EDELWEIS
10. Bagian kesepuluh

Sepulang sekolah Vano bergegas membereskan rumahnya. Sebuah sapu sudah digenggam oleh tangannya. Ruangan demi ruangan di sapu bersih oleh Vano. Kini tinggal kamar Diana yang belum di sapu. Tidak lupa kolong ranjang yang biasa menyimpan banyak debu di sapu oleh Vano.

Ketika tengah asik menyapu, Vano melihat sebuah kertas berukuran segi empat tersapu oleh Vano. Vano penasaran kertas apa itu? Diambilnya kertas itu dengan seksama. Sebuah potret pernikahan terpampang jelas di sana. Terlihat jelas tatapan kebahagiaan yang dipancarkan dari kedua insan tersebut, meskipun hanya gaun pengantin sederhana yang digunakan. Tidak ada riasan menor seperti kebanyakan pengatin—yang sampai terlihat pangling, namun hanya polesan bedak dan lipstick tergores di wajah cantik wanita itu. senyuman yang tulus memancarkan kecantikan yang sesungguhnya.

Sedangkan laki-laki yang berada di sampingnya terlihat mengenakan setelan jas berwarna hitam melekat pada tubuhnya yang sungguh proposional. Tangannya merangkul lembut wanita di samapingnya, seakan tidak mau barang sedetikpun melepaskan.

Laki-laki itu terlihat sangat mirip dengan Vano. Mata yang menatap lembut, hidung yang menjulang tinggi, dan senyuman yang lebar meandakan kebahagiaan. Apakah ini Ayah? Tanya Vano. 

Entah kenapa Vano sangat yakin jika potret yang berada dalam foto itu adalah Ayahnya. Kenapa Ibu menyembuyikan ini? malam itu Diana bilang jika foto ayah Vano sudah hilang di kontrakannya dulu, namun disini masih terlihat jelas ada foto tersebut. 

Vano menyimpan foto tersebut saku celananya, dia tidak mau kehilanagn foto tersebut. Foto satu-satunya tentang Ayahnya. Jika begini, mudah bagi Vano untuk mencari keberadaan Ayahnya. 

Selesai dengan pekerjaan rumah, Vano bergegas membersihkan diri yang sudah diguyuri oleh peluh yang keluar dari setiap pori kulitnya. Setelahnya, Vano membaca beberapa buku untuk mata pelajaran esok hari. 

Salah satu kebiasaan baik Vano yang dilakukan adalah membaca setiap buku yang akan dipelajari esok di sekolah. Kebiasaan itu sudah dilakukannya sejak dia masih duduk dibangku sekolah dasar. Mempelajari materi yang akan dibahas adalah sebuah keuntungan baginya. Jika di sekolah, dia minimal sudah paham bebeberapa materi yang akan disamapaikan, jika belum mengerti, Vano menanyakan kepada guru yang menjadi penanggung jawab pelajaran. 

Pernah kala itu, Vano ketiduran di kelas ketika mata pelajaran berlangsung, dan guru pun tengah menyampaikan materi di depan kelas. Melihat muridnya yang tengah tertidur dan tidak memerhatikan pelajaran yang disampaikan, sang guru geram dengan Vano. Dan dengan cepat membangunkan Vano. Setelah itu sang guru menghujami Vano dengam pertanyaan tentang materi yang dibahas, dan dengan lancarnya Vano menjawab semua pertanyaan yang diberikan tanpa ada satupun yang dilewatkan. Hal itu membuat sang guru heran dan terpelongo mendengar setiap jawaban yang dilontarkan Vano dengan lancar. 

Mendengar daun pintu yang terbuka dari pintu utaman rumahnya, Vano bergegas keluar dan menyapa orang yang baru saja datang. Wajah kelelahan terlukis di wajah manisnya. Vano tahu jika Diana sanagat kelelahan jika sepulang kerja, namun Diana selalu menampik hal itu, dia selalu berkata baik-baik saja kepada Vano.

Diciumnya punggung tangan Diana dengan lembut, Diana pun mengelus rambut anaknya yang kini sudah beranjak dewasa. Tidak terasa, kala itu seingat Diana Vano masih bayi yang selalu dia gendong, menangis jika kelaparan, dan tersenyum jika berada dalam dekapan. Diana sungguh rindu masa-masa itu, ketika dia direpotkan oleh si kecil Vano. Namun kini Vano sudah beranjak dewasa. Wktu yang biasanya dibahabiskan oleh mereka berdua seharian, kini hanya beberapa jam saja untuk berkomunikasi. Diana ynag sibuk dengan pekerjaannya, dan selalu pulang malam, sedangkan Vano yang sibuk dengan sekolahnya hinga sore. Hanya pagi sebelum beraktifitas dan malam saja Diana bisa bercengkrama dengan putra kesayangannya. 

Vano dengan sigapnya menyiapkan air putih dan camilan kering sisa kemarin untuk Diana. Melihat perhatian Vano yang sungguh luar biasa, membuat hati Diana terenyuh. Diana teringat dengan Ayah Vano. Ayah Vano orang yang sangat baik, dia selalu memanjakan Diana. Selalu menuruti keinginan Diana, dan memberikan papaun untuk Diana, meskipun Diana tidak memintanya sama sekali. 

“Ibu mau Vano pijitin?” Mendengar pertanyaan sang putra, Diana menganguk mengiyakan, toh jika dia bilang tidak pun Vano akan berkukuh untuk memijitnya.

Mendengar persetujuan dari Diana, dengan sigapnya Vano langsung beralih ke belakang Diana dan memijit setiap inci tubuh Diana untuk dimanjakan. “Bu, aku mau tanya.” Diana menyeritkan dahinya penasaran dengan pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Vano. “Apakan Ibu akan bahagia jika suatu saat nanti bisa bertemu Ayah kembali?” Tanya Vano tiba-tiba. 

Diana pikir siapa sih orang yang tidak akan bahagia jika dipertemukan tuhan kembali dengan orang yang dicintai, pasti Diana akan sangat senang. Namun Diana tidak tahu jika hal itu benar-benar terjadi suatu saat nanti. Diana takut Ayah dari Vano sudah hidup bahagia dengan wanita yang dijodohkan oleh mantan Ibu mertuanya. Diana takut hatinya melemah ketika melihat laki-laki yang amat dia cintai bersanding dengan wanita lain, terlebih jika mereka sudah memiliki buah cinta. Membayangkannya saja sudah membuat hati Diana sesak. Tak apa jika hanya dia yang merasa sakit, yang sangat Diana takutkan Vano. Diana takut Vano kecewa terhadap Ayahnya sendiri. Yang jelas, jika ditanya senang atau tidak, Diana belum bisa memastikan. Namun, jika ditanya siap atau tidak, Diana akan menjawab belum siap. Diana belum siap sakit hati kembali. 

“Kenapa Ibu diam? Aku salah tanya, ya?” Tanya Vano tidak enak, karena melihat respon Diana yang hanya terdiam seolah sedang memikirkan sesuatu. 

Diana hanya diam tanpa menanggapi, matanya menatap kosong ke arah lantai yang tengah ia pijak. Tangannya menaut antara satu dengan yang lainnya.

Vano sungguh merasa bersalah telah menanyakan sesuatu yang membuat Diana sedih. Vano menyesal telah menanyakannya.

Diana melangkahkan kakinya menuju kamar yang sudah dia tempati beberapa tahun belakangan ini. Kamar yang hanya berukuran kecil.

Diana membaringkan tubuhnya diatas kasur sambil memeluk bantal. Entah kenapa pikirannya kembali terngiang-ngiang kala itu. Kebersamaannya dengan suami. Semua memori seolah tengah diputar kembali. Memberi tahu Diana jika semuanya pernah terjadi.

"Mas, kamu nanti mau bayi laki-laki atau perempuan?" Tanya Diana yang kini tengah menyenderkan tubuhnya di dada bidang suaminya. Tangannya tak henti-hentinya mengelus perutnya yang sudah sedikit membuncit.

"Apa aja. Laki-laki atau perempuan sama saja, yang penting dia lahir sehat dan sempurna." Jawab suami Diana sambil mengikuti gerakan tangan yang tengah Diana lakukan—mengelus perut Diana. "Oh ya sayang, nanti kalo bayi kita lahir, aku mau kasih nama dia Devano kalo laki-laki, dan Devina kalo bayi perempuan." Ucap suami Diana membayangkan.

"Kenapa harus Devano dan Davina?" Tanya Diana penasaran dengan nama yang diberikan sang suami kepada calon buah hati mereka.

"Devano dan Davina memiliki awalan huruf 'D'. Dan nama kita berdua juga berawal huruf 'D', jadi, nanti keluarga kita menjadi 'D Family'. Lucu, kan?" Jelas suami Diana sumringah. Diana berbinar mendengar penjelasan dari sang suami. "Kamu setuju?"

"Setuju banget. Devano dan Davina nama yang bagus, aku menyukainya." Balas Diana.

Suami Diana tersenyum mendengar Diana menyetujui hal itu. Kini keduanya tengah menikmati senja yang terlukis di awan yang terlihat cerah hari ini, tepat di lantai dua balkon rumahnya. Kedatangannya membuat suasana keromantisan semakin terpampang nyata. Saling mendekap dengan erat yang kini tengah dilakukan. Seolah dunia tengah berpihak kepadanya.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar