EDELWEIS
3. Bagian ketiga

Satu demi satu anak tangga dilewati oleh Edelweis. Jalannya sempoyongan, karena kegiatan di sekolah yang menguras hampir semua tenaga yang ada di tubuhnya. Terlalu banyak sekali kegiatan yang dia lakukan di sekolah, dari mulai praktek mata pelajaran biologi yang mengharuskan Edelweis turun langsung ke lapangan untuk meneliti pembedahan kodok yang dia ambil langsung dari sawah. Ditambah lagi mata pelajaran terakhir di jam pelajarannya diisi oleh mata pelajaran Matematika, yang mengharuskannya berfikir keras.

Langkah kakinya berhenti di ruangan yang berada tepat di dekat tangga yang tadi dia tapaki. Ruangan tersebut adalah ruangan favorit Edelweis di rumahnya. Bagaimana bisa, karena di ruangan tersebut Edelweis dapat menemukan ketenangan diri dan dapat melakukan apapun yang dia suka, tanpa ada yang mengetahuinya. Semua privasi nya ter cover di sana. Kamar. Edelweis mendesain kamarnya dengan warna-warna pastel di dalamnya. Dari mulai cat dinding yang dia beri warna abu-abu muda, seprai berwarna pink, meja rias berwarna pink, dan pernak-pernik yang menempel di dindingnya di dominasi dengan warna putih—jam, pas foto, dan hiasan dinding. Tidak lupa rak buku yang berdiri kukuh di samping meja rias berwarna putih. Terdapat puluhan buku yang berjejer rapi berdasarkan ketinggian bukunya. Buku Edelweis di dominasi oleh buku novel dan komik dibandingkan dengan buku pelajarannya di sekolah. 

Seelah memasuki kamarnya, Edelweis langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sedari tadi memanggil-manggil Edelweis untuk ditiduri. Rasanya begitu nikmat ketika tubuhnya bergesekan langsung dengan kasur nya, seakan tulang yang ada di punggungnya kembali lurus setelah berjam-jam dia tegakkan ketika di sekolah. Dingin yang berasal dari seprai yang baru saja di tempati begitu membuat Edelweis enggan untuk hanya sekedar menggerakannya. Dia pejamkan sebentar kelopak matanya menikmai sensasi kenikamatan yang tengah dirasakan. 

Sudah merasa cukup dengan rebahannya, Edelweis memutuskan untuk membersihkan tubuhnya yang sudah terasa lengket dari keringat-keringat yang dia keluarkan sepanjang hari ini. Edelweis mengambil handuk yang menggantung di gantungan daun pintu sebelum memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Handuk berwarna abu-abu dia tentneg di bahu kanannya dengan lesu. Tubuhnya seakan tidak memiliki tenanga.

Guyuran air shower begitu menyegarkan tubuh Edelweis, sehigga membuatnya tenang dibuatnya. Aroma sabun mandi yang dikenakan pun begitu nyemerbak di indra penciuman, wangi bunga ros me relex kan jiwa dan pikiran. 

Selesai menjalani ritual mandinya, Edelweis memilih turun ke lantai satu untuk menyantap makanan yang sudah disiapakan oleh Rianti—Bunda Edelweis. Namun, makanan yang biasaya sudah tersaji di meja makan kini tidak ada. Tidak ada satu pun makanan yang dapat yang tersaji untuk dimakan, hanya ada air putih yang dapat meyegarkan tenggorokan yang sudah kering. Edelweis mencari Rianti yang entah di mana keberadaannya, sejak Edelweis pulang, Edelweis tidak mendapati Rianti yang biasanya tengah asyik menonton siaran di televisi. 

Edelweis mencari keberadaan Rianti di kamarnya. Dan benar saja Rianti tengah berdandan ria di hadapan cermin oval yang menyatu dengan meja rias, alat make-up pun sudah berjajar di sana menunggu untuk dijamak oleh sang empunya. 

Edelweis memeluk tubuh Rianti yang sedikit buncit di bagian perutnya, akibat sudah melahirkan kedua anaknya yang kini sudah mulai beranjak dewasa. Kulitnya pun sudah terdapat garis-garisan halus, mengingat usianya sudah menginjak 44 tahun. Dan rambut yang sudah ada beberapa yang memutih—tidak terlalu kelihatan, karena masih bisa tertutupi oleh rambut hitamnya—dia biarkan menjuntai melewati punggung. “Bunda mau kemana?”tanya Edelweis bingung yang kini masih setia memeluk Rianti dan membiarkan dagunya menopang di bahu Rianti.

Untuk menjawab pertanyaan anak bungsunya, Rianti membalikkan tubuhnya menghadap Edelweis dan mengusap kepala Edelweis lembut. “Ayah tadi bilang, kata nya malam ini ada pertemuan dengan sahabat lamanya. Jadi Bunda harus ke sana.”jelas Rianti. “Kamu sama Bang Damian juga ikut, ya?”tanya Rianti meminta persetujuan, karena Rianti tahu bahwa Edelweis anak yang susah sekali jika diajak untuk keluar, meski itu hanya sekedar makan malam. Edelweis pikir makan malam di luar dan di rumah sama saja, namun akan berbeda jika tidak ada salah satu dari anggota kelurga. 

Terlihat raut wajah Edelweis yang tidak suka dengan usulan Rianti, wajahnya sudah tidak bersemangat seperti tadi lagi. Bibir yang tertekuk membuat kedua pipinya melambung besar, sorotan matanya pun sudah dia arahkan ke atas langit-langit kamar Rianti yang berwarna putih. “Aku tidak ikut ya, Bun? Bang Damian aja yang ikut, ya?”tanya Edelweis memelas. “Lagian aku capek banget seharian di sekolah. Aku mau tidur aja.”bujuknya kepada Rianti yang sudah tersenyum mendengar keluhan anaknya yang satu ini. Edelweis selalu menggunakan alasan yang sama jika diajak makan malam di luar. 

Memahami sifat anak perempuannya yang tidak suka jika di bentak, untuk membujuknya Rianti menggunakan hal-hal yang lebih halus kepada Edelweis. Seperti sekarang ini, untuk membujuk Edelweis perlahan mengusapkan tangannya di atas rambut Edelweis yang masih basah karena air yang dia guyurkan tadi. “Kamu harus ikut ya, sayang. Pokonya kamu sama Bang Damian harus ikut. Tidak boleh membantah.”ucap Rianti mencolek ujung hidung Edelweis yang sedikit mancung. 

Edelweis tidak ada alasan lain untuk menolak ajakan Rianti. Biasanya ada ribuan ide agar Rianti menyetujui alasan yang dibuat Edelweis. Namun sekarang otak Edelweis sedang tidak berjalan dengan baik, seakan ide-ide cemerlangnya hilang begitu saja. Mau tidak mau, Edelweis menyetujui ajakan Rianti dengan begitu terpaksa, wajahnya pun masih ditekuk seperti tadi. Rianti hanya menggelengkan kepalanya ketika mendapati Edelweis yang sudah berjalan menuju kamarnya. 

Untuk makan malam hari ini, Edelweis menjatuhkan pilihannya untuk mengenakan dres selutut berwarna abu-abu yang dibelikan Damian pada saat ulang tahunnya yang ke enam belas. Dres tersebut dirancang khusus untuk Edelweis, yang mendesain bajunya pun Damian sendiri. Dres selutut dengan pita besar di belakang bagia pinggangnya, membuat terlihat pinggang Edelweis yang sangat ramping. Dan malam ini, Edelweis mengenakan heels berwarna senada dengan Dres yang dikenakan. Rambut yang digerai membuatnya terlihat cantik.

Make-up yang di aplikasikan pun tidak terlalu tebal, hanya menggunakan fondation untuk meng-cover wajahnya—yang sebenarnya sudah mulus, eyeshadow berwarna pink, eyeliner, maskara, blush-on berwarna pink, lip tint berwarna pink—yang diombre ala-ala Korea, dan untuk sentuhan akhirnya Edelweis menggunakan gliter di bagian pipi yang sudah di sapu oleh blush on. 

Damian dan Rianti sudah bersiap dengan kostumnya. Damian dengan stelan casualnya—jeans hitam yang dipadukan dengan kemeja garis-garis yang dia masukan ke dalam jeans-nya. Tak lupa sepatu kets untuk menambah penampilannya. Sedangkan Rianti, dia menggunakan dres selutut berwarna merah yang dipadukan dengan wedges berwarna hitam, tak lupa tas yang dia kaitkan di tangan sebelah kanannya berwarna hitam. Rambutnya pendeknya—sebahu—dibiarkan tergerai. 

“Bun, Ayah sudah di sana?”tanya Edelweis kepada Rianti yang kini sudah duduk di jok samping pengemudi—yang ditempati oleh Damian. Sedangkan Edelweis duduk di jok bagian belakang sendiri.

“Udah. Tadi dari kantor langsung ke sana, soalnya kalo ke rumah dulu menguras banyak tenaga, katanya.”jawab Rianti sambil menolehkan sedikit kepalanya ke belakang.  

Mendengar jawaban Rianti, Edelweis hanya ber oh-oh ria sendiri. Karena merasa bosan dengan perjalanan yang lumayan lama, Edelweis menolehkan kepalanya ke arah jendela mobilnya, di sana menampilkan jalanan yang sudah dihiasi lampu-lampu terang karena hari sudah mulai meredup. 

Melihat—dari kaca spion—Edelweis yang tengah melamun membuat Damian penasaran dengan keadaan Edelweis. “Dek, kamu kayanya gak semangat banget.”tebak Damian sedikit melirik Edelweis dari kaca spion. 

Mendengar Damian bertanya, Edelweis mengalihkan tatapannya ke arah depan. “Iya, Bang. Aku capek banget seharian di sekolah. Sekarang tuh enakan tidur sambil dengerin musik.”balas Edelweis. 

Damian sedikit terkekeh mendengar jawaban Edelweis yang sangat polosnya. “Kamu ini, kerjaannya tidur terus. Sekali-kali main keluar, kenapa?”ucap Damian menanggapi jawaban Edelweis. Damian tidak habis pikir dengan Edelweis, sepengetahuannya Edelweis jarang sekali keluar rumah—meskipun itu sedang libur sekolah. Edelweis hanya menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di dalam kamar. Jika keluar rumah itu hanya pergi ke sekolah dan jika ada tugas kelompok yang harus dikerjakan di luar rumah, dan sesekali dia main ke rumah Cecil, teman Edelweis sejak kecil dan rumahnya pun berada tepat di depan rumah Edelweis. 

Edelweis terlihat mengembungkan kedua pipinya ketika mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Damian. Sudah puluhan kali Damian mengutarakan kata-kata yang sama, sampai-sampai Edelweis sudah hapal dengan kaimatnya. “Mau kemana juga kalo keluar, ke sekolah itu sudah cukup menurutku. Lagian mendingan bantuin Bunda di rumah, daripada kelayaban gak jelas kaya Abang.”jawab Edelweis sedikit kesal. “Iya kan, Bun?”tanya Edelweis meminta persetujuan Rianti. 

Rianti hanya tersenyum melihat kedua anaknya berdebat. Rianti tidak mau membela salah satu dari mereka, karena jika Rianti melakukannya pasti ada salah satu yang tidak suka. Toh memang keduanya benar, jika di rumah juga memang tidak baik karena kurangnya hubungan sosial dengan sesama. Dan kelayaban juga tidak baik karena kurangnya waktu dengan keluarga. Yang jelas keduanya harus seimbang.

Damian dan Edelweis meskipun kakak-adik namun mereka memiliki sifat yang begitu kontras. Damian orang yang senang bergaul dan sulit rasanya jika sehari saja tidak keluar rumah, sehingga tidak jarang sekali Damian berdiam diri di rumah barang seharipun. Sedangkan Edelweis orang yang lebih memilih menghabskan hari-harinya di rumah, dan sulit baginya untuk bergaul. Edelweis lebih memilih orang mana yang mau dijadikannya sebagai teman baik, jika orang tersebut memiliki frekuensi yang sama, tidak sulit bagi Edelweis untuk mendekati. Bukan Edelweis pemilih, namun itu juga bagi kebaikan dia juga, bukan? Teman itu cerminan diri. 

Mobil Avanza berwarna silver yang ditumpangi Edelweis dan keluarga pun kini sudah terparkir di parkiran salah satu resto di kotanya. Mereka—Edelweis, Rianti dan Damian—kini sudah memasuki resto tersebut. terlihat Rehan—Ayah Edelweis—sudah duduk di meja yang berada di sebelah kanan resto. 

“Halo Ayah.”sapa Edelweis kepada Rehan dengan hangatnya. Dan Edelweis pun memeluk tubuh Rehan yang memiliki tinggi tubuh yang begitu jauh berbeda. Hanya se dada tiggi Edelweis di pelukan Rehan. Edelweis selalu bersikap manja jika sudah bersama Rehan. Edlweis lebih dekat dengan Rehan dibandingkan dengan Rianti, Ibunya. Sedangkan Damian lebih dekat dengan Rianti dibandingkan dengan Rehan, Ayahnya. 

Rehan mengusap pucuk kepala Edelweis dengan lembut. “Putri ayah malam ini cantik banget.”puji Rehan kepada putri satu-satunya. 

Mendengar pujian Rehan, pipi Edelweis terlihat bersemu merah, tersipu. “Ayah bisa aja deh.”balas Edelweis sambil mengeratkan pelukannya kepada tubuh kukuh yang sedari tadi dia peluk. 

Damian sungguh tidak suka jika melihat Edelweis yang manja seperti itu. Damian pikir itu bukan sifat Edelweis yang asli. Seperti dibuat-buat. “Ya jelaslah cantik, kan pake baju yang aku belikan.”ujar Damian yang kini sudah mendudukkan bokongnya di salah satu kursi yang sudah disediakan. 

Edelweis, Rehan dan Rianti pun mengikuti yang Damian lakukan. Kini mereka sudah duduk di kursi masing-masing. Edelweis yang duduk di antara Rehan dan Rianti di sampingnya, sedangkan Damian duduk di ujung meja yang memanjang. “Gak nagaruh kali, Bang. Yang ngaruh tuh wajah aku.”jawab Edelweis tidak suka. 

“Udah-udah, ah. Kalian ini.”sergah Rehan mengakhiri perdebatan antara kedua anaknya itu. 

Tidak lama, beberapa orang menghampiti keluarga Edelweis dengan senyuman yang mengembang, yang tida lain adalah keluarga dari teman dekat Rehan. 

Dari ketiga orang tersebut ada satu orang yang mencuri perhatian Edelweis sejak tadi. Tatapan Edelweis tidak terlepas sekejap pun dari orang tersebut, begitupun dengan orang yang ditatap.  

“Kak Azel?”ucap Edelweis pelan.

“Edelweis?”sapa Azel berbarengan. 

“Kalian sudah saling kenal?”tanya Rehan heran.

“Iya om, aku sama Edelweis satu sekolah.”jawab Azel cepat.

“Wah ... kebetulan sekali.”kini Damar—Ayah Azel yang berujar.

Setelah sesi perkenalan tersebut, merekapun langsung menyantap makanan yang telah dipesan dan di tutup dengan perbincangan-perbinangan lainnya. 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar