20. EXT./INT. LAPAS PASIR PUTIH-SIANG
GAMA memasuki gedung lapas dan menghela napas lega begitu merasakan sejuknya ruangan menerpa tubuhnya. Matahari bersinar begitu terik siang itu, membuat semua orang merasa enggan untuk berlama-lama di luar.
BASKARA yang sedang menulis sesuatu di atas meja resepsionis menoleh mendengar suara pintu membuka dan menutup. Senyum lebar mengembang di wajahnya.
BASKARA
(dengan semangat)
Gama! Panas, ya, di luar?
GAMA mengangguk.
GAMA
Banget. Rasanya bentar lagi gue gosong.
BASKARA tertawa. Matanya menangkap benda yang terjepit di antara jemari GAMA. Ia menutup ujung penanya yang masih terbuka dan menjulurkan kepalanya untuk mengintip benda apa yang dibawa sahabatnya itu.
BASKARA
Bawa apaan, Gam?
GAMA
Oh, ini.
GAMA menunjukkan buku yang dibawanya dan BASKARA membentuk huruf O dengan mulutnya.
BASKARA
Buat inspirasi nulis soal si Utara?
GAMA
Engga, anaknya minjem. Katanya mau baca.
BASKARA mengerutkan kedua alisnya, bingung.
GAMA
Kenapa liatin gue kayak gitu?
Yang ditanya menggeleng pelan.
BASKARA
Gapapa, tumben aja. Yuk, gue anterin, nanti sekalian gue suruh bawain si tahanan 272.
Kedua pria itu pun berjalan bersamaan.
21. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG
H-12.
Dua orang itu kembali duduk berhadap-hadapan seperti hari-hari sebelumnya. GAMA menyodorkan buku di genggamannya kepada UTARA yang menyambutnya dengan ekspresi bersemangat. UTARA mengelus pelan sampul buku di hadapannya, kemudian mengangkatnya perlahan, mengamatinya takjub.
UTARA membawa jarinya melintasi lembar demi lembar dengan cepat, wajahnya ia majukan sedikit untuk menghirup bau khas buku yang menyeruak. Ia menarik napas dalam-dalam.
UTARA
Aku paling suka bau buku, Mas. Enak.
GAMA
Sama, saya juga. Kamu kayaknya suka baca buku, ya?
UTARA
Lumayan. Ini aku bawa dulu gapapa, Mas?
GAMA
Bawa aja.
UTARA
Jadi ... Mati atau Mati ini karya kesukaan Mas? Kenapa?
GAMA
Kamu sudah tahu itu tentang siapa?
UTARA menggeleng.
GAMA
Asmar Syahrif.
Napi di hadapannya terkesiap. GAMA mengangguk sambil menyunggingkan senyum kecil.
GAMA
Mm-hm. Si dalang di balik aksi terorisme. Dua kejadian di tahun 1974, satu di 1976, empat di 1979, dan terakhir pembajakan pesawat tahun 1980. Tanggal eksekusinya 13 April pada tahun yang sama.
UTARA mengangguk-angguk dengan senyum lebar. Dari nada bicara GAMA, ia mengerti ke mana GAMA akan membawa kalimatnya.
UTARA
Puas banget, ya, Mas?
GAMA
Banget. Kamu tahu? Selama wawancara, ia tidak banyak bicara. Responsif, tapi tidak bercerita di luar apa yang ditanyakan. Namun, di hari eksekusi, dia nangis. Nangis sambil minta maaf ke almarhumah ibunya karena udah gagal menjalankan misi hidupnya .... Heran.
GAMA menggeleng-geleng begitu mengingat kembali hari itu.
UTARA
Ih, Mas, kok, bocorin isi bukunya, sih? Nanti ga seru lagi.
Mendengar itu, GAMA tergelak.
UTARA
Perasaan Mas gimana, waktu bunuh dia?
GAMA menganggukkan kepalanya ke arah buku di genggaman UTARA.
GAMA
Baca aja. Saya tuliskan semuanya di dalam sana. Itu kasus eksekusi favorit saya, sehingga saya benar-benar all-out untuk buku itu. Butuh waktu hampir dua tahun untuk saya menyelesaikan buku itu, karena saya bertekad membuat cerita Asmar Syahrif ini karya saya yang paling sempurna.
UTARA
Aku jadi ga sabar buat baca. Nanti aku nilai, ya, bagus atau engga.
GAMA
Ok. Nah, karena kamu sudah tahu kasus favorit saya, sekarang giliran saya ingin tahu soal kasus pembunuhan favoritmu.
UTARA membenarkan posisi duduknya dengan antusias, membuat suara gemerincing rantai borgol memenuhi ruangan kecil itu.
UTARA
Aduh, gimana, ya? Aku ga bisa milih. Semua pembunuhanku seru banget, tapi ada satu yang paling aku inget sampai hari ini.
GAMA
Shoot.
GAMA segera merogoh saku jasnya untuk mengeluarkan buku catatan kecil miliknya, sementara UTARA mulai bercerita.
UTARA
Mas tahu, ciri khas aku dalam membunuh?
GAMA menggeleng, mengangkat kedua alisnya dan bertanya tanpa kata.
UTARA
Di berita, kata mereka, aku ini pembunuh dengan motif dan korban paling acak, kan? Tidak ada pola, tidak ada ciri khas tertentu. Semua korban terlalu berbeda satu dengan yang lainnya. Makanya mereka kesulitan menangkap aku?
Pria di hadapan UTARA itu mengangguk, karena memang betul apa yang dikatakannya. Selama masa pencarian sang pembunuh, pihak kepolisian mengambil kesimpulan bahwa UTARA hanya murni membunuh untuk bersenang-senang. Korban-korbannya memiliki bentuk fisik dan latar belakang yang terlalu berbeda dan tidak ada titik yang menghubungkan mereka dengan satu sama lain. Hal ini sangat jarang ditemukan pada pembunuh berantai, yang umumnya memilih korbannya berdasarkan bentuk fisik atau latar belakang yang mirip.
GAMA
Lalu, apakah kamu sebenarnya mempunyai kriteria dalam memilih korban?
UTARA mengangguk.
UTARA
Ada, dong. Masa asal bunuh aja.
Gama
Jadi, bagaimana caramu memilih korban?
Utara
Mereka semua orang-orang yang jahat, Mas. Mereka melukai orang lain, sehingga mereka tidak pantas untuk hidup. Aku hanya membunuh orang-orang yang seperti itu.
GAMA
Contoh?
UTARA
Cakra Wardana, 8 tahun. Familiar? Korbanku yang paling muda.
Anggukan kecil diberikan oleh GAMA.
GAMA
What´s the story behind him?
UTARA
Jadi gini ...
FLASHBACK IN
22. EXT./INT. ANGKOT-SIANG
Siang itu, UTARA sedang berdesak-desakkan dengan ramainya penumpang angkot. Memang saat itu sedang jam sibuk. Bertepatan dengan jam pulang anak sekolah dan juga jam istirahat siang para pekerja, angkot-angkot yang berlalu-lalang tidak ada yang tidak penuh. UTARA tidak punya tujuan pasti, ia hanya ingin pergi ke pusat kota.
Ia sedang tergencet di pojok paling belakang angkot berwarna biru itu. Bau asam khas keringat memenuhi kendaraan tersebut, tetapi ia sudah cukup terbiasa dengannya. Berselang tak berapa lama, seorang ibu dan anaknya yang masih memakai seragam putih merah anak SD sambil menenteng sebuah ransel besar di kedua pundaknya. Mereka duduk di bangku seberang UTARA yang kebetulan masih kosong.
ANAK SD
Mama, sakit.
Anak di hadapannya itu merengek kecil sambil memegangi pipinya yang terlihat bengkak. UTARA juga baru menyadari bahwa wajah anak laki-laki itu dipenuhi beberapa lebam.
Ia melirik kepada tag nama seragam bocah tersebut. Teo H. tertera di sana, dengan tinta hitam yang sudah mulai memudar.
IBU TEO
Mana, sini Mama lihat.
Sang ibu mengangkat dagu anak bernama TEO itu. TEO langsung membuka mulutnya untuk membiarkan ibunya mengintip ke dalam.
IBU TEO
Jangan dipegang-pegang, jangan banyak buka mulut juga. Nanti tambah lama sembuhnya.
UTARA menyanderkan tubuhnya di sandaran kursi dan memejamkan mata, tidak tetarik dengan percakapan itu.
IBU-IBU KEPO
Itu anaknya kenapa, Bu? Habis berantem?
Salah seorang ibu-ibu yang berada di dalam angkot tersebut menjulurkan kepalanya penasaran, menatap TEO dan ibunya.
IBU TEO
Engga, Bu. Teo mah ga bisa berantem, anaknya diam dan kalem. Tapi, anak sekelasnya yang suka banget jahilin dia. Biasa cuma numpahin minum ke dia atau nyobek buku catatannya. Hari ini paling parah, si Teo didorong sampai jatuh dan kejedot batu. Untungnya ga luka parah, cuma giginya hilang tiga.
Ibu-ibu yang bertanda tadi dan beberapa orang lain yang kebetulan mendengar percakapan itu berdecak heran sambil menggeleng-gelengkan kepala. UTARA tiba-tiba saja melek setelah mendengar cerita sang ibu.
BAPAK-BAPAK
Anak sekarang memang suka begitu, Bu. Mainannya aneh-aneh. Keponakan saya juga pernah rambutnya digunting sama temannya sampai botak sebelah.
IBU-IBU KEPO
Cari aja itu, Bu, orang tuanya. Biar diselesaiin sama kepala sekolah.
IBU TEO
Ga bisa, Bu. Orang tuanya orang kementerian. Sekolah saja segan sama keluarganya.
IBU-IBU KEPO
Orang dalam kementerian? Siapa, Bu? Tambah hari tambah ga bener aja orang pemerintahan ini.
IBU TEO
Indra Wardana, Bu.
Mata UTARA menangkap nama sekolah TEO yang tertera pada lengan seragamnya dan menyimpannya dalam kepala. Percakapan selanjutnya menjadi samar di telinga UTARA. INDRA WARDANA bukanlah nama yang asing, UTARA beberapa kali melihatnya di televisi dan koran. Tidak akan sulit untuk mencari anak dari si brengsek itu.