EDELWEIS
7. Bagian ketujuh

Beberapa baju kotor—baju yang sudah dipakai—tergeletak begitu saja di atas kasur dengan seprai motif salah satu superhero dalam film. Tidak ada niatan sedikitpun bagi Vano untuk mencucinya sekarang, mengingat aktivitas di sekolah hari ini cukup menguras tenaga, ditambah lagi sepulang sekolah dia harus mengendarai motor di keadaan macet membuatnya harus menyiapkan tenaga ekstra. Vano kini tengah merebahkan tubuhnya, meregangkan sendi-sendi yang terasa kaku karena terlalu lama meyetir sepeda motor. Jarinya yang sedari tadi memegang stang mengeluarkan suara ketika diregangkan. 

ketika matanya baru saja terpejam, suara ketukan di pintu kamarnya terdengar. Dengan sempoyongan, Vano membuka pintu tersebut dengan perlahan. Namapak sosok yang selama ini menjadi penyemangat Vano tengah tersenyum melihat Vano yang masih mengenakan seragam sekolah.  

“Kamu belum mandi, ya?” Tanya Diana—Ibu Vano—sambil mengusap salah satu pipi Vano. 

“Belum, Bu.” Jawab Vano sambil memeluk erat tubuh mungil Diana. Tingginya hanya sepundak Vano.

Vano sunguh kasihan jika dia harus melihat Diana banting tulang untuk membiayai kehidupan mereka. Vano ingin sekali membantu Diana bekerja dan berhenti sekolah. Namun Diana tidak menyetujui hal itu. Diana ingin Vano menjadi anak yang pintar dan tidak miskin ilmu seperti dirinya. 

Vano meneylipkan poni Diana ke belakang telinga yang sedikit menutupi mata. “Ibu kelihatannya capek banget, ya? Mau Vano pijitin?” Tanya Vano yang kini sedang mengenggam tangan Diana erat dan tatapannya pun tidak terlepas dari wajah Diana yang semakin hari semakin terlihat kerutannya. 

Diana tersenyum mendengar tawaran anak semata wayangnya. Vano anak yang baik, dia tidak pernah membantah sekalipun perkataan Diana, persis seperti Ayahnya, pikir Diana. “Ibu gak capek, kok. Sana kamu mandi dulu, habis itu kamu makan, ya? Pasti kamu laper, kan?" Tanya Diana sambil mengusap perut rata Vano. 

“Hehe ... Ibu tahu aja.” Balas Vano tertawa. “Yaudah aku mandi dulu ya, Bu.” Ucap Vano. Diana hanya mengangguk menyetujui. Dan Vano pun melesat ke arah kamar mandi.

Setelah selesai dengan ritualnya di kamar mandi, Vano langsung menghampiri Diana yang tengah menyiapkan masakan yang baru saja matang di atas meja. Harum tempe goreng buatan Diana selalu membuat Vano ingin segera menyantapnya. Vano pun langsung mendudukan bokongnya di atas kursi yang sudah terpatri di sana. Tatapannya sudah tidak sabar ingin menyantap sayur bayam dan tempe sebagai lauknya. Sudah biasa bagi Vano hanya makan dengan lauk seadanya. Bahkan Vano pernah makan hanya dengan garam, karena saat itu keuangan Diana sedang sangat buruk. 

“Ayo makan, sayang.” Ucap Diana ketika melihat mata Vano yang sudah berbinar. Diana menuangkan nasi di piring Vano beserta lauknya, begitupun dengan piring miliknya.

“Makasih, Bu.” Ucap Vano yang dibalas dengan senyuman tulus Diana. 

Setelah itu mereka menyantap makanan dengan khidmat, tanpa ada pecakapan sedikitpun. Mereka sama-sama menikmati setiap nasi yang masuk kedalam mulut. Vano sangat bersyukur bisa memiliki Ibu seperti Diana. Diana Ibu yang sangat tangguh dan tidak pernah menunjukkan sedikitpun kesedihannya di hadapan Vano. Diana Ibu yang selalu berjuang untuk Vano. Di tengah suapannya, Vano menyodorkan sendoknya ke mulut Diana. “Untuk Ibu.” Ucap Vano. Diana pun membuka mulutnya dan menerima suapan dari Vano. Vano begitu menyayangi Diana lebih dari apapun, begitupun dengan Diana, dia sangat menyayangi Vano lebih dari apapun.

Setelah selesai menyantap makanan, Vano bergegas untuk mencuci piring bekas makan, Vano tidak mau terus-menerus merepotkan Diana, mungkin dengan Vano membantu mengerjakan pekerjaan rumah dapat sedikit mengurangi beban pekerjaan Diana. 

“Biar Ibu saja yang cuci. Kamu belajar aja, sana.” Suruh Diana.

“Sama Vano aja, Bu. Setelah cuci piring aku langsung belajar, deh.” Tolak Vano lembut. “Mendingan sekarang Ibu istirahat aja di kamar, ya." Suruh Vano sambil memegang kedua pundak Diana. 

“Yakin, nih?” Tanya Diana meyakinkan. Vano pun menganggukkan kepalanya cepat untuk meyakinkan. 

Piring demi piring digosok dengan sabun cuci piring oleh Vano, setelah itu membilasnya dengan air yang mengalir dan menyimpannya di atas rak kecil. 

Setelah menyelesaikan cuci piringnya, Vano memilih untuk duduk di teras rumahnya terlwbih dahulu. Tidak ada orang yang beralulalang, padahal jam masih menunjukkan pukul 19:00. Biasanya jika jam segitu tetangganya masih ada yang berarulalang meskipun hanya beberapa orang saja, karena mengingat rumah Vano yang berada di pojok gang. Hembusan angin malam begitu menyecap di kulit Vano yang tidak terbungkus oleh kain baju. Cuaca malam ini begitu dingin—setelah di cek di telepon genggam milik Vano, suhu ditempatnya mencapai 16 derajat celcius—namun Vano menyukainya. Jika merasakan hembusan angin sedingin ini, mengingatkan Vano kepada beberapa tahun ke belakang. Ketika itu Vano dan Diana diusir dari kontrakan karena Diana menunggak uang kontrakan selama dua bulan. Kala itu Diana sedang tidak ada pekerjaan. 

Begitu berat bagi Vano saat itu. Vano harus hidup susah. Vano sungguh membenci Ayah yang telah meninggalakan Vano dan Diana. Kenapa dia harus menginggalkan anak dan istrinya sendiri? Pikir Vano. Dia membiaran Diana hidup dengan penuh tanggungan di pundaknya. Laki-laki macam apa yang tega meninggalakn orang yang sangat berarti. Jika saja suatu saat nanti Vano bertemu Ayahnya, tidak akan Vano memaafkannya. 

“Sayang kamu lagi mikirin apa?” Tanya Diana yang tiba-tiba saja datang tanpa sepengetahuan Vano. 

“Ah ... Nggak, kok, Bu.” Jawab Vano berbohong. Vano tidak mau Diana tahu jika dirinya tengah memikirkan Ayahya. Vano tidak mau melihat Diana sedih ketika mengingat kembali tentang suaminya yang tak lain ayah Vano sensiri. Laki-laki sudah tega meninggalakan dirinya. 

“Masa, sih? Tapi sedari tadi Ibu perhatikan, kayanya kamu sedang memikirkan sesuatu.” Jawab Diana tidak percaya. Diana sudah bersama Vano dari kecil, bahkan saat Vano masih di kandunagannya, jadi Diana tahu jika Vano sedang berbohong atupun ada yang sedang ditutupi dari dirinya. “Kamu cerita dong sama Ibu.” Pinta Diana. Diana tidak pernah menjaga jarak dengan Vano. Diana selalu menjadi Ibu, Ayah, sekaligus teman bagi Vano, kapanpun Vano ingin berbagi cerita pasti Diana akan mendengarkan dan memberi masukan jika diperlukan. 

Vano menghadapkan tubuhnya ke arah Diana yang berada di sampingnya. Diambilnya salah satu tangan Diana dan mencium punggung tangannya dengan lembut. “Vano hanya sedang memikirkan Ayah, Bu.” Jawab Vano sambil menatap langit yang bertabur bintang dengan sendu. “Kenapa Ayah tega meningglakan kita? Apa Ayah tidak menyayangi kita?” Tanya Vano yang kini sudah mulai meneteskan air matanya. 

Diana merangkul tubuh Vano dan mengusap punggung Vano untuk menenagkan. Dirinya seolah tersayat jika mendengar pertanyaan Vano seperti ini. Diana belum sempat untuk menceritakan semuanya kepada Vano. Diana selalu mencari waktu yang tepat untuk menceritakan yang sebenarnya dan mungkin ini saatnya, toh Vano juga sudah beranjak dewasa, jadi dia perlu megetahui kebenarannya. “Kamu jangan pernah berfikir seperti itu. Ayahmu sangat menyayangi kita, terutama kamu. Dia sangat menyayangi kamu.” Ucap Diana sambil menyeka buliran air mata yang sudah lolos dari kelopak matanya. 

“Jika dia menyayangi kita, kenapa dia meninggalkan kita, Bu?” Tanya Vano seakan tida setuju dengan ungkapan yang Diana berikan. 

“Baik, Ibu akan menceritan semuanya kepadamu.” Ucap Diana sambil menghela napasnya dalam. “Ibu dan Ayah menikah tanpa persetujuan dari pihak keluarga Ayahmu.” Ucap Diana yang membuat Vano terkejut mendengarnya. Dan membuat Vano tertarik dengan cerita Diana. “Ibu dulu besar di panti asuhan.” Ucap Diana yang tidak kalah mengejutkan lagi, pasalnya Diana tidak pernah memberitahu Vano tentang ini. “Orang tua Ibu meninggal ketika Ibu masih sangat kecil. Ibu besar di sana, hingga saat SMA, Ibu sekolah di salah satu sekolah yang cukup favorit karena beasiswa. Dan di sana Ibu bertemu dangan Ayahmu yang terlahir dari keluarga yang berada. Kami saling menaruh hati saat itu, hingga kami menjalin sebuah hubungan. Sampai kita lulus dari SMA, kita masih menjalin hubungan. Kala itu, Ayahmu melanjutkan kuliah di luar kota, sedangkan Ibu tidak meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi karena ekonomi yang kurang memungkinkan. Singkat cerita, setelah Ayahmu lulus kuliah, kami memutuskan untuk menikah. Namun, Nenekmu tidak menyetujui rencana kita, karena dia tahu Ibu lahir dari keluarga yang tida jelas asal-usulnya dan tidak sederajat dengannya. Namun ayahmu ‘keukeuh’ untuk menikahi Ibu, hingga kita nikah dengan tekad kita berdua. Hingga saat Ibu mengandung kamu, Nenekmu kembali mengancam kita agar bercerai. Jika tidak ...” Diana terisak ditengan ceritanya, Vano mencoba untuk menenangkan Diana dengan mengusap punggung Diana yang terguncang keras.

“Jika tidak, kenapa, Bu?” Tanya Vano yang kini sudah terhanyut dengan cerita Diana, penasaran. 

“Jika tidak, Nenekmu akan mencelakakan kamu jika kamu sudah lahir. Karena Ibu tidak mau itu terjadi, Ibu menyuruh agar Ayahmu meninggalkan Ibu. Awalnya Ayahmu tidak mau melakukannya, namun Ibu membujuk Ayahmu, karena semua ini demi kebaikan kamu juga. Dan Ayah menyetujui hal itu. Setelah berpisan Ayahmu selalu mengirim uang setiap bulannya ke Ibu, untuk mencukupi kebutuhan Ibu yang kala itu tengah hamil besar. Namun lama-kelamaan Nenekmu tahu, dan dia menutup semua akses antara Ibu dan Ayah. Hingga saat ini pun, Ibu tidak tahu Ayahmu tinggal dimana, karena rumah yang dulu sudah dijual dan komunikasi kita terputus begitu saja.” Jelas Diana yang masih berurai air mata ketika mengingat masa-masa pahit kala itu. Ketika kebanyakan orang lain bahagia dan dimanja oleh auami dan mertua, namun tidak dengan dirinya. Diana harus kehilangan semuanya.

“Kenapa Nenek begitu kejam kepada kita? Ibu, apa aku boleh mencari Ayah?” Tanya Vano yang kini juga sudah berurai air mata mendengar seberapa sakit hati Diana kala itu. Vano dapat merasakannya, karena semua kesakitan itu terdengar jelas dari setiap kata yang dilontarkan oleh Diana.

“Apa kamu sudah siap menerima apapun kenyataannya, jika bertemu Ayahmu nanti?” Tanya Diana. Diana tidak mau Vano akan bersedih jika nanti dia bertemu dengan Ayahnya yang sudah mempunyai keluarga baru. Vano mengangguk meyakinkan Diana. Vano ingin bertemu ayahnya dan bersandar di pelukana hangat Ayahnya. 

Vano sungguh merasa bersalah kepada Ayahnya. Sedari dulu Vano selau berangapan bahwa Ayahnya tidak menyayangi dirinya dan Diana karena begitu tega meninggalan mereka. Namun kali ini, Vano tahu Ayahnya meninggalakannya karena ini sebuah perlindungan baginya, dia sangat menyayangi Vano. Vano yakin suatu hari nanti dia akan bertemu dengan Ayahnya, meski itu entah kapan. 

“Bu, apa ibu punya foto Ayah?” Tanya Vano. 

“Ah ... Ibu tida punya. Dulu foto Ayahmu tertinggal di kontrakan kita dulu, dan Ibu tidak mempunyainya lagi.” Jawab Diana merasa bodoh. Bagaimana bisa dia bisa melupakan foto satu-satunya suaminya. Terlihat jelas raut kekecewaan dari wajah Vano. Bagaimana bisa dia mencari Ayahnya sedang dia tidak tahu wajah Ayahnya seperti apa. Diana sunggu merasa bersalah ketika melihat wajah Vano yang kembali murung. “Jika tuhan sudah menakdirkan kita bertemu, pasti akan bertemu. Kamu jangan sedih, Ibu yakin Ayahmu juga mencari kita.” Ucap Diana mencoba untuk menghibur Vano.

Untuk melepaskan semua kesedihan di malam ini, Vano dan Diana saling berpegang erat menikmati seliwir angin yang berhembus. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Mereka percaya tuhan maha baik, dia akan mempertemukan orang yang seharusnya dipertemukan. Hanya do'a dan harapan yang ada dibenak Vano saat ini. vano berharap nasib baik menyertainya. 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar