Edelweis merupakan salah satu nama bunga dari jutaan nama bunga di alam semesta ini. Edelweis disebut sebagai bunga abadi. Konon katanya, jika seorang pria berhasil mendapatkan bunga Edelweis dan diberikan kepada kepada kekasihnya, maka cinta mereka akan abadi sampai akhir hayat kelak. Sehingga banyak sekali orang yang berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Namun bukan berarti memiliki nama yang sama bisa bernasib yang sama pula. Bungan Edelweis memang sangat disukai oleh banyak orang. Namun tidak dengan Edelweis Putri Camelia.
Edelweis Putri Camelia, nama yang indah bukan? Namun sayang, nasibnya tidak seindah namanya. Edelweis merupakan gadis berumur 16 tahun. Dia saat ini masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Hidupya begitu kelam—menurut kebanyakan orang.
Banyak orang yang tidak terlalu menyukai keberadaannya, karena mereka mengaggap bahwa Edelweis merupakan orang yang aneh. Bagaimana tidak, hidupnya begitu monoton jika dipandang. Tidak begitu banyak orang ang menjadi sahabat atau hanya sekedar menjadi teman untuk berbagi cerita. Hanya orang-orang tertentu saja, yang jumlahnya dapat dihitung menggunakan jari.
Karena sikapnya tersebut, tidak jarang orang-orang menganggapnya sebagai anti-sosial. Padahal pada kenyataannya bukan seperti itu. Edelweis gadis yang ceria.
Seperti sekarang ini, Edelweis tengah duduk di kursi tempatnya yang berada di paling belakang—pojok pula. Edelweis bukan seperti wanita lain yang menyukai dengan perhatian. Edelweis wanita yang tidak menyukai dengan perhatian berlebihan dari orang lain, maka dari itu dia lebih memilih duduk di bagian yang sangat belakang agar tidak ada orang mengganggunya.
Ketika murid lain tengah berbincang riang, Edelweis lebih memilih menyembunyikan wajahnya di balik tangan mungilnya yang dilipat di atas meja kayu yang sudah banyak sekali coretan-coretan tinta hitam. Guru mata pelajaran Matematika belum juga kunjung datang, padahal biasanya tepat waktu. Edelweis tidak menyukai keadaan ini, karena keadaan ini memojokkannya.
Dulu Edelweis pernah memiliki teman yang sangat dekat. Namun, ketika dia menginjak sekolah menengah pertama, sahabatnya meninggal karena penyakit Leukimia yang diderita sejak kecil.
“Heh ... Edelweis gak ada temen, tuh.”ucap salah satu siswa yang berada tepat di samping Edelweis.
Sepertinya memang tidak ada orang yang bisa membiarkan Edelweis tenang barang sehari pun. Edelwesi selalu saja mendapat gangguan dari teman-teman kelasnya. Entah, padahal Edelweis sendiri tidak pernah mengaggu mereka barang sekali pun. Namun, seperti tiada henti mereka selalu menggangu Edelweis. Sebenarnya Edelweis merasa terganggu karena ulah teman-temannya tersebut, namun dia tidak pernah mengungkapkan hal tersebut kepada siapapun.
Vano, dia laki-laki yang selalu mengganggu hari-hari Edelweis. Menurutnya Edelweis merupakan wanita yang aneh, anti-sosial, dan tak jarang Vano men-jugde Edelweis sebagai gadis Psycopath.
“Dasar Cewek freak. Setiap hari kerjaannya sendiri terus.”ucap Vano dengan nada sinisnya. Entah apa yang membuat Vano sebegitu tidak sukanya kepada Edelweis. Padahal belum sekalipun Edelweis membuat ulah dengannya. Jangankan berbuat ulah, mengobrolpun tidak pernah sama sekali.
Edelweis tidak merespon sedikitpun atas ucapan Vano kepadanya. Seperti tidak terjadi apa-apa, Edelweis memilih diam dengan kepala yang masih dia sembunyikan diantara kedua lengannya yang di pilat.
Merasa tidak di hiraukan oleh Edelweis, Vano dengan jahilannya memainkan rambut Edelweis yang dibiarkan menjuntai tanpa penghalang—jepit, ikat rambut—satupun. Hal tersebut membuat Edelweis geram dibuatnya. Bagaimana tidak, rambut yang baru saja di keramas kemarin sore di kotori kembali oleh tangan Vano yang kukuh.
“Heh ... Vano, lo diem, ya!”bentak Edelweis dengan tegasnya. Kini Edelweis sudah mengangkat kepalanya tegak. Tidak lupa tatapan tajam dia tujukkan kepada Vano yang berada di sampingnya.
“Apasih, lo gitu aja ngambek.”balas Vano dengan santainya. Menurut Vano, hal tersebut merupakan hal yang biasa, namun untuk Edelweis itu merupakan hal yang tidak sopan sama sekali. Apalagi kepada wanita, seakan Vano tidak menghargai Edelweis sebagai wanita yang seharusnya di lindungi.
“Lo diem makanya. Dan jangan sebut lagi gue cewek aneh. Gue bukan cewek aneh yang seperti lo bilang.”kesal Edelweis yang sudah memuncak. Edelweis tidak suka jika ada orang yang menganggapnya cewek aneh. Toh apa salahnya juga tidak mempunyai teman, apakah akan ada hukumannya? Tidak bukan? Jadi untuk apa mempersalahkan hal yang seperti itu, pikir Edelweis.
“Kalo bukan aneh, kenapa lo gak pernah punya temen?”tanya Vano dengan santainnya. Pulpen bertinta hitam pun tengah dia mainkan tanpa sedikit pun memandang wajah Edelwesi yang sudah tersulut emosi yang membara.
“Kata siapa gue gak punya temen? Lo jangan sok tahu, deh. Dasar cowok aneh, sukanya mencampuri urusan orang.”ucap Edelweis dengan tegasnya.
Edelweis memang tidak begitu mempunyai banyak teman seperti kebanyakan orang. Toh percuma juga mempunyai banyak teman yang ujung-ujungya berkhianat. Lebih baik mempunyai sedikit teman tapi setia dan selalu ada ketika senang ataupun susah.
“Mana temen lo? Gue gak pernah liat lo jalan sama temen-temen lo.”balas Vano tidak kalah emosi. Kini Vano sudah tersulut emosi karena ucapan Edelweis tersebut.
“Gak penting gue kasih tahu temen gue ke lo. Gak ada manfaatnya sama sekali. Dasar cowok aneh, lo!"seru Edelweis yang membuat tingkat kesabaran Vano memuncak hingga ubun-ubun. Vano tidak menyangka Edelweis akan berkata seperti itu. Biasanya jika dia menjahilinya, Edelweis tidak akan berkutik sedikit pun.
Tidak ingin memperpanjang perdebatannya, Edelweis lebih memilih meninggalkan kelas menuju gedung yang berisi rasutas buku yang berada tepat di samping kelas Edelweis—hanya beberapa langkah untuk menujunya. Menurut Edelweis perpustakaan merupakan tempat favoritnya di sekolah, karena suasana perpustakaan yang begitu membuat damai siapapun yang memasukinya. Bukan hanya itu, di perpustakaan pun Edelweis dapat mencium aroma khas yang dihasilkan dari ratusan buku di dalamnya.
Edelweis merupakan gadis yang lebih menutup dirinya dari khalayak ramai. Bukan karena dia tidak suka dengan kehidupan sosial, hanya saja itu caranya untuk melepas kepenatan. Menyendiri merupakan caranya untuk menumbuhkan semangat yang baru.
Rak demi rak dia lewati, untuk mencari buku yang menarik hati. Namun sampai rak terakir pun tidak ada satupun buku yang mencuri hatinya untuk dibaca. Mungkin karena hampir semua buku yang berada di dalamnya sudah pernah Edelweis baca—terutama novel.
Namun, masih ada satu rak yang belum Edelweis singgahi. Rak buku yang berada di pojok ruangan. Dan setelah berdiri di sana, Edelweis melihat sebuah buku yang mencuri pandangnya. Buku yang bersampul merah dengan judul “Introvert”. Begitu penasaran Edelweis terhadap buku tersebut—dari judulnya saja sudah menarik.
Namu ketika tangan Edelwesi sudah melayang di udara untuk meraih buku tersebut, buku itu sudah terlebih dahulu beralaih kepada tangan kukuh di sebrang sana.
Edelweis sugguh penasaran kepada tanagn kukuh yang mengambil bukunya. Dari tanagnnya saja sudah membuat Edelweis tertarik. Pasti pria itu sangat tampan, pikir Edelweis. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, dengan beraninya Edelweis mengintip laki-laki tersebut dengan perlahan.
Tanpa disangka, ternyata tangah kukuh tersebut milik Vano. Laki-laki yang dia benci. Bagaimana tidak? Vano selalu mengganggu ketenangnnya.
Setelah mengetahui Vano, Edelweis memilih meninggalakan tempat tersebut, tanpa sepengetahuan Vano—yang sudah berbalik membelakangi Edelweis.
Kenapa harus Vano? Kenapa tidak kak Azel saja yang di balik sana, pikir Edelweis.
Sejak kapan juga Vano datang ke perpuatakaan. Apa jangan-jangan dia mengikutiku? Tebak Edelweis pada dirinya curiga.