GAMA terangkat sebagai respon.
UTARA
Aku bakar terus aku buang ke tempat sampah. Badannya udah hancur sampai gaada bentuknya. Tapi gigi, gigi ga pernah hancur. Jadi setidaknya orang tuanya bisa nyimpan giginya sebagai kenang-kenangan.
UTARA tersenyum lebar mengakhiri ceritanya.
GAMA
Wow.
Bersamaan dengan itu, GAMA menyelesaikan aktivitas mencatatnya.
GAMA
That was a good one, you know?
Mata UTARA bersinar-sinar karena senang.
UTARA
Mas bisa, tulis yang bagus? Biar banyak yang suka.
GAMA menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum ke arah UTARA.
GAMA
Akan saya coba.
UTARA
Boleh aku baca dulu, ga? Nanti yang udah selesai diketik, kasih tunjuk ke aku.
GAMA
Bahkan Baskara aja ga pernah saya kasih lihat progres nulisnya, lho. Padahal dia sering minta.
UTARA
Ih, kan, aku orang yang akan Mas ceritakan di dalam sana.
GAMA
Well, we´ll see, okay?
UTARA mengangguk. Dan pertemuan hari itu diakhiri.
26. INT. LORONG SEL LAPAS PASIR PUTIH-SORE
Sesudah GAMA pamit dan pergi, UTARA dibawa kembali ke dalam sel. Ketika sedang menyusuri lorong panjang untuk tiba di selnya, UTARA bersiul-siul ceria sambil memperhatikan buku bersampul hitam di tangannya. Bibirnya tersenyum lebar.
Saat sang petugas sedang membuka pintu sel UTARA, napi yang ditahan di sebelah sel miliknya dikeluarkan entah untuk alasan apa. UTARA tidak terlalu peduli. Namun, tiba-tiba saja tahanan 273 itu memanggil namanya.
TAHANAN 273
Hei, 272. Pelacur.
Kata itu membuat UTARA terpancing. Ia melirik tajam ke arah pria tua di sampingnya.
TAHANAN 273
Semua di sini udah tau. Kau mau buat algojo itu buat kabur dari sini. Makanya kau senyum-senyum terus sejak hari pertama ketemu dia. Udah berhasil kau buat dia jatuh cinta pakai muka lacur kau itu?
UTARA sudah siap menghancurkan wajah pria itu, tetapi tentu saja ditahan oleh petugas.
PETUGAS SEL
(dengan tegas)
Hei, hei! Udah, ga usah cari masalah. Masuk!
Petugas itu mendorong UTARA masuk ke dalam selnya dan ia mendengar suara mengunci dari luar. UTARA melempar buku di genggamannya ke atas tempat tidur, kemudian duduk di atasnya.
UTARA
Apa maksudnya si 273?
UTARA merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan gusar. Ia merasakan buku yang tadi dilemparnya mengganjal punggungnya. Tangannya merogoh ke bawah punggung dan menarik keluar buku itu dari bawah tubuhnya. UTARA kemugian mengangkat buku itu tinggi-tinggi, memperhatikannya lekat-lekat.
UTARA
Gama Samudra ....
Jari jempol UTARA mengelus pelan bagian nama penulis yang dicetak dalam warna putih.
27. INT. RUANG KERJA GAMA-MALAM
GAMA duduk di depan komputernya. Ia menggigit-gigiti kulit mati di jempolnya. Matanya menatap pada kalimat menggantung yang terakhir diketiknya. Kalimat itu sudah menggantung sejak tiga puluh menit yang lalu karena ia tak kunjung menemukan kata-kata yang tepat untuk mengakhirinya.
GAMA
Aish. Si Utara itu kalau cerita senyam-senyum terus, padahal lagi ngomongin soal pembunuhan. Kan jadi susah gue bayangin ekspresi dan perasaannya pas ngebunuh.
Kepala GAMA berputar keras. Ia berusaha kembali kepada wawancara tadi siang dan dua hari sebelumnya. Namun, entah mengapa, yang paling ia hafal dan ingat adalah senyum dan ekspresi semangat UTARA ketika ia bercerita.
GAMA menggeleng-gelengkan kepalanya kencang dan ia kembali berada di ruang kerjanya lagi, di depan komputer yang kursornya berkedip-kedip.
Bersamaan dengan itu, ia mendengar suara pintu ruang kerjanya dibuka. Seorang gadis di awal 20-an masuk dengan sebuah nampan berisi beberapa potong buah dan segelas jus. Ia meletakkan piring dan gelas di atas meja kerja GAMA dan membalikkan badan, bermaksud meninggalkan ruangan itu.
GAMA
Mbak Yasmin, bentar, deh.
Yang dipanggil itu segera menoleh.
GAMA
Ibu kamu gimana? Masih pilek?
MBAK YASMIN
Iya, Mas. Ibu udah tidur. Tadi minum obat.
GAMA
Udah dua hari, kan? Kalau besok belum sembuh, seperti biasa, ya. Suruh pulang dulu. Nanti malah nularin ke saya, lagi. Kan beliau yang masak setiap hari.
MBAK YASMIN
Iya, Mas. Kalau gitu, permisi dulu.
Setelah membungkuk sedikit kepada GAMA, Mbak Yasmin, anak salah seorang ART yang bekerja kepada GAMA, membalikkan badannya lagi untuk keluar dari ruangan. Untuk kedua kalinya, ia dihentikan lagi.
GAMA
Mbak Yasmin, satu lagi.
MBAK YASMIN
Iya, Mas?
GAMA
Coba senyum.
Mendengar permintaan itu, tentu saja ia terkejut.
MBAK YASMIN
H-hah? Maksudnya, Mas?
GAMA
Ya senyum aja, senyum biasa. Kayak gini.
GAMA memberikan sebuah senyum palsu kepada Mbak Yasmin sebagai contoh. Walaupun sedikit canggung, sebagai ART, tentu saja ia harus menuruti keinginan majikannya. GAMA menatap senyuman yang diberikan gadis itu selama beberapa detik, membuatnya tambah canggung.
MBAK YASMIN
U-udah belum, Mas?
Ekspresi datar GAMA yang menatap wajahnya membuat gadis muda itu malu.
GAMA
Yaudah, udah. Cukup. Sana. Jangan ganggu saya, ya. Itu lampu-lampu di luar sekalian matiin aja habis ini. Saya kayaknya bakal di sini sampai tengah malam.
MBAK YASMIN menatap majikannya bingung, tapi kemudian cepat-cepat keluar dari ruangan itu. GAMA sangat galak apabila ia diganggu ketika sedang bekerja.
Setelah gadis muda itu menutup pintu ruang kerjanya, GAMA memasang ekspresi bingung akan dirinya sendiri. Ia menumpu dagunya di tangan.
Gama
(bergumam)
Ck. Aneh.