FLASHBACK IN
17. EXT. PUSLATPUR TNI AD-SIANG
GAMA muda dan ratusan pemuda lain seumurannya sedang berkumpul di lapangan. Mereka baru saja selesai makan siang dan sebentar lagi akan latihan tembak menembak, salah satu latihan favorit GAMA karena ia sangat ahli dalam membidik.
GAMA mengelus pelan genggaman pistolnya yang tergantung di dalam sarung kulit yang menggantung di pinggangnya. Terasa dingin, tetapi setelah digenggam untuk beberapa saat, rasanya hangat, akrab, dan begitu dekat. GAMA suka.
Beberapa pemuda lainnya mendekati GAMA dari belakang, ia dapat merasakannya. Ia sudah hafal benar dengan pemuda-pemuda itu. SEKALA dan gengnya. Mereka suka mengusili GAMA karena ...
SEKALA
Eh, liat nih, si anak yang suka cari perhatian. Selalu mau jadi yang nomor satu, ga pernah terlambat, suka ngelapor, padahal bukan urusannya sama sekali.
Beberapa pemuda yang bersama SEKALA tertawa.
SEKALA
Berdirinya tegang banget. Kenapa?
Dengan ujung-ujung jarinya, SEKALA mengelus bahu tegap GAMA, wajahnya tersenyum mengejek sembari berjalan mengitarinya. GAMA kini dapat melihat ekspresi menyebalkan SEKALA dari ujung matanya. Pandangannya sendiri tetap terarah ke depan.
SEKALA
Liat sini, dong.
GAMA merasakan tangan SEKALA mencengkeram bahunya kuat.
SEKALA
Dibilangin liat sini.
GAMA bergeming. Tak lama kemudian ia menurut. Karena SEKALA lebih pendek darinya, maka kepala GAMA harus sedikit menunduk. Dua pasang mata itu saling menatap tajam.
SEKALA
Jadi, kemarin kenapa ngelaporin kami ke Komandan? Hm?
GAMA
Karena kalian melanggar peraturan.
SEKALA
Kenapa? Karena menyelinap keluar buat nyari angin? Kalau ga ketahuan, artinya tidak melanggar.
GAMA
Saya menangkap kalian menyelinap keluar dengan mata kepala saya sendiri. Ingat, Sekala, bahwa saya punya hak untuk melakukan itu sebagai ketua.
SEKALA
Kok sok hebat begitu, sih? Ketua kelompok sebelah diam aja waktu ada anggotanya yang melanggar peraturan.
GAMA tidak menjawab.
SEKALA
Mau sok hebat? Iya? Sok jago, kan? Merasa lebih baik, setelah ngelaporin kami? Pengen dapet gelar peserta terbaik?
SEKALA mulai menoyor-noyor sisi kepala GAMA. Awalnya pelan, lama-lama semakin kuat. GAMA pun merasakan emosinya memuncak. Akhirnya, logikanya kalah juga dengan perasaannya. Dicengkeramnya kerah seragam loreng hijau itu dan pemakainya dihantam ke tanah. Detik selanjutnya, dua pemuda itu sudah saling bergelut, meninju, dan berguling di tanah, membuat seragam mereka mendapatkan bercak-bercak coklat.
Teman-teman SEKALA menyoraki sahabat mereka, yang lainnya hanya menonton pergelutan itu dalam diam. Tidak ada yang melerai, aksi tinju-meninju itu bertambah kasar. Luka di seluruh wajah keduanya terasa perih, tetapi tidak ada yang mau mengalah.
Ketika GAMA menyadari bahwa SEKALA sedikit lengah, ia mendorong pemuda yang semula duduk di atas perutnya itu ke tanah di sampingnya. GAMA menjepit tubuh SEKALA dengan meletakkan lututnya di kedua sisi tubuh SEKALA. Tangan kirinya ia pakai untuk menahan kepala sang lawan di atas tanah. Tangan kanan GAMA dengan gesit meraih pistol di sarung kulitnya.
Kini ujung benda yang terasa dingin itu bersentuhan langsung dengan kepala SEKALA, membuat beberapa orang terkesiap.
GAMA mendengar beberapa orang menyuruhnya untuk berhenti, tetapi semua suara itu terasa sangat jauh. Ia merasa seolah tubuhnya sedang dirasuki dan dikendalikan oleh orang lain.
Napasnya memburu, jari telunjuknya sudah siap di depan pelatuk. GAMA ingin, ingin sekali meledakkan kepala SEKALA saat itu juga.
Tepat pada saat itu, datanglah komandan mereka mendekati kerumunan. Beberapa pemuda lain meminta beliau untuk melerai GAMA dan SEKALA. Sang komandan berjalan mendekati GAMA yang masih menggenggam pistolnya erat.
KOMANDAN
Gama Samudra, peserta 017128.
GAMA menengadah mendengar namanya dipanggil. Tangannya menekan kepala SEKALA yang masih ia tindih supaya tidak bergerak.
KOMANDAN
Kenapa ragu-ragu? Ayo, tembak aja.
Pernyataan itu membuat seisi lapangan terkejut. GAMA pun juga. Namun, ia tidak berpindah dari posisinya. GAMA mengerutkan alisnya sedikit, tidak yakin apakah sang komandan benar-benar serius atau hanya melontarkan sarkasme.
KOMANDAN
Kamu ga denger? Tinggal ditarik itu pelatuknya, sama kayak waktu latihan. Cepet, tembak. Katanya mau jadi tentara, tapi ragu buat nembak.
GAMA tidak menunggu untuk yang ketiga kalinya. Ia menatap SEKALA yang sudah tidak berdaya di bawahnya sekali lagi, lalu menarik pelatuk.
FLASHBACK OUT
18. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG
GAMA mengakhiri ceritanya.
GAMA
Ya, waktu itu saya pikir, tamatlah cita-cita saya jadi TNI karena sudah membunuh rekan saya sendiri. But it turns out to be better. Saya dinobatkan oleh presiden untuk menjadi algojo pertama di negara ini.
UTARA
Alasannya?
GAMA mengangkat kedua bahunya.
GAMA
Mungkin karena saya ga punya hati?
UTARA memuji GAMA. Menurutnya, pria itu keren. GAMA tersenyum dan berterima kasih, kemudian melirik jam. Ia terkejut karena hari sudah sore. GAMA mengakhiri pertemuan hari itu.
UTARA
Mas.
GAMA yang baru bermaksud untuk keluar dari ruangan membalikkan badannya. Kedua alisnya terangkat sebagai respon untuk panggilan tersebut.
UTARA
Aku pengen baca buku-buku Mas, dong. Besok bawain satu, boleh?
GAMA
Mau yang mana?
UTARA
Yang paling Mas suka.
GAMA mengangguk sebelum berjalan keluar, meninggalkan UTARA yang menunggu petugas untuk membawanya kembali pada selnya.
UTARA menyunggingkan senyum lebar yang terlihat aneh.
UTARA
Penurut. Asik.
19. INT. RUANG KERJA GAMA-MALAM
GAMA menyalakan lampu ruang kerjanya yang tidak terlalu luas, tetapi nyaman. Salah satu tempat favoritnya di rumah--bahkan di seluruh dunia.
Pria itu mendekati rak buku tinggi yang menjulang sampai ke langit-langit ruangan. Setiap tingkatnya penuh dengan buku dan novel dari berbagai negara dan aliran. Fiksi sampai non-fiksi mulai dari yang bertema kekerasan, pembunuhan, romantis, sampai horor.
Di bagian tengah rak buku tersebut terdapat sebuah pintu kaca. Itu adalah bagian paling spesial pada rak tersebut. Di baliknya berjejer rapi sebelas biografi kriminal yang ditulis oleh GAMA. Pada empat di antaranya tertempel stiker "best-seller". Di antara buku-buku tersebut terdapat pula beberapa penghargaan terhadap hasil karya GAMA yang mengagumkan.
GAMA mengamati mereka satu per satu dan tersenyum, dalam hatinya memuji dengan bangga dirinya sendiri.
GAMA teringat permintaan UTARA. Membawakan hasil biografi yang paling disukainya. Hanya ada satu judul yang muncul di kepalanya. Namun, ia sedikit ragu. Bagaimana bila ternyata UTARA tidak menyukainya?
"Mati atau Mati" tertulis di atas sampul berwarna hitam dengan tinta merah pekat. Tangan GAMA meraih buku itu. Selama beberapa saat, ia menimbang-nimbang. Ia kemudian tersenyum dan mengangguk.