7. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG
H-14.
GAMA duduk di ruangan yang sudah familiar itu untuk yang kesekian kalinya. Ruangan kecil yang hanya berisi satu meja, dua kursi, dan satu lampu yang tidak terlalu terang di tengah-tengah ruangan. Ya, sebenarnya ini adalah ruang interogasi, tetapi sesekali akan dipakai GAMA untuk keperluannya dengan para narapidana.
GAMA menoleh ketika mendengar pintu ruangan terbuka. Seorang wanita berusia 20-an masuk dengan pakaian serba jingga khas napi. Dua pasang borgol yang dihubungkan dengan rantai-rantai yang tebal mengunci kedua tangan dan kakinya, sehingga gaya berjalannya sedikit canggung. Di belakangnya, seorang sipir yang langsung menutup pintu ruangan setelah napi yang dibawanya itu sudah masuk. Wanita itu bergerak untuk duduk di hadapan GAMA, suara gemerincing dari rantai yang memborgol dirinya memenuhi ruangan kecil itu.
GAMA
Selamat siang.
UTARA
(tersenyum ramah)
Siang.
GAMA mengerutkan alisnya, sedikit bingung dengan senyuman wanita di hadapannya ini. Padahal, BASKARA sudah memberitahunya bahwa napi yang satu ini memang tidak seperti napi-napi yang pernah ia temui sebelumnya.
GAMA
(balas tersenyum)
Saya—sebentar.
GAMA berdeham. UTARA, sang napi unik yang ada di hadapannya itu sedikit bingung. GAMA menengadah ke sudut atas ruangan, tepat di arah CCTV dan membentuk tanda silang dengan dua jari telunjuknya.
8. INT. RUANG CCTV-SIANG
BASKARA yang sedang mengamati ruang interogasi tempat GAMA dan UTARA berada dari CCTV berdecak.
BASKARA
Ah, kenapa dia selalu ingat, sih? Padahal gue juga penasaran dia ngomongin apa aja sama napi.
Setelah berucap demikian, BASKARA memencet sebuah tombol yang terletak di atas meja, memenuhi permintaan GAMA.
9. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG
UTARA ikut menengadah ke arah yang sama dengan GAMA, masih dengan ekspresi kebingungan.
Saat GAMA menyadari ekspresi kebingungan UTARA, ia tertawa kecil.
GAMA
Itu isyarat saya agar mereka mematikan perekam suara yang ada di ruangan ini.
UTARA menoleh pada GAMA.
UTARA
Kok bisa? Bukannya setiap percakapan di sini harus direkam?
GAMA
(dengan nada bangga)
Privilege.
Bersamaan dengan itu, GAMA merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dengan sampul biru tua dan sebuah pen.
GAMA
Ah, iya. Saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Gama Samudra, saya—
UTARA
Wah, beneran?! Bapak algojo yang bakal nembak mati saya nanti, kan?
GAMA cukup terkejut, tapi tidak tahu karena ucapannya dipotong atau karena nada bicara UTARA yang terdengar ceria membicarakan soal hukuman mati yang akan dihadapinya beberapa minggu lagi.
GAMA
I-iya. Kok bisa tahu saya?
UTARA
Siapa yang gatau Bapak di negara ini? Algojo paling terkenal, tambah terkenal juga karena hasil tulisannya. Ini berarti saya mau dijadiin buku selanjutnya, ya?
GAMA
Iya. Jangan panggil bapak, kedengaran tua.
UTARA
Emang udah tua, kan?
GAMA
Umur 35 itu belum tua.
UTARA
Aku baru 27, kan ga sopan kalau manggil nama.
GAMA
Ya tetep aja ...
UTARA
Kalau gitu, dipanggil mas aja, mau?
GAMA hanya mengangguk.
UTARA
Ok, Mas Gama!
GAMA tersenyum kecil. Sedetik kemudian, menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, atmosfer ini terlalu asing baginya. Saat mewawancarai napi-napi yang telah ia hukum mati sebelumnya, beberapa pertemuan pertama akan diisi oleh tangisan mereka yang belum menerima nasib atau mereka hanya akan duduk diam, menolak untuk membiarkan GAMA menulis ulang kisah hidup mereka.
Suasana di ruangan ini tidak biasanya ceria dan GAMA sendiri pun tidak biasanya mengobrol ringan dengan napi seperti ini.
GAMA kembali berdeham, ekspresinya berubah serius. UTARA yang masih dengan wajah cerianya tampak tidak terganggu dengan perubahan ekspresi GAMA yang tiba-tiba. Dua mata bulatnya menatap GAMA, menunggu pria itu untuk memulai wawancara.
UTARA
Mas.
GAMA yang tadinya menatap pada catatan kecilnya menengadah.
UTARA
Mas boleh nanya aku apa aja. Aku bakal jawab. Aku senang kalau ceritaku mau ditulis ulang dan nantinya dibaca sama orang-orang. Tapi nulisnya harus bagus, ya! Kalau jelek aku marah.
GAMA tidak menjawab. Ia menatap UTARA dengan tatapan yang sulit diartikan. Beberapa detik setelahnya, ia mengangguk kecil.
GAMA
Nama?
UTARA
Utara Gaharu. Pasti udah lihat di tv ga, sih?
GAMA
Ada makna spesial di balik nama itu, ga?
UTARA
Hmm... Gaada yang spesial. Utara, cuma karena katanya dulu pas aku dilahirin, ibu aku ngadepnya posisi utara. Kalau gaharu, katanya sejenis kayu. Kayu paling mahal gitu deh. Nenek aku dulu baca di buku dan jatuh cinta sama nama itu, yauda aku dinamain begitu.
GAMA menulis informasi yang baru didapatnya itu dengan lincah, ekspresinya serius.
UTARA
Kalau Mas, gimana? Nama Mas ada artinya?
GAMA masih menulis.
GAMA
Di sini saya yang bertanya.
UTARA
(berdecak)
Ah, ga seru. Ceritain dong, Mas. Aku penasaran.
Melihat GAMA yang masih menulis dalam diam, UTARA ikut diam setelah tidak berhasil memancing GAMA untuk gantian bercerita. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mengamati sekeliling, walaupun tidak ada hal menarik yang bisa dilihatnya di ruangan kecil ini.
GAMA
TTL?
UTARA
Kayak lagi bikin KTP aja, Mas. Jakarta, 23 Mei 1956.
GAMA
Ceritain soal keluarga kamu, masa kecil kamu.
UTARA
Umm ... Ayah aku tukang mabuk. Tukang judi juga. Pulangnya sesekali, biasanya cuma buat numpang tidur, numpang makan, atau minta duit. Kalau ga dikasih, aku sama ibu dipukul.
GAMA mendengarkan dengan serius sambil menulis.
UTARA
Ibu jualan kue. Habis aku lulus SD, aku putus sekolah buat bantuin ibu. Bukannya aku anak yang berbakti, sih. Cuma ga punya duit aja buat lanjut sekolah.
BASKARA
Kalau waktu di sekolah, gimana? Hubungan kamu sama temen, sama orang sekitar.
Pandangan UTARA tampak menerawang, mencoba untuk mengingat kembali memori dari bertahun-tahun lalu itu.
UTARA
Biasa aja, sih. Aku ga punya temen, jadi di sekolah diem aja. Tapi aku pinter, tahu, Mas. Dari kelas 1 selalu ranking pertama di kelas.
BASKARA
Kalau pinter, kok bisa ga punya temen? Biasanya anak pinter banyak yang suka.
UTARA
Cih, akunya juga malas berteman sama mereka. Orang-orang bodoh. Aku emang orang miskin, tapi aku ga bodoh.
BASKARA
Pernah ditindas?
Pertanyaan itu membawa kembali sebuah memori UTARA yang ia kira sudah lama dilupakannya.
FLASHBACK IN
10. EXT./INT. SEKOLAH-PAGI
UTARA yang kala itu baru berumur 8 tahun sedang duduk sendirian di kelas sambil membaca buku. Ruangan kelasnya kosong dikarenakan sedang jam istirahat. Tak lama kemudian, terdengar suara beberapa teman sekelasnya.
ANAK 1
Lihat, deh. Ada yang sendirian lagi baca buku.
ANAK 2
Kasian, deh, ga punya temen.
ANAK 3
Siapa suruh aneh, makanya ga punya temen.
ANAK 4
Kalian tahu, ga, sih? Selain ga punya temen, dia juga ga punya bapak.
UTARA masih terpaku pada buku di hadapannya, tetapi ia sudah tidak lagi membaca. Ujung-ujung jarinya memutih akibat mempererat genggamannya pada sampul buku.
ANAK 1
Eh, Utara. Lagi ngomongin kamu, tahu.
Keempat anak itu berjalan mendekati bangku UTARA.
ANAK 3
Baca buku apaan, sih? Ga usah sok serius gitu.
Buku di genggaman UTARA dirempas dengan kasar.
ANAK 3
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk?
ANAK 4
Ngapain baca buku beginian? Ini buku orang dewasa.
ANAK 1
Mau sok pintar kali dia.
ANAK 2
Daripada sok baca buku, mending suruh deh itu bapak kamu buat pulang ke rumah.
Empat anak itu tergelak. UTARA hanya menunduk sedari tadi, menatap rok sekolahnya. Sementara empat orang di hadapannya masih tertawa dan sekarang mulai membolak-balikkan buku yang tadi dibacanya, UTARA merogoh ke dalam tas sekolah usangnya. Saat ujung jarinya menyentuh benda yang dicarinya, ia menariknya keluar perlahan. Sebuah jangka lingkaran.
UTARA melirik ke sisi sebelah kanan mejanya. Tangan salah seorang anak yang masih menertawakannya ini terletak di sana. UTARA sedikit bergetar. Ia berusaha keras menahan sebuah dorongan dari dalam dirinya. Ia juga sedikit takut.
Tawa teman-teman sekelasnya yang mengejek memenuhi kepala UTARA, membuatnya tidak dapat menahan emosinya lagi. Jangka lingkaran yang sudah dalam genggamannya ia keluarkan dan menggunakan bagian yang tajam, ditusuknya punggung tangan di mejanya itu, berkali-kali sambil berteriak marah.
Merasa sudah cukup, UTARA menarik kembali tangannya, dengan jangka yang di ujungnya terdapat darah teman sekelasnya. Temannya yang ditusuk itu terjatuh ke lantai memegangi tangannya yang berdarah sambil menangis. Ketiga orang lainnya tersentak kaget. Beberapa saat setelahnya berteriak histeris.
FLASHBACK OUT
11. INT. RUANG INTEROGASI-SIANG
UTARA menyelesaikan cerita tentang masa kecilnya itu. GAMA, tentu saja, segera mencatat.
GAMA
Berarti, itu pertama kali kamu melakukan kekerasan?
UTARA
Kalau melakukan, iya, pertama kali.
GAMA
Kalau melihat?
UTARA terkekeh.
UTARA
Kalau ngeliat, mah, dari aku masih kecil udah ngeliat. Udah ngerasain juga. Kan aku udah bilang, ayahku hobinya mukul. Ditampar, ditinju, ditendang. Aku pernah dipukul pakai botol bir, lho, Mas. Nih, liat deh.
UTARA menyibakkan sedikit poninya, menunjukkan sebuah bekas luka panjang di dahinya.
UTARA
Aku berdarah banyaaak banget waktu itu.
GAMA memperhatikan luka tersebut sambil mengangguk mengerti. GAMA menulis sedikit lagi sebelum menutup buku catatannya.
GAMA
Untuk hari ini cukup sampai sini dulu.
Dimasukkannya buku catatan dan pen kembali ke dalam saku jasnya.
GAMA
Sampai berjumpa besok.
GAMA bangkit dari kursinya sambil mengancing jasnya. Ia juga mendorong kursi yang barusan didudukinya ke dalam meja.
UTARA
Besok dateng jam berapa, Mas?
GAMA
Setelah kalian selesai makan siang.
UTARA
Jam 1? Ok, sampai jumpa besok, Mas! Hati-hati dalam perjalanan pulangnya.
GAMA masih belum terbiasa dengan sifat napi yang ceria seperti ini. Setelah memberikan senyum canggung pada UTARA, GAMA membuka pintu ruangan dan memanggil sipir yang menjaga di luar. Sipir tersebut masuk untuk menuntun UTARA kembali ke selnya. GAMA baru ikut keluar sesudahnya.