EDELWEIS
4. Bagian keempat

Suara riuh anak-anak begitu jelas terdegar. Dari mulai perasaan heran hingga cacian yang terujar. Bagaimana tidak, semua siswa dihebohkan dengan kedatangan Edelweis. Bukan hanya itu, kini Edelweis datang ke sekolah bersama dengan laki-laki populer seantro sekolah, siapa lagi kalau bukan Azel, si ketua osis yang digemari oleh para kaum hawa. Masih banyak para siswa yang tidak percaya ketika melihat Edelweis turun langsung dari mobil sport mewah Azel. Semua mata tertuju kepada kedua sejoli yang tengah berjalan berendengan.

Sedari tadi Edelweis hanya menundukkan kepalanya dalam. Sedangakan Azel berjalan dengan santainya, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Tatapannya pun dia tujukkan lurus ke depan. 

Edelweis begitu jelas mendengar cacian yang terlontar dari mulut para wanita yang iri terhadapnya. Dari mulai mengatainya bermain pelet dan lainnya. Itu membuat Edelweis begitu kesal mendengarnya. Namun tidak ada keberanian sedikitpun untuk melepaskan.

Azel dengan santainya mengantar Edelweis hingga ke depan kelas, dan sudah Edelweis duga pasti semua mata di ruangan kelasnya tertuju kepadanya. Sungguh Edelweis tidak suka jika harus menjadi bahan perhatian orang-orang, terlebih ini menjadi bahan perhatian satu antero sekolah. Hal tersebut membuat Edelweis risih. Edelweis bingung, kenapa semua orang seringkali terkesan ikut campur terhadap urusan orang lain, dirinya saja tidak begitu perduli dengan kehidupan orang lain jika itu bersifat pribadi. Karena Edelweis tahu, setiap orang mempunyai urusan pribadi yang tidak wajib orang lain ketahui juga. Hanya dirinya dan tuhan saja yang tahu. Apakah sulit untuk tidak ikut campur?

Suara riuh anak-anak di kelas XI IPA tiga semakin menjadi ketika Azel meninggalkan kelas tersebut dengan senyuman yang dia tujukkan kepada Edelweis. Senyuman yang dapat membuat siapa saja—terutama kaum hawa—terpana melihatnya. 9 dari 10 wanita di kelasnya merasa iri dengan keberuntungan yang Edelweis dapatkan. Bagaimana bisa Edelweis si cewek aneh dan pendiam bisa berangkat ke sekolah bareng dengan Azel si laki-laki tampan pujaan semua kaum hawa. Itu seperti di dongeng-dongen fiksi.

Karena tidak kuat dengan perhatian setiap pasang mata, Edelweis pun bergegas menduduki bangkunya dengan cepat dengan wajah yang masih menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah kesal. Ketika Edelweis baru saja mendudukkan bokongnya di kursi, semua kaum hawa yang berada di kelas XI IPA tiga langsung menghampiri meja Edelweis yang berada di belakang. Biasanya tidak ada satupun wanita yang mau menyinggahi meja Edelweis, namun kini berbanding terbalik, mejanya sudah dikerumuni wanita-wanita yang tak lain teman-teman kelas Edelweis. Semuanya bertanya tentang Azel, Edelweis merasa tidak nyaman jika ada orang yang mengusik ketenangannya. Dengan kesal di dalam dada, Edelweis menggebrak mejanya dengan keras dan membuat wanita-wanita yang berada dihadapannya membisu seketika. Meraka cukup kaget dengan sikap Edelweis. Edelweis yang pendiam kini sedang marah dibuatnya. Semua mulut berbincang membicarakan Edelweis dan meninggalkan meja Edelweis dengan tatapan sinis. 

“Dasar sok cantik banget sih, lo!”

“Kasihan banget kak Azel jalan sama psycopath kaya, lo!”

“Jangan kepedean deh, lo. Mungkin kak Azel cuma terpaksa berangkat ke sekola sama, lo!”

“Kak Azel pasti cuma kasihan sama lo, karena lo gak punya temen!”

Itulah kata-kata yang dilontarkan teman-teman Edelweis. Rasanya Edelweis ingin menangis sekencang-kencangnya, namun dia tidak mau orang-orang menganggapnya lemah. Edelweis tidak mau orang-orang berpikir jika Edelweis wanita cengeng dan itu akan membuat mereka menemukan celah baru untuk mengatainya. 

Untuk meredakan emosinya, Edelweis menundukkan ke palanya ke arah bawah mejanya, dengan tangan yang dilipat dijadikan sebagai tumpuan bagi dahinya yang tertunduk. Edelweis sungguh kesal dengan hari ini, karena kelakuan para kaum hawa di sekolahnya. Seharusnya ini adalah hari yang spesial karena dia bisa dekat dengan lai-laki yang selama ini dia kagumi, namun hal tersebut berbanding terbaik karena ulah mereka. 

Ketika Edelweis tengah menenangkan diri, tiba-tiba Vano datang dengan wajah yang tidak sukanya. Dahi yang dia kerutkan dan tangan yang menyilang di depan dada bidangnya. “Dasar cewek munafik. Dari depan aja kaya alim, tapi di belakang main gila.”ucap Vano tiba-tiba. Vano kini sudah duduk di bangkunya dengan kaki yang dia angakat ke atas meja. 

Mendengar ucapan Vano, hati Edelweis begitu terhenyak. Bagaimana bisa Vano berpikir seperti itu, pikir Edelweis. Edelweis yakin kata-kata Vano ditujukkan kepadanya, karena Edelweis tahu bagaimana Vano tidak suka jika melihat Edelweis senang. Edelweis langsung mengangkat kepalanya dan mengarahkan ke arah Vano yang berada di sampingnya. “DENGAR!! AKU BUKAN CEWEK MUNAFIK.”balas Edelweis dengan penekanan di setiap katanya. Kini Edeweis sudah berdiri dan mengepalkan tangannya dalam, sampai-sampai kulit tangan bagian dalamnya memutih karena tekanan dari kuku yang menancap di sana. 

Vano menurunkan kakinya dari atas meja, dan melangkahkan kakinya ke arah Edelweis. Bibirnya pun kini sudah berada tepat di depan telinga Edelweis. “Jika kamu bukan cewek munafik, kenapa kamu merasa tersindir ketika aku berucap?” tanya Vano mengalihkan pandangannya dari wajah Edelweis yang hanya berjarak beberapa senti meter saja dari wajahnya. 

“Karena aku tahu kamu hanya tidak suka padaku. Jadi aku pikir ucapan kotormu itu ditujukkan kepadaku. Aku hanya ingin membuktikan jika aku juga memiliki teman, karena aku bukan cewek aneh yang seperti kamu katakan. Aku cewek biasa yang akan merasa sakit jika ada orang yang berusaha menyakiti hatinya.”ucap Edelweis sedikit gemetar. “Aku tidak segan membenci laik-laki sepertimu!”ujar Edelweis mengakhiri kata-katanya. 

Entah kenapa Vano begitu takut ketika Edelweis berkata seperti itu, bukan takut karena kemarahan Edelweis yang meluap, melainkan takut jika dia sudah menyakiti hati Edelweis. 

Untuk menutupi ketakutan tersebut, Vano hanya tersenyum sinis ke arah Edelweis dan meninggalkan wanita tersebut yang masih setia berdiri. 

Vano memilih pergi ke atap sekolahnya, tidak jarang Vano berdiam diri di sana, hanya untuk menenangkan diri. Vano tidak segan untuk menendang benda-benda yang berada di sana. Pikirannya sedang kalut, entah apa yang dia pikirkan. Dia tidak tahu mengapa dirinya tidak suka jika melihat Edelweis marah, padahal Vano hanya ingin Edelweis tergerak untuk bersosialisasi. Vano tidak mau nasibnya dulu dirasakan juga oleh Edelweis. Vano pikir hal tersebut biarlah hanya menimpa dirinya, namun tidak dengan orang lain.

Dulu ketika Vano duduk di bangku sekolah dasar, tidak jarang sekali Vano dalam sehari mendapatkan cacian dari teman-temannya. Mereka mengatakan jika Vano anak haram. Vano anak yang tidak diiinginkan oleh orangtuanya sendiri. Vano sendiri tidak tahu apakah itu benar atau tidak, pasalnya sedari kecilpun Vano belum sekalipun bertemu dengan ayah kandungnya. Jangankan untuk bertemu mengetahui bentuk ayahnya saja dia tida tahu, karena Diana—Ibu Vano—tidak pernah memberi tahunya. 

Sedari remaja Vano selalu melampiaskan kemarahannya dengan cara marah-marah, seperti menendang barang-barang disekitar atau memukuli benda-benda disekitarnya. Untuk menutupi semua masalalunya yang sering di bully, Vano memilih untuk pindah tempat tinggal dan memilih sekolah menengah atas yang jauh dari tempatnya dulu, hal tersebut dilakukan Vano agar dia tidak satu sekolah lagi dengan teman-teman di masa putih birunya lagi. 

Ketika memasuki sekolah menengah atas, Vano mulai untuk menata kehidupannya kembali. Vano yang dulunya pendiam dan menutup diri dari orang lain, kini Vano sudah berubah menjadi Vano yang periang dan ramah terhadap siapapun, jadi tidak heran jika kini dia memiliki banyak teman. 

Setelah lelah menendang benda-benda yang berada di rooptof, kini Vano mendudukan bokongnya di ubin yang tidak beralaskan apapun. Vano sesekali mengacak rambutnya asal dan mengeluarkan erangan yang begitu pelan. “Apa yang terjadi sama gue? Kenapa gue harus kesal ketika melihat Edelweis bersama Azel? Bukankah itu yang gue mau? Melihat Edelweis mendapatkan teman?”ujar Vano terhadap dirinya sendiri. Vano sendiri bingung mengapa dirinya bersikap seperti ini?

Di angkat wajahnya menadah ke arah langit yang kini sedang berwarna biru muda, Vamo berteriak dengan sekuat tenaga untuk melupakan kekesalan di dalam dada. 

Setelah merasa cukup melampiaskan emosinya, Vano bergegas menuju kelas kembali untuk mengikuti pelajaran. Namun, sesampainya di sana, belum ada juga guru yang duduk di bangku bagian depan yang biasa di duduki oleh guru. Karena melihat belum ada guru, Vano melangkahkan kakinya ke dalam ruangan tersebut. terlihat semua siswa tengah sibuk berbincang karena jam pelajaran kosong. 

Dilihat Edelweis masih duduk diam membisu di kursi kramatnya, tanpa seorang pun yang berani mendekati. Vano tetap berjalan menuju mejanya tanpa mendelik kepada Edelweis sedikitpun. 

Tidak lama Deni—ketua kelas XI IPA tiga—masuk ke kelas kelas dan memberikan informasi bahwa guru mata pelajaran matematika berhalangan datang dikarenakan ada urusan yang tidak dapat ditinggalkan, jadilah mereka di beri tugas untuk mengerjakan beberapa soal yang berada di buku paduan siswa. Setiap orang akan dikelompokkan dua orang-dua orang dan kelompok akan di pilih secara acak berdasarkan absensi. Entah nasib baik atau nasib buruk, Edelweis dan Vano terpilih sebagai pasangan kelompok. Nama Vano bersandingan dengan Edelweis, dimana nama asli Vano adalah Devano. Dan mau tidak mau mereka harus satu kelompok untuk mengerjakan tugas yang diberikan. 

“Oh ya, tugasnya dikumpulin minggu depan, ya.”ujar Dion memeberitahu anggota kelasnya setelah pembagian kelompok selesai. 

Setelah pembagian kelompok semua sisiwa langsung berdiskusi langsung dengan anggota kelompoknya masing-masing untuk membahas soal matematika yang diberikan. Namun tidak dengan Edelweis dan Vano, mereka masih berdiam membisu tanpa ada seorangpun yang berniat untuk memulai percakapan. Vano yang tengah sibuk melamun memikirkan sikapnya tadi kepada Edelweis, dan Edelweis yang sibuk meneliti soal matematika dan memikirkan bagaimana cara menemukan jawaban-jawaban yang benar. Keduanya seakan terhanyut dengan pikirannya masing-masing.

Vano merasa bersalah karena dia sudah begitu kasar terhadap Edelweis. Vano pikir sikapnya kepada Edelweis tidak sepatutnya seperti itu. jikapun Vano ingin Edelweis memiliki teman, namun cara yang digunakan bisa dengan cara yang lebih halus lagi. Untuk menghilangkan rasa bersalahnya, Vano dengan beraninya mendekati Edelweis dengan cara menggeserkan kursinya ke arah Edelweis. 

Rasa kelu dalam bibir Vano untuk mengucapkan kata maaf kepada Edelweis. namun jika seperti ini terus, mungkin Vano akan merasa bersalah terus-menerus. “Del, maafin gue, ya?”ucap Vano dengan penuh keberanian. Namun Edelweis tidak menyahuti atau hanya sekedar menoleh kepada Vano yang berada di sampingnya. “Sekali lagi gue minta maaf. gue gak bermaksud mencampuri urusan, lo.”ucap Vano lagi dengan perasaan tulusnya, namun lagi-lagi tidak ada respon dari Edelweis. Kesalahan Vano kali ini sudah sangat fatal, Edelweis tidak suka jika Vano bersikap seperti itu. Biarkan Vano belajar dari kesalahannnya, pikir Edelweis. 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar