1. Introduksi
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

1. INT. KAMAR TIDUR-PAGI

Suara jam weker membangunkan GAMA dari tidurnya. Ia membalikkan tubuhnya dan dengan mata yang masih terpejam, tangannya menggapai-gapai meja nakas untuk mematikan alarm yang keras dari jam weker miliknya.

GAMA, pria di pertengahan 30-annya itu mengerang dan bangkit dari kasurnya. Kedua kakinya melangkah gontai menuju kamar mandinya yang mewah dan menyalakan shower, membiarkan air hangat membasahi dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Selesai mandi, GAMA terlihat sedang mengancing kemeja warna putihnya yang sedikit kebesaran dan dipadupadankan dengan celana kain berwarna biru dongker.

GAMA melangkah keluar dari kamar tidurnya.

2. INT.DAPUR-PAGI

ART 1

Selamat pagi, Tuan.

Sang ART membungkuk sebagai hormat. GAMA membalas bungkukannya.

GAMA

Ah, selamat pagi, Mbak.

GAMA duduk di kursi meja makannya dan meraih koran hari ini yang selalu diletakkan asisten rumah tangganya di atas meja makan setiap hari, untuk menemaninya sarapan. Ia meraih koran yang terdapat di atas meja dan mulai membacanya.

GAMA

Mbak, tolong dong, radionya.

ART 2 segera menyalakan sebuah radio tua yang masih bekerja dengan baik yang terletak di sebuah meja kecil di ujung ruangan.

ART 1

Kopinya, Tuan.

Secangkir kopi diletakkan di hadapan GAMA, membuatnya menoleh sekilas.

GAMA

Makasih, Mbak.

GAMA menyesap kopinya yang masih mengepul pelan-pelan.

RADIO

Pengadilan telah memvonis hukuman mati kepada Utara Gaharu, si pembunuh berantai dengan total 78 korban dalam rentang dua tahun. Keputusan ini diambil melalui sidang kemarin, 5 Juni 1983.

GAMA menghentikan sesapan kopinya dan meletakkan kembali cangkir kopinya. Matanya tidak beranjak dari koran di genggamannya, karena ia sekarang pun sedang membaca artikel dengan kepala berita serupa.

GAMA menyunggingkan senyum kecil.

GAMA

Utara Gaharu ... Hm.

Ada yang melintas di kepalanya, tetapi GAMA belum berani mengatakannya apabila ia belum pasti benar.

Tiba-tiba, salah seorang dari ART yang bekerja pada GAMA datang meletakkan sebuah surat di atas meja makan.

ART 2

Ada surat untuk Tuan.

GAMA melirik pada asisten rumah tangganya dan mengangguk. Begitu melihat amplop berwarna merah yang sudah familiar itu, ia melipat koran di tangannya dengan cepat dan meletakkannya di atas meja makan. Matanya seperti bersinar dan bibirnya tersenyum lebar.

GAMA

(dengan bersemangat)

Aha!

GAMA merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil dengan ganggang berwarna hitam mengkilap yang selalu dibawanya. Untuk berjaga-jaga saja. Ia merasa lebih aman apabila pisau lipat itu.

Di atas amplop berwarna merah tua itu terdapat dua huruf yang ditulis dengan tinta berwarna emas. GS, inisial untuk GAMA SAMUDRA, pria yang sekarang sedang menyobek amplop itu dengan pisau lipatnya.

GAMA segera mengeluarkan secarik kertas yang terdapat di dalamnya.

Begitu matanya menangkap sebuah nama yang dicetak tebal dan berukuran besar di atas kertas itu, senyumnya yang sudah lebar bertambah lebar lagi.

GAMA

Utara Gaharu. Tanggal pelaksanaan hukuman, 19 Juni 1983.

CUT TO:

3. EXT. HALAMAN RUMAH-PAGI

GAMA yang sudah rapi dalam balutan jas senada celananya melangkah keluar dari rumah dan berjalan menuju Toyota Corolla DX miliknya, yang di zaman itu merupakan salah satu mobil mewah yang banyak diminati.

Sebelum membuka pintu mobilnya, GAMA mengeluarkan sekotak rokok dari dalam saku jasnya, mengambil sebatang, dan menyalakannya. Setelah itu, ia memasukkan kotak rokoknya kembali ke dalam saku, membuka pintu mobil, dan duduk di bangku pengemudi.

Mobil berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang. GAMA menumpukan tangannya di jendela mobil yang ia turunkan sampai bawah. Di antara jari telunjuk dan tengahnya terjepit sebatang rokok yang sudah terbakar sepertiganya. Dari ujung bibirnya dikeluarkannya hembusan asap rokok berwarna putih keabu-abuan.

4. EXT. PELABUHAN WIJAYA PURA-PAGI

GAMA memarkirkan mobilnya di Pelabuhan Wijaya Pura yang pagi itu tidak terlalu ramai. Ia turun dan menghampiri salah satu kapal yang sedang tidak beroperasi, diparkirkan di tepi pelabuhan dan sedikit terombang-ambing ombak laut.

GAMA celingak-celinguk ke dalam kapal kecil itu, mencari seseorang.

GAMA

(dengan bersemangat)

Pak Jaya! Selamat pagi.

Yang dipanggil itu menengadah.

PAK JAYA

Eh, Nak Gama! Mau nyebrang?

GAMA

Iya nih, Pak.

PAK JAYA mengisyaratkan GAMA untuk masuk ke dalam kapalnya.

PAK JAYA

Masuk aja, silakan. Sebentar, ya. Saya nyalain dulu mesinnya.

GAMA pun masuk ke dalam dan duduk.

GAMA

Oh, iya, Pak Jaya, silakan.

Sementara PAK JAYA menyiapkan kapal kecil miliknya, GAMA menyamankan posisi duduknya sembari menatap ke arah lautan, menikmati pemandangan dan cuaca cerah hari itu.

PAK JAYA sendiri adalah salah satu warga yang tinggal di Cilacap. Dengan kapal kecilnya itu, ia biasanya mengantarkan orang-orang yang berkeperluan untuk bolak-balik dari Pelabuhan Wijaya Pura ke Pelabuhan Sodong, Pulau Nusakambangan.

Tak berapa lama kemudian, kapal kecil itu mulai bergerak meninggalkan pelabuhan.

GAMA

Akhir-akhir ini, sering, Pak, nyebrang?

PAK JAYA

(sambil menyetir kapal)

Engga, Nak. Kamu kan, tahu, pengunjung ke Nusakambangan itu terbatas. Ga semua orang bisa ke sana. Kalau ga nganter petugas, ya biasanya saya cuma nganterin barang aja, misalnya kayak kebutuhan harian di lapas.

GAMA

(sambil menatap lautan)

Oh. Saya orang pertama dong, hari ini, Pak?

PAK JAYA

(tertawa kecil)

Iya. Dapat kerjaan lagi, ya, kamu?

GAMA

Iya, Pak.

PAK JAYA

Udah agak lama, ya? Terakhir kamu dapet kerjaan kapan, deh? Dua bulan lalu?

GAMA

Tiga, Pak. Tiga bulan.

PAK JAYA

Lumayan lama juga, ya. Pasti tangan kamu udah gatel itu, lama ga dipake.

GAMA

(tertawa)

Pak Jaya tau aja. Saya udah kangen juga sama suasana di sana.

PAK JAYA

Kamu dapet yang tadi pagi ada di berita itu, ya? Saya udah denger, udah baca juga di koran. Banyak yang ngomongin tadi di pelabuhan.

GAMA

Bener, Pak.

PAK JAYA

Wahhh. Cewe, lho. Masih muda, cantik lagi. Saya agak kaget liatnya. Agak takut juga.

GAMA

Loh, saya juga tega bunuh orang. Pak Jaya harus takut sama saya juga dong.

PAK JAYA

(terkekeh)

Iya. Ini kamu saya buang ke air aja kali, ya?

GAMA

(tertawa)

Jangan, dong, Pak. Negara kan butuh sama saya.

CUT TO:

5. EXT. PELABUHAN SODONG-PAGI

Setelah mengucapkan terima kasih kepada PAK JAYA, GAMA turun dari kapal dan berjalan menuju Pelabuhan Sodong. Seorang petugas dari lapas yang sudah menunggunya langsung datang menghampiri GAMA. Keduanya naik ke mobil dan menyusuri jalanan Pulau Nusakambangan yang sepi, ditemani dengan pemandangan lautan yang indah.

6. EXT./INT. LAPAS PASIR PUTIH-SIANG

Turun dari mobil, GAMA dikawal oleh petugas yang tadi menjemputnya itu menuju pintu masuk. GAMA menyapa beberapa petugas yang berjaga di depan pintu masuk. Mereka yang sudah familiar dengan GAMA membalas sapaannya dengan ceria.

GAMA digeledah oleh salah satu petugas terlebih dahulu, memastikan ia tidak membawa benda-benda tajam atau bahaya lainnya sebelum masuk lebih jauh ke dalam lapas. Walaupun GAMA sudah bukan orang asing lagi di lapas itu, peraturan tetaplah peraturan. Maka, GAMA terpaksa meninggalkan pisau lipat yang ia bawa di resepsionis. Ia baru dapat mengambilnya lagi nanti, saat akan keluar dari lapas.

BASKARA

Gama! Gue udah nungguin dari pagi, lho.

GAMA

(menoleh)

Baskara! Baru aja sampai nih gue.

BASKARA

Cepet juga, ya, lo, langsung nyamperin ke sini. Lo pasti baru dapet suratnya tadi pagi, kan?

GAMA

(mengangguk)

Lo kan tahu kebiasaan gue. Begitu dapet suratnya harus langsung dateng.

BASKARA

Ga nyia-nyiain waktu, ya.

Seorang petugas membukakan pintu bagi GAMA dan BASKARA. Keduanya melangkah keluar dan disambut oleh terik matahari yang menyinari sebuah lapangan yang tidak terlalu luas. Di seberang lapangan tersebut terdapat sebuah gedung dua lantai.

Di ujung lorong lantai pertama gedung tersebut adalah ruangan CCTV, tempat yang kini sedang dituju dua pria itu.

BASKARA

(membuka pintu)

Silakan.

GAMA mengangguk dan melangkah masuk terlebih dahulu setelah dipersilakan oleh Baskara. Ruangan yang tidak terlalu besar itu diisi oleh layar televisi di mana-mana. Semua layar tersebut menampilkan tayangan rekaman CCTV secara real time, setiap hari selama 24 jam.

Terdapat seorang petugas yang sedang duduk di satu dari tiga kursi yang terdapat di dalam sana. Ia menoleh dan menyapa GAMA.

GAMA dan BASKARA duduk bersebelah-sebelahan, menghadap layar televisi di hadapan mereka.

BASKARA

(menatap layar televisi dengan teliti)

Bentar, gue cariin dulu anaknya.

GAMA

Jam segini harusnya dia lagi di lapangan, kan?

BASKARA

(mengangguk)

He eh. Soalnya dia masih masa orientasi dulu tiga hari. Setelah itu baru 24 jam di dalam sel doang.

GAMA

Tiap gue denger masa orientasi selalu keinget SMA, deh.

BASKARA

(tertawa kecil)

Tapi ini orientasi untuk napi. Beda jauh sama anak SMA.

GAMA dan BASKARA terdiam sejenak. BASKARA masih mencari narapidana yang akan ditemui GAMA.

BASKARA

(menunjuk salah satu layar)

Ketemu! Tuh, nomor 272.

GAMA mengikuti arah yang ditunjuk BASKARA, memicingkan matanya karena narapidana yang ditunjuk BASKARA itu terlihat kecil dari layar televisi.

Saat GAMA sudah berhasil menangkap orang yang ditunjuk BASKARA, ia memperhatikannya lekat-lekat. Seorang wanita muda dengan rambut panjang sedada. Ia sedang duduk sendiri di salah satu bangku di tepi lapangan. Beberapa kali kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, memperhatikan beberapa narapidana lain yang sedang berada di lapangan bersamanya. Di bagian punggung baju oranye khas penjara yang ia pakai, terdapat angka 272 yang dicetak tebal.

BASKARA

Dia, kan, sebenarnya emang udah ditahan di sini dari beberapa hari lalu. Gue udah pernah ngobrol.

GAMA

Oh ya? Gimana, orangnya? Nangis-nangis, ga? Biasanya, kan, mereka tuh setelah masuk ke sini baru sadar akan perbuatannya.

BASKARA

Engga sama sekali, tahu. Orangnya tenang banget, malah lumayan ceria.

GAMA

(mengerutkan alis bingung)

Ceria?

BASKARA

Kan hari pertama dia sampe itu gue ajakin kenalan. Dia diem doang. Gue pikir oh, ini mah sama kayak napi biasanya, yang benci setengah mati sama penjaga lapas, apalagi gue, kepala lapasnya. Eh, pas besoknya gue lagi patroli, dia lihat gue lewat, langsung bangun dan jalan ke pintu sel, manggil gue keras banget.

GAMA mendengarkan cerita BASKARA dengan seksama. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia sedikit bingung, tetapi ia membiarkan BASKARA menyelesaikan ceritanya.

BASKARA

BAS! gitu, manggilnya. Semangat banget, ceria gitu seolah gue nih temen lamanya. Dia minta maaf karena pas pertama gue ajak ngomong dia diem doang, katanya kecapean. Emang, sih, waktu itu dia sampenya tengah malem. Apalagi habis perjalanan panjang buat sampai ke sini.

GAMA

Wih, terus? Lo ngobrol sama dia?

BASKARA

(mengangguk)

Ya gue samperin bentar, gue tanyain kabarnya gimana. Habis dia keliatan semangat banget. Katanya baik, dia kurang tidur tapi dia senang soalnya sarapannya enak. Sayur lodeh yang disajikan hari itu katanya mirip sama yang dulu suka dibuatin neneknya.

GAMA

Wah.... Dari cerita lo, dia kedengarannya ga kayak napi.

BASKARA

Iya, kan? Belum sempat gue nanya hal lain, dia udah lanjut ngomong lagi. Dia agak kecewa karena sampai di sini tengah malem, padahal dia pengen liat pemandangan Nusakambangan yang dia dengar-dengar cantik banget.

GAMA

Gue jadi ga sabar mau ketemu sama dia.

BASKARA

Menurut feeling gue, sih, dia bakal jadi best-seller lo yang selanjutnya, deh.

GAMA

Kalau sampe iya, berarti gue ada lima buku best-seller dong? Keren juga gue, ya, Bas?

BASKARA

(menyenggol lengan GAMA dengan sikunya)

Ga usah sombong, lo. Mentang-mentang penulis hebat. Ini kalo gaada napi-napi yang nyediain cerita buat lo juga lo ga akan bisa nulis sampe best-seller gitu.

GAMA

Dih, nulis kan, cuma kerjaan sampingan gue. Bonusnya doang, kebetulan gue juga pinter nulis.

BASKARA

Iya, deh, iya. Ayo, lo mau ketemu dia sekarang aja?

GAMA

Boleh.

BASKARA

Lo langsung ke sana dulu aja. Gue mintain petugas buat bawa dia ke lo.

GAMA

Ok.

Dua pria itu bangkit dan keluar dari ruangan.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar