3. H-13 (1)
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

12. INT. KAMAR TIDUR-PAGI

Seperti hari-hari sebelumnya, suara alarm dari jam weker membangunkan GAMA tepat pukul tujuh pagi. Pria itu menggeliat, tangan kanannya dikeluarkan dari balik selimut untuk mematikan suara jam weker yang menusuk telinga. Masih dengan mata terpejam, GAMA mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, meregangkan ototnya. Ia mengerang dan beberapa saat kemudian meletakkan tangannya di atas dada.

Walau seolah tampak kembali terlelap, pikiran GAMA sebenarnya sedang berkelana. Dalam kepalanya, ia mengabsen rencananya untuk hari itu. Bangun, mandi, sarapan ... dan mewawancarai UTARA untuk bukunya.

Seketika GAMA melek. Bibirnya tersenyum lebar. Ia sangat cinta menulis dan proses mendapatkan bahan untuk tulisannya adalah salah satzu kegiatan favoritnya. Dengan cepat, GAMA pun bangkit dari kasurnya untuk mandi.

Seusai mandi, GAMA duduk di meja makan dengan beberapa piring lauk sudah tersaji di hadapannya. Bau makanan yang lezat memenuhi dapur rumah mewahnya.

SPLIT SCREEN

13. EXT./INT. LAPAS PASIR PUTIH-PAGI

UTARA dan narapidana seisi lapas dibangunkan oleh suara alarm yang diputar melalui pengeras suara, tepat pukul 5:30 pagi. Matahari saja masih mengintip malu-malu dari balik awan, tetapi 317 narapidana di balik jeruji-jeruji besi yang mengurung mereka itu sudah dipaksa untuk bangun dan beraktivitas.

Gadis muda bernomor 272 itu membuka kedua matanya dengan malas. Pagi itu terasa sedikit lebih dingin dari pagi-pagi sebelumnya, membuatnya merasa malas untuk bangkit. Aktivitasnya di tempat ini sama setiap harinya. Monoton. Membosankan. Oh, mungkin tidak lagi. UTARA teringat dengan GAMA, algojo yang akan mengeksekusinya, akan datang untuk mewawancarainya untuk buku yang ditulis pria itu selama tiga minggu ke depan. UTARA tersenyum lebar karena merasa senang akan kegiatan baru ini.

Dengan cepat tubuh kecilnya melompat turun dari kasur sel yang keras. Pertama-tama, ia harus menjulurkan kedua tangannya melalui sebuah lubang khusus di pintu selnya. Seorang petugas akan memborgol pergelangan tangannya sebelum mengizinkannya keluar. Napi-napi lain pun demikian. Setelah itu, mereka akan dibawa untuk mandi di dalam sebuah kamar mandi besar yang dipakai bersama. Dalam kamar mandi tersebut terdapat lima belas pancuran air, yang berarti lima belas orang harus mandi di saat yang bersamaan.

Jam menunjukkan pukul enam lewat seperempat, waktunya sarapan. UTARA menerima piring yang disodorkan petugas kantin. Ia menatap makanan yang disajikan itu dengan muka datar.

Ia berjalan menuju salah satu meja yang masih kosong dan mulai menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. Hambar. Hanya bubur polos yang agak terlalu encer. Polos, tanpa ayam, tanpa ikan, tanpa sambal, tanpa apapun. UTARA tak begitu peduli. Pikirannya sudah berada di tempat lain, sehingga ia tidak terlalu menaruh peduli pada rasa makanan di mulutnya.

14. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG

H-13.

Pukul dua belas tiga perempat siang. GAMA sudah duduk di ruang interogasi yang kecil itu. Ia menulis di atas buku catatan kecilnya beberapa pertanyaan yang akan ia lontarkan kepada UTARA. Baru menuliskan pertanyaan ketiganya, GAMA mendengar pintu ruangan itu terbuka.

UTARA

(dengan ceria)

Mas Gama! Selamat siang.

GAMA menoleh dan menemukan gadis itu berjalan mendekati bangku di hadapannya, langkahnya sedikit terseok karena pergelangan kakinya diborgol.

GAMA melemparkan senyum kecil.

GAMA

Sudah selesai makan siangnya? Tadi kata Baskara, kalian masih makan.

UTARA

Udah, kok. Makanan hari ini ga enak, jadi aku makannya cepet.

Mendengar itu, GAMA hanya berdeham sebagai respon.

UTARA

Rapi banget, Mas, hari ini.

GAMA sedikit kaget dan melirik ke bawah, melihat pakaiannya sendiri, lalu kembali menengadah pada UTARA yang sudah duduk di hadapannya. Kemeja putih, dasi biru dongker, jas, dan celana kain panjang yang berwarna hitam. Pakaian GAMA memang tampak sedikit terlalu formal untuk sebuah wawancara di penjara.

GAMA

Oh ya? Apa besok saya pakai kaos aja?

UTARA

Bukan gitu maksudku! Justru bagus kalau rapi, sih. Aku cuma bilang aja.

GAMA

Ya sudah. Besok saya kurangi sedikit rapinya.

UTARA tidak menjawab, hanya memanyunkan bibirnya.

GAMA

Bisa kita mulai untuk hari ini?

UTARA mengangguk.

GAMA

Your first killing. Tell me bout it.

Gadis bertubuh kecil di hadapannya tertawa.

UTARA

Basic banget.

GAMA

Well, that´s for a start.

UTARA

Hmm ... I was thirteen.

FLASHBACK IN

15. INT. RUMAH MASA KECIL UTARA-SIANG

Pukul satu siang. Matahari sedang terik-teriknya. UTARA muda melangkah keluar dari satu-satunya kamar tidur di rumah reyot yang ia tinggali bersama ibunya--dan ayahnya yang hanya pulang kadang-kadang. Kamar tidur tanpa pintu itu berhadapan langsung dengan dapur kecil tempat ibu UTARA tampak sedang memasak, yang juga menyatu dengan sebuah ruang kecil yang menjadi ruang tamu di rumah itu. Hanya terdapat sepasang sofa usang yang kulitnya sudah mengelupas sana sini.

UTARA menoleh ke arah pintu keluar rumahnya yang selalu terbuka saat matahari masih ada, supaya mereka mendapat pencahayaan dari cahaya matahari. Untuk menghemat listrik. Di luarnya terlihat beberapa anak yang tinggal di kawasan sana sedang bermain di bawah panasnya matahari. Terlihat pula beberapa pedagang asongan yang lalu lalang.

UTARA kemudian berjalan mendekati ibunya.

UTARA

Ibu, sini aku bantu.

IBU UTARA

Ini, wortelnya dibagi dua, lalu dipotong kecil-kecil. Bagian satunya disimpan, masih bisa buat besok.

UTARA mengambil pisau yang tergeletak di atas talenan dan mulai melakukan apa yang diperintahkan ibunya. Ketika baru mulai memotong, UTARA mendengar langkah kaki memasuki rumah dan menutup pintu dengan sedikit bantingan. Ia tidak perlu menoleh untuk melihat sosok itu. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang brengsek?

Berjalan melewatinya, pria yang sangat dibenci UTARA itu menoyor kepalanya kuat sebelum mendekati ibunya yang sedang mencuci di wastafel. Pria itu mendekati ibunya dari belakang, kedua tangannya diletakkan di dua sisi wanita di hadapannya, menguncinya agar tidak berpindah.

AYAH UTARA

Minta duit.

IBU UTARA

Belum ada. Kan dua hari lalu baru minta.

UTARA dapat mendengar rasa takut di suara ibunya.

AYAH UTARA

Kamu kira duit ga bisa habis?

IBU UTARA

Untuk sekarang belum ada lagi, Mas. Dari kemarin jualan belum ada yang laku.

Pria itu memukul konter tempatnya menaruh tangan, membuat wanita di kekangannya terlompat karena kaget sekaligus takut.

AYAH UTARA

Kamu pikir saya peduli? Usaha dikit dong jadi cewe! Mau pinjem kek, nyolong kek! Oh ....

Sebuah ide terlintas di benaknya. Ia mengerling ke arah UTARA.

AYAH UTARA

Ini!

Ia menunjuk UTARA dengan telunjuk kanannya.

AYAH UTARA

Punya aset sebagus ini ga dimanfaatkan! Usia segini paling enak buat dijual, banyak yang mau pakai anak seusia dia. Ayo, ikut!

Sedetik kemudian UTARA merasakan bahu sebelah kirinya dicengkeram dengan keras. Ia berusaha sekuat mungkin untuk bertahan di posisinya, sama sekali tidak menoleh kepada pria yang mulai mengamuk di belakangnya.

AYAH UTARA

Anak sialan! Dibilang ikut, cepet jalan!

Tubuh UTARA yang kurus itu digoncang-goncang. Ketika tangan yang kuat itu berhasil membalikkan tubuh UTARA, bersamaan dengan itu pula pisau di genggaman UTARA menusuk tepat kepada perut ayahnya.

Tusukan pertama membuatnya terkejut dan mundur beberapa langkah ke belakang. Ibunya menjerit.

Tusukan kedua, ayahnya itu masih memiliki kendali atas tubuhnya, maka secara naluri, ia menahan tangan UTARA. Cengkeraman itu dihempasnya kuat.

Tusukan ketiga. Darah mulai keluar dari bibir pria tersebut. Deras.

Tusukan keempat. Ia terduduk di lantai.

UTARA kembali menarik pisau di genggamannya itu dan menusukkannya sekali lagi. Sekali lagi. Sekali lagi. Lagi. Lagi dan lagi, sampai ia sendiri pun sudah hilang hitungan.

Beberapa tusukan lagi dan tubuh itu sudah tidak bergerak. Namun, hal itu tidak menghentikan tangan kecil itu untuk terus menusuk. UTARA seperti membabi buta, ia melampiaskan emosi yang ia tumpuk selama ini kepada tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

IBU UTARA

Utara! Utara, udah!

UTARA merasakan tubuhnya didekap ibunya dari belakang. Pisau di tangannya direbut dan dibuang jauh-jauh. Kedua lengan sang ibu yang masih bergetar merengkuh tubuh kecil UTARA, mengelus-elus pundaknya beberapa kali untuk menenangkannya. Ibu anak itu terduduk di lantai dengan sang ibu yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi dan sang anak yang menatap tubuh mati di hadapannya tanpa ekspresi.

FLASHBACK OUT

16. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG

UTARA menyelesaikan ceritanya dengan sebuah senyum.

UTARA

Udah.

GAMA menulis dengan lincah dan sedikit berantakan agar dapat mencatat semua hal-hal penting yang baru saja diceritakan oleh UTARA.

GAMA

Terus, setelah itu, apa yang terjadi? Kamu tidak ditahan karena masih di bawah umur?

UTARA

Haha, engga. Ibuku yang sok jagoan. Dia ngaku sama polisi kalau dia yang tusuk Ayah sampai mati. Jadi, Ibu, deh, yang masuk penjara. Mereka juga gamau repot-repot menyelidiki lebih lanjut. Ngapain, kan, menghabiskan waktu untuk orang miskin kayak kami? Gaada keuntungannya.

GAMA mengangkat kedua alisnya sambil mengangguk mengerti, tangannya masih mencatat.

GAMA

Perbuatan mulia seorang ibu, ya.

UTARA

Hah? Apanya yang mulia? Aku benci karena Ibu yang dipenjara. Enak bener, dia di dalam sana dapet makan rutin, dapet kasur, dan atap penjara ga bocor waktu hujan. Sedangkan aku? Habis kejadian itu diusir sama warga, katanya mereka takut tinggal sama psikopat. Gaada uang yang ditinggalin Ibu sama sekali. Aku ga makan juga udah biasa. Tidur di mana aja, yang penting ga diusir orang. Kalau hujan ya neduh di perantaran doang.

GAMA menengadah pada UTARA, kemudian memiringkan kepalanya dan tersenyum.

GAMA

Jadi, kamu berharap waktu itu kamu aja yang dipenjara?

UTARA mengangkat kedua bahunya, tampak berpikir sedikit.

UTARA

Entahlah.

Dua pasang mata itu saling menatap selama beberapa detik, sebelum GAMA mengangguk dan membalikkan halaman buku catatannya.

UTARA

Kalau Mas gimana? Pembunuhan pertamanya kapan?

GAMA

Kan saya sudah bilang, di sini saya yang bertanya.

UTARA

Pas remaja?

GAMA diam.

UTARA

Umur 20-an?

GAMA menghembuskan napas pelan. UTARA memandangnya dengan pandangan bertanya-tanya.

UTARA

Kapan? Ceritain. Gimana rasanya?

GAMA pasrah.

GAMA

Pas umur 17.

UTARA

Wah, muda juga. Tapi masih mudaan aku. Ceritain, gimana?

GAMA melipat tangannya, memori masa lalunya kembali terputar.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar