Suara kenalpot yang dihasilkan dari sebuah motor vespa begitu mendominasi di jalanan, suaranya yang begitu nyaring membuat setiap orang yang tengah berkendara memusatkan perhatiannya ke arah suara bising tersebut. mungkin sudah menjadi trend bagi anak muda untuk mengganti kenalpot motor dengan suara bising tersebut, namun tidak dengan khalayak ramai yang berada di sekiarnya, itu membuat konsentrasi dalam berkendara berkurang karena kebisingannya.
Motor vespa tersebut melaju dengan begitu cepat—dibandingkan vespa-vespa yang lain—dan memasuki gedung yang dihuni oleh generasi-generasi muda dalam mengemban ilmu. Motor tersebut terparkir tepat di sebelah motor-motor siswa lain. Motor tersebut sangat mencolok jika dibandingkan dengan motor-motor yang berada disekitarnya, warna yang mencolok—warna oren—dan modifikasi motor yang lebih trendi untuk ukuran motor vespa. Milik siapa lagi jika bukan Vano. Motor tersebut merupakan motor yang dibeli Diana untuk sekolah Vano. Awalnya Vano menolak, namun Diana bersikukuh untuk membelikan motor tersebut untuk Vano, meskipun itu motor bekas. Namun karena kepiawaian Vano, dia bisa menyulap motor bekas menjadi motor yang lebih menarik dari sebelumnya.
Selepas memarkirkan motornya, kini Vano sudah melangkahkan kakinya ke arah kelas. Tidak banyak orang yang memerhatikan Vano kala itu. jujur saja, Vano bukanlah cowok dingin, bergelimang harta, dan memiliki penggemar dimana-mana. Vano hanyalah cowok dengan kehidupan sederhana. Ibunya pun kini bekerja di salah satu butik milik temannya. Dan Vano merupakan anak tunggal.
Sesampainya di kelas, Vano mengedarkan padangannya ke setiap penjuru kelas, namun Vano tidak menemukan wanita yang selama ini selalu dia ganggu. Biasanya ketika Vano datang, Edelweis sudah terduduk di bangkunya dengan wajah yang dia sembunyikan di antara tangan yang dilipat, namun kali ini meja tersebut masih kosong.
Entah kenapa akhir-akhir ini Vano sering memerhatikan keberadaan Edelweis. Seperti ada yang aneh, pikir Vano.
Tanpa mau memperpanjang argumen—lebih jauh lagi—di dalam kepalanya, Vano memilih untuk segera duduk di kursinya. Vano meronggoh tas yang sedari tadi bertengker di punggunya dan meronggoh sebuah benda pipih berwarna hitam ber-merek Samsung. Jarinya menekan salah satu aplikasi sosial media berwarna ungu. Ibu jarinya terus-menerus men-scroll feed instagram dengan seksama—memerhatikan foto-foto di layar handphone-nya. Tanpa disengaja, Vano melihat sebuah potret yang menampilkan sebuah keluarga kecil yang tengah memamerkan kebahagiaannya, terlihat jelas dari matanya yang mengerut ke atas dan tarikan bibir yang memancarkan sebuah ketulusan. Vano kadang merasa iri jika melihat keluar kecil seperti itu. Bukan karena Vano tidak suka melihat orang lain bahagia, melainkan rasa ingin yang menggeruak di dada. Vano berarap suatu hari nanti dia dapat berkumpul dengan ayah dan Ibunya secara utuh. Vano ingin hidup seperti kebanyakan orang, Vano membutuhkan kasih sayang dari keduanya. Vano juga ingin diperhatikan oleh ayahnya seperti anak-anak lainnya. Mungkin untuk saat ini, Vano hanya dapat bermimpi tanpa tahu kapan masa itu akan datang.
Tanpa mau lebih terhanyut dalam kesedihan, Vano memilih untuk menyimpan kembali benda pipih miliknya ke dalam kantong seragamnya. Vano donggakkan kepalanya menyeka air mata yang sebentar lagi akan terjatuh. Vano tidak mau terlihat menangis oleh teman-teman kelasnya.
Vano menengokkan kepalanya ke arah samping, dan benar saja Edelweis sudah duduk di bangkunya sambil menutupi kedua telinganya dengan headset berwarna putih.
Sepertinya Vano tidak ada habisnya menganggu ketenangan Edelweis, kini pun dia sudah mengganggu Edelweis dengan cara mencabut salah satu headset yang menanap di telinga Edelweis.
Merasa ada yang mengambil headset-nya, Edelweis pun membalikkan badannya ke arah belakang untuk melihat siapa yang mengganggunya. Mata Edelweis melotot melihat ternyata Vano yang berada di belakangnya. Sebuah amarah yang ada di dalam dada kini kembali memumcak setelah kemarin dia merasa sudah berdamai dengan Vano. Edelweis pikir setelah hari itu Vano tidak akan mengganggunya lagi. Namun dugaannya salah, Vano tidak ada hentinya menganggu Edelweis.
Tidak suka dengan sikap Vano yang seperti itu—Edelweis pun tidak mau berdebat kembali seperti kemarin—Edelweis langsung merebut benda tersebut dari tangan Vano secara kasar tanpa sepatah katapun.
Vano menghela napasnya dalam memerhatikan Edelweis. “Gak asik, lo.”ucap Vano yang kini sudah duduk di meja Edelweis. Itu membuat wajah Edelweis tertutup oleh tubuh Vano yang cukup berotot.
Vano memiliki postur tubuh yang cukup bagus. Otot yang tumbuh di bagian-bagian tertentu, tubuh yang semakin hari semakin berbentuk. Olahraga adalah rutinitas wajibnya di setiap pagi.
Karena wajahnya terhalangi dan merasa risih jika harus berdekatan seperti itu dengan Vano, Edelweis pun mencoba mendorong tubuh Vano dengan mengerahkan semua tenaga yang ada di tubuhnya. Namun hasilnya nihil, Vano tidak bergerak sedikitpun dari hadapannya, tenaga Vano lebih kuat hanya untuk mengimbangi tenaga Edelweis. “Vano ... minggir, gak!! Gue lagi gak mau berdebat dengan, lo!”seru Edelweis yang masih berusaha menyingkirkan tubuh Vano dari hadapannya.
“Ih apaan sih lo, pegang-pegang tangan gue. Jangan-jangan lo naksir sama gue, ya?”tanya Vano dengan seringai di wajahnya. Alis sebelah kirinya pun kini sudah naik-turun menggoda Edelweis.
Dengan refleks Edelweis segera melepaskan kedua tangannya dari tubuh Vano dengan kasar dan lansung dilipat didepan dadanya. “Najis gue suka sama lo.”seru Edelweis memalingkan pandangannya dari tatapan Vano. Tanpa mau memerdulikan Vano, Edelweis pun kembali menancapkan headset-nya ke kedua telinga dan kembali mendengarkan musik yang tengah dia dengarkan sedari tadi, sambil membaca buku yang dia ronggoh dari tasnya. Sedangkan Vano, kini dia masih setia duduk di meja Edelweis dan memerhatikan setiap gerakan yang tercipta dari tubuh Edelweis.
“Oh ya Del, besok mau ngerjain tugas kelompok, gak?”tanya Vano memulai pembicaraan sambil memainkan buku yang tengah Edelweis baca.
Karena terganggu dengan aktivitasnya oleh Vano, Edelweis pun menyimpan kasar bukunya di atas meja. “Kenapa sih lo, gak bisa napa liat hidup gue tenang?”bentak Edelweis sambil mencabut kedua headset dari telinga.
Merasa lucu dengan ekspresi Edelweis yang sedang mengomel, Vano menyaringkan tawanya dan membuat semua siswa memusatkan perhatiannya kepada Vano yag sedang tertawa sambil memegangi perutnya. “Iya, gue gak bisa gak jailin lo. Lo ini pendiem banget, dari mulai masuk kelas sampai pulang lagi diem terus, kecuali kalo ditanya sama guru. Jadi gue mau gangguin lo terus biar lo tuh ngomomg dan marah-marah kaya gini.”ucap Vano yang kini sudah menampakkan ekspresi seriusnya.
“Please mulai sekarang lo jangan ngurusin hidup gue lagi, mau gue diem, mau gue marah-marah itu urusan gue, bukan urusan lo. Paham?”bentak Edelweis. orangtua Edelweis saja tidak pernah mencampuri urusannya. Orangtua Edelweis membebaskan anak-anaknya melakukan apa yang mereka suka, jika itu tidak berdampak negatif bagi anaknya dan orang lain. Namun kenapa kini Vano hadir dihidupnya dan dengan beraninya mencampuri urusanya. Dia pikir dia siapa bisa bersikap seperti itu, pikir Edelweis.
Mendengar bentakan yang dilontarkan oleh mulut Edelweis, Vano hanya diam tanpa berkutik, seperti seoranga anak yang sedang dimarahi oleh orangtuanya. Dan Vano memilih kembali duduk ke kursinya tanpa memalingkan tatapannya ke arah Edelweis sedikitpun.
Vano tidak begitu suka jika ada orang yang membentaknya. Selama ini Vano tidak pernah mendapatkan bentakan sekalipun. Vano dibesarkan dengan kelembutan seorang ibu, tak pernah ibunya sendiri membentaknya, kalaupun memarahi tidak pernah sampai membentak, melainkan hanya petuah lembut yang dapat menggerakan hati Vano untuk lebih baik lagi.
Vano hanya terdiam di kursinya dengan tatapan yang dia tundukkan ke arah ubin yang tengah dia tapaki. Hatinya begitu tersentak ketika Edelweis berkata seperti itu, padahal maksud Vano baik, namun disalah artikan oleh Edelweis.
Merasa ada yang mengganjal di dalam hati setelah membentak Vano, Edelweis merasa bersalah kepada Vano. Edeweis pikir dia sudah melewati batas membentak Vano, padahal dia tahu bahwa maksud Vano bersikap seperti itu baik, hanya saja cara yang digunakan kurang tepat. Edelweis pun langsung berpindah tempat duduk ke kursi Rio—teman sebangku Vano ang kini tidak masuk sekolah. “Van, gue minta maaf, ya?”ucap Edelweis penuh dengan penyesalan. Tangannya tidak mau diam bertauatan.
Vano diam tanpa menanggapi apa yang sedang Edelweis katakan. Melihat tidak ada respon dari Vano, Edelweis memutar otak agar vano bisa memaafkan kesalahannya. “Van, sekali lagi gue minta maaf sama lo. Gue gak bermaksud buat membentak lo seperti tadi. Gue cuma mau lo ngerti kalo gue gak suka diganggu. Gue akan melakuan apa aja salakan lo mau maafin gue.”pinta Edelweis pasrah. Jika Vano tidak kunjung memaafkan dirinya dengan cara ini, mungkin dia akan menyerah saja.
Edelweis tipikal orang yang tidak mau bermusuhan. Jika dia merasa bersalah pasti dia akan meminta maaf. Edelweis pikir musuh hanyalah dapat membuat hatinya gelisah. Meskipun mempunyai banyak teman, namun mempunyai musuh juga, rasanya seperti tidak enak. Edelweis tidak menyukainya.
Mendengar perkataan Edelweis, Vano pun langsung menolehkan wajahnya ke arah Edelweis, dan menampilkan senyuman jahilnya. “Yakin mau ngelakuin apa aja?”tanya Vano meyakinkan Edelweis.
“Yakin.”jawab Edelweis mantap dan memerhatikan wajah Vano, menunggu apa yang akan menjadi permintaan Vano kepadanya.
Vano berdehem sebelum dia mengutarakan permintaannya kepada Edelweis. sesekali Vano menampilkan senyuman jahilnya, dan itu membuat Edelweis bingung terhadap Vano, kini dahinya sudah berkerut karena kebingungan. “Gue ... gue mau lo jadi ... pacar gue.”pinta Vano sambil menyeringai. Terlihat ekspresi terkejut dari wajah Edelweis ketika mendengar permintaan Vano, dan itu membuat Vano tidak tahan menahan tawa melihatnya, namun Edelweis masih memasang wajah bingun dihadapan Vano. “Lo serius banget sih tanggepinnya. Gue becanda, ko. Gue cuma mau lo jadi sahabat gue, gimana?”tanya Vano sambil menaikkan salah satu alisnya. Mendengar penjelasan Vano, kini Edelweis sudah bisa menetralkan kembali ekspresi wajahnya.
Edelweis terlihat mengetukkan jari telunjuknya di gadu, menandakan jika dia sedang menimang tawaran Vano yang satu ini. vano hanya menatap Edelweis penuh harap. “Emm ... oke gue mau.”setuju Edelweis setelah persekian menit menimang.
“Serius?”tanya Vano antusias, sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa kini tangannya sudah mendekap kedua pundak Edelweis. Menyadari hal tersebut keduanya langsung terdiam saling menatap, dan Vano cepat-cepat menurunkan tangannya tersebut. “Lo serius, kan? Ini lagi gak nge-prank?”tanya Vano memastikan.
Mendengar tuduhan Vano, Edelweis memutarkan bola matanya malas. Tidak ada dalam sejarah Edelweis nge-prank seseorang, apa juga manfaatnya bagi Edelweis. “Menurut lo? Emang muka gue kaya orang yang lagi nge-prank, apa?”tanya Edelweis tidak suka.
Vano tersenyum ketika mendengar keseriusan Edelweis. “Ya elah, lo galak banget sih. Kan kita udah jadi sahabat. Setahu gue, sahabat yang baik gak pernah galak-galak sama sahabatnya.”ucap Vano terlihat bijak, menyampaikan kata-kata yang dia baca di salah satu postingan seseorang di sosial media.
“So bijak lo.”balas Edelweis.
“Ya lah, kan sahabatnya Edelweis.”balas Vano lagi-lagi membuat Edelweis tersenyum mendengarnya. Baru kali ini Edelweis memiliki teman laki-laki, sebelumnya Edelweis cukup anti dengan laki-laki kecuali Rehan dan Damian. “Nah gitu dong senyum, kan keliatan lebih jelek.”ejek Vano dan membuat Edelweis kembali mememlototkan bola matanya.
Edelweis sudah bersiap akan mencubit pinggang Vano, namun tangan Vano sudah terlebih dahulu menghentikan hal itu. “Gue beanda kali, Del. Lo lebih cantik, ko kalo senyum kayak gitu.”ujar Vano. “Tapi lo janji sama gue, kalo mulai hari ini kita sahabatan.”ujar Vano sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke atas, dan dengan cepat Edelweis menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking milik Vano.
Kini keduanya tengah saling menatap dan tersenyum tulus.