Suasana sekolah masih begitu sepi terasa. Lorong sekolah yang biasanya dipenuhi oleh riuh anak lelaki, kini terdengar sunyi. Suara sepatu yang bergesrekan langsung dengan ubin pun terdengar jelas di telinga. Sayup-sayup hembusan angin di pagi hari masih terasa sejuk. Hal tersebut adalah suasana yang didambakan Edelweis di setiap harinya.
Edelweis kini tengah berjalan mengendap memasuki sebuah kelas yang masih kosong, belum ada penghuninya satupun. Sesekali Edelweis membalikan kepalanya untuk memastikan jika tidak ada orang yang memergoki. Merasa suasana aman, Edelweis menghampiri meja yang berada di baris ketiga. Edelweis meronggoh ranselnya—yang berwarna abu-abu—untuk mengambil salah satu benda yag ada di dalamnya.
Sebuah surat—beramplop merah muda—yang Edelweis ambil. Kemudian dengan cepat Edelweis sesegera mungkin menaruh surat tersebut di bawah meja yang berada di depannya. Sudah beberapa kertas yang berada di bawah sana, namun belum juga sang pujaan membalasnya.
Setelah selesai dengan aksinya, Edelweis pun bergegas menuju kelasnya yang tidak jauh dari ruangan tersebut.
Cukup menguras tenaga ketika berlari dari kelas XII menuju kelas Xl, dan itu membuat Edelweis sesak dengan napasnya. Sesekali Edelweis menoba menstabilkan derup napasnya—dengan cara menarik napas dalam dan membuangnya dengan perlahan dilalukannya terus menerus.
Merasa napasnya sudah stabil, kini Edelweis memilih menduduki kursi yang dia isi sendiri.
Teman-teman kelas Edelweis semuanya duduk berpasangan, namun tidak dengan Edelweis. Jumlah siswa di kelas XI IPA tiga ganjil, jadi mengharuskan Edelweis duduk tanpa teman. Namun hal tersebut membuat Edelweis senang, karena tidak akan ada orang yang menggangu ataupun mencampuri urusannya.
Dulu ketika duduk di bangku kelas X, Edelweis duduk dengan Sonia—yang tak lain teman Edelweis ketika duduk di bangku menengah pertama. Namun Edelweis merasa risih ketika duduk bersamanya, karena Sonia selalu mengganggu Edelweis ketika jam mata pelajaran berlangsung, yang membuat Edelweis tidak fokus akan materi yang tengah disampaikan oleh guru. Maka dari itu kini di kelas XI, Edelweis memilih duduk sendiri.
Namun sepertinya takdir bekata lain, kini memang Edelweis duduk sendiri. Tetapi Vano yang duduk di meja sebelah Edelweis tidak pernah sekalipun absen untuk mengganggu Edelweis setiap harinya. Edelweis sebenarnya geram dengan kelakuan Vano. Entah mengapa Vano selalu saja menyinggung tentang teman, apakah salah jika hidup di lingkungan yang lebih kecil? Pikir Edelweis.
Edelweis acapa kali menyeritkan dahinya ketika banyak orang yang mempersalahkan teman. Apakah semua yang mereka anggap teman, menganggap mereka teman juga? Edelweis rasa hidup dengan banyak ataupun sedikit teman itu tidak akan membuat mereka rugi. Karena setiap orang mempunyai jalannya masing-masing.
Ketika kita mempunyai banyak teman, apakah selalu akan mendatangkan kebahagiaan? Edelweis rasa itu tidak, karena sebuah kebahagiaan diciptakan oleh diri sendiri. Setiap orang memiliki caranya untuk bahagia masing-masing. Jika dengan kesendirian dapat membahagiakan, kenapa tidak dilakukan?
Tampak satu demi satu siswa kelas XI IPA tiga berdatangan memenuhi kursi yang sedari tadi kosong, untuk memulai pelajaran di hari baru. Namun diyakini semua yang datang tidak semuanya sungguh-sungguh untuk mencari ilmu. Bagaimana tidak, ke sekolah menggunakan make up yang sangat tebal—seperti akan pergi ke kondangan—adapun yang tidak membawa buku dan lain sebagainya. Mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmu, karena masih lumayan banyak yang masih menaati aturan, baik aturan yang diberikan oleh guru maupun organisasi sekolah yang harus dijalankan, seperti Edelweis ini. Edelweis tidak pernah sekalipun mendapatkan skor dari sekolah sekalipun, menurutnya peraturan dibentuk untuk dipatuhi, bukan untuk ditentang—kecuali yang bersifat menyimpang. Sangat disayangkan bagi mereka yang selalu melanggar aturan di sekolah, padahal orangtuanya sudah membiayai dengan mahal, namun mereka menganggap sekolah sebagai main-main saja.
Menunggu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, Edelweis menggunakannya dengan membaca novel yang dia pinjam dari perpustakaan tempo hari. Buku tersebut membuat Edelweis tersenyum sendiri ketika membacanya. Jarang sekali Edelweis menampakkan senyumannya di khalayak ramai, mungkin hanya dapat dihitung dengan jari saja.
Buku yang dibaca Edelweis bergendre romance komedi, jadi tidak heran membuat Edelweis tersenyum dibuatnya. Buku tersebut menceritakan tingkah laku pasangan yang memiliki sifat humor yang sangat tinggi.
Heran dengan tingkah Edelweis yang tidak biasa, membuat Vano yang kini tengah mengobrol dengan teman-temannya sesekali mencuri pandang ke arah Edelweis. Tidak mau berlarut dengan kepasarannya, Vano pun menghampiri Edelweis dan berdiri di belakangnya. “Cie ... cie ... ada yang lagi senyum-senyum sendiri, nih.”ucap Vano, dan langsung merebut buku yang tengah berada di tangan mungil Edelweis.
Edelweis sungguh terkejut ketika buku yang tengah asyik dia baca beralih tangan ke orang lain. “Vano kembalin buku gue!”.seru Edelweis dengan tegas. Edelweis sangat tidak suka jika ada orang yang mengganggunya ketika membaca buku, terlebih buku yang dapat membuatnya terhanyut kepada cerita tersebut, rasanya itu sangat mengganggu konsentrasinya saja untuk masuk ke dalam dunia cerita yang dibuat oleh sang penulis.
Salah satu penulis idola Eelweis adalah Tereliye. Menurut Edelweis diksi yang digunakan dalam novel-novel Tereliye sangatlah bagus. Alur cerita yang dibawakpun dapat masuk ke dalam imajinasinya. Selain itu, karya-karya Tereliye yang sudah terbit puluhan buku, membuatnya termotivasi untuk menulis juga. Edelweis ingin menebarkan ilmu dalam sebuah tulisan. Edelweis mungkin tidak bisa berbicara ataupun menyampaikan opini/argumennya secara langsung di hadapan publik, namun Edelweis bisa jika dia menyampaikan opininya di dalam sebuah tulisan.
Edelweis bermimpi jika suatu saat nanti dia juga bisa seperti idolanya tersebut. Karena sebuah pencapaian berawal dari mimpi yang tinggi.
Melihat Vano yang masih memgang bukunya, Edelweis tidak berselera lagi untuk membaca, mood-nya sudah habis karena Vano. Edelweis sungguh tidak mau berdebat dengan Vano yang kini sudah mengoceh tidak penting.
Untuk mengambil buku tersebut, Edelweis menjinjitkan kakinya untuk menggapai tangan Vano yang mengacungkan bukunya. Namun Edelweis tidak mampu mengambilnya, karena mengingat Vano lebih tinggi 15 senti meter dari Edelweis. Vano memiliki tinggi badan 175 senti meter—sangat proposional bagi lai-laki Indonesia—sedangkan Edelweis memiliki tinggi tubuh 150 senti meter—cukup ideal bagi Edelweis, mengingat berat tubuh Edelweis sebesar 50 kilo gram.
Merasa Vano bermain-main dengannya, Edelweis beranjak pergi dari kelasanya dan meninggalkan vano yang masih mengacungkan buku Edelweis di udara dengan tatapan tidak percaya. Vano pikir Edelweis akan berusaha keras untuk mengambil bukunya, namun terkaan Vano salah. Edelweis memang cewe aneh.
Edelweis kini sudah mengurung dirinya di dalam kamar mandi yang berada tepat diujung lorong, lebih tepatnya di belakang kelas XII dan kamar mandi tersebut sering digunakan oleh anak-anak kelas XII. Edelweis kini tengah menumpahkan semua kekesalannya di hadapan cermin yang menempel di tebok. Sesekali Edelweis mengusap wajahnya dengan air yang mengalir dari keran yang di nyalakan.
Edelweis sungguh kesal dengan Vano, bisa-bisanya dia menganggu Edelweis di pagi hari seperti ini. Belum puaskah dia mengerjaiku terus menerus. Maksud Vano itu hanya gurauan, namun Edelweis tidak menyukai hal tersebut.
Setelah menghapus semua jejak kekesalan di wajahnya, Edelweis bergegas keluar dari kamar mandi tersebut takut-takut guru mata pelajaran sudah masuk. Edelweis tipikal murid yang menyayangi absensi, dia tidak mau sekalipun mengosongkan absennya jika bukan karena hal yang memang benar-benar penting.
‘Bugh’
Suara benturan cukup terdengar keras di telinga. Kepala Edelweis sendiri tertunduk menabrak sebuah benda kokoh dihadapannya. Untuk memastikan apa yang dia tabrak, Edelweis mendonggakan kepalanya—yang kini tengah dia usap karena merasa sakit—dengan perlahan. Terlihat seorang laki-laki yang memiliki tinggi badan sekitar 170 senti meter, rambut hitam yang dibiarkan menutupi jidat—ala-ala Korea, dada bidang yang berbalutkan kaus seragam seperti yang tengah Edelweis pakai, dan hidung mancung yang terdapat kacamata yang bertengker indah di atasnya. Edelweis hanya dapat terpaku ketika melihat laki-laki tersebut. Tanpa mengalihkan pandangannya, dia masih termangu diam.
“Kamu tidak apa-apa?”tanya laki-laki tersebut sambil melambaikan tangannya di hadapan wajah Edelweis yang belum berkedip sedetikpun.
Seakan mulut Edelweis terkunci rapat, sehingga tidak ada satu kata pun yang dapat dia lontarkan. Pasalnya tadi jarak Edelweis dan laki-laki itu sungguh dekat, mungkin jika ada orang yang tidak sengaja melihat akan berpikir jika mereka akan berciuman.
“Kamu tidak apa-apa?”tanya laki-laki tersebut sekali lagi untuk memastikan.
Tersadar dari lamunannya, dengan secepat kilat Edelweis menegakkan tubuhnya—seperti PBB dalam paskibra. Untuk menutupi kegugupannya, Edelweis mencoba menyelipkan sebelah rambutya ke belakang telinga. “A ... ku tidak apa-apa, ka.”balas Edelweis terbata-bata. Kini Edelweis sudah menundukkan kepalanya menutupi ekspresi wajahnya yang sudah tidak bisa dia kontrol karena gugupnya.
“Maaf tadi aku tidak sengaja.”ucap laki-laki tersebut dengan ramahnya. “Oh ya, namamu siapa?”tanya laki-laki tersebut penasaran, pasalnya dia belum pernah melihat wanita ini di sekolah. Anak baru, ‘kah? Keningnya pun kini sudah mengerut di bagian tengah.
“Namaku Edelweis, ka.”balas Edelweis mendonggakan kepala ke arah wajah laki-laki tersebut yang sedang mengembangkan senyumannya.
“Aa ... nama yang cantik, seperti orangnya.”ujar laki-laki tersebut. “Namaku Azel.”ucapa Azel memberi tahu. Sebenarnya tanpa diberi tahupun Edelweis sudah tahu jika dia itu Azel, kakak kelas yang sangat populer di kalangan kaum hawa. “Salam kenal, ya. Oh ya, kamu dari kelas berapa?”tanya Azel lagi.
“Aku kelas XII IPA tiga, ka.”balas Edelweis yang sudah mulai mengatur ekspersi wajahnya, meskipun debaran jantungnya masih berdetak kencang.
“Kamu anak baru, ‘kah? Aku sepertinya tida pernah melihatmu.”tanya Azel yang kini mulai tertarik dengan perakapannya dengan Edelweis.
“Bukan. Aku bukan anak baru. Mungkin karena aku tidak begitu aktif di organisasi ataupun ekstrakulikuler, jadi tidak banyak orang yang mengenaliku.”jawab Edelweis seadanya. Sebenarnya cukup sakit juga ketika Edelweis mendengar jika Azel baru melihatnya sekarang. Namun apa boleh buat, toh memang Edelweis sendiri yang tida mau mengikuti ekstrakulikuler satupun.