Dramaturgi
10. Ratih Kecil - Epilog
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Adrian masuk ke halaman rumah itu. Eric sudah memastikan itu rumah Ratih. Ia mengetuk pintu. Pintu dibuka oleh seorang perempuan. 

"Maaf. Istri kang Dayan ya?" tanya Adrian membuka percakapan.

"Iya." Istri kang Dayan tidak mengenali wajah Adrian.

"Kang Dayan dimana ya?"

"Kang Dayan Kerja."

"Kalo keluarga kang Dayan yang lain, apa ada yang tinggal disini. Ratih?"

Istri Kang Dayan keheranan mendengar nama Ratih.

"Ratih?"

"Iya? Ratih Ada?" Adrian tak sadar dirinya setengah memaksa.

"Yaaa. Ada sih. Tapi Ratih mana ya?"

"Ratih mana? Ratihnya, bukan satu orang?"

***

"Ini Ratih yang sekolah di SMK Budi Mulya. Sebenarnya saya bingung. Mau bertemu siapa. Tapi ya sekarang beliau disini."

Adrian memandang yang ditunjuk sebagai Ratih. Pandangannya agak kebawah dari tempat berdirinya karena posisinya rendah. Adrian pun memandang benda setinggi setengah meter bernama batu nisan. Disitu tertera nama Ratih dengan tahun meninggal 2017.

"Ratih kenapa?" Suara Adrian merendah dan ia berjongkok memegang pusara itu.

"Kamu Adrian ya?"

"Iya," Adriang mengangguk.

Perempuan itu lalu duduk disebuah batu liar dibelakang rumah itu. Kini wajahnya sejajar dengan wajah Adrian yang berjongkok menopang dengan satu lututnya. Perempuan itu menatap Adrian tajam. Ia terlihat marah namun seperti menahannya. Lalu menahan nafas untuk menenangkan dirinya.

"Depresi membunuhnya. Ia tidak mau makan. Ia meninggal 3 tahun yang lalu. Selebihnya biarlah Kang Dayan yang cerita semua kalau kamu masih mau lebih lama disini. Itupun bila kau sudi menemuinya."

"Lebih dari yang mbak tahu, saya saya menyesal dan sebenarnya ingin sekali bertanggungjawab atas apa yang saya lakukan."

"Adrian, Ratih hanya menceritakan fakta sebenarnya padaku. Tidak ke orang lain termasuk kang Dayan. Hanya kepadaku ia menyebut siapa nama orang yang menghamilinya."

"Tapi, tapi katanya ada Ratih lain yang bisa ditemui. Maksudnya?"

Istri kang Dayan memandangi Adrian lama. Ia lalu masuk ke dalam tanpa pamit. Adrian mengira perempuan menyudahi obrolannya dengan Adrian karena kemarahannya. Namun tak lama kemudian ia keluar lagi dengan memboyong seorang anak perempuan kecil berusia 8 tahun.

"Dan ini Adrian...anakmu."

Adrian tercekat, melihat apa yang ada di depannya. Nafasnya seperti berhenti. Demi masa dan segala isi dunia, ia tak menyangka melihat sesosok mahluk kecil yang disebut sebagai anaknya.

"Kang Dayan sangat kehilangan Ratih, adik bungsu yang paling dekat dan paling disayanginya. Maka itu, sejak Ratih meninggal, kami memanggilnya Ratih juga."

Adrian mendekati gadis itu. Lalu memeluknya erat. Ia menangis. Tersedu. Seperti anak kecil yang tidak diberi permen oleh ibunya. Gadis cilik itu kebingungan. Pada saat yang sama Kang Dayan pulang kerja dengan pakaian ASN masih melekat dibadannya. Istri kang Dayan bergabung di posisi Kang Dayan berdiri. Sempat berucap sebentar dan menenangkan diri Kang Dayan agar memberi waktu Adrian pulih dari keterkejutannya, mereka hanya memperhatikan dari kejauhan.

***

Adrian dan Ratih, anak gadisnya, hendak keluar rumah ketika wartawan ternyata sudah mengerubutinya.

"Bung Adrian. Kami punya beberapa pertanyaan."

Adrian lalu memberi kode kepada Ratih agar lebih dulu masuk ke dalam mobil.

"Baik, jangan lama ya, saya dan anak saya hendak berwisata."

"Rumor mengenai anda sudah punya anak padahal anda belum menikah. Anda tidak punya bantahan?"

Adrian tersenyum.

"Mengapa saya harus bantah. Itu memang anak saya."

"Tapi rakyat menuntut integritas pemimpinnya?" tanya seorang wartawan televisi yang bajunya bertuliskan TV 9.

" Masyarakat ingin pemimpinnya sempurna tanpa cela," celetuk seorang wartawan radio yang sedang mewawancarai live dari perangkat streamingnya.

"Menjawab pertanyaan anda mbak dari TV 9. Saya bisa mempertahankan diri saya tetap tanpa cela. Tapi keluarga almarhumah ibu dari anak saya tidak pernah mencuatkan persoalan ini ke publik. Saya yang mencari mereka. Saya yang memunculkan fakta ini ke khalayak. Tujuannya? Karena saya tidak ingin sembunyi dari masa lalu. Anda ingin pemimpin berintegritas bukan? Integritas apa yang dimiliki oleh orang yang lari dari masa lalunya? Menurut saya inilah integritas. Jujur pada kenyataan," jelas Adrian lalu beralih ke wartawan lainnya. " Dan untuk jawaban kedua, dari anda mbak, maaf dari mana?"

"Radio ANews 99,3 bung."

"Ya, pemimpin putih bersih tanpa cela. Itu tidak ada. Semua memiliki masalah sendiri. Karena tahapan manusia, adalah bayi, anak-anak, remaja, dewasa, lansia. Tidak ada orang yang langsung dewasa. Kenakalan di masa remaja? Siapa bisa jamin seluruh pemimpin di dunia ini tak punya kenakalan di masa remajanya. Tapi apakah masa remaja akan relevan dengan masa dewasa? Tidak semua. Einstein drop out dari sekolahnya, lalu lihatnya dewasanya ia menjadi ilmuan paling berpengaruh di negeri ini. Bila kalian tetap memaksa, kenapa tak sekalian korelasikan masa anak-anak dengan masa remajanya? Teman-teman, itulah hidup. Kita berperan pada setiap masa. Berdramaturgi. Anak-anak dengan keceriaannya. Remaja dengan gaya hidup dan kesembronoannya. Dewasa dengan kehidupan yang instropektif. Semua orang mengalami itu. Itulah masanya. Ketika kita remaja dengan segala persoalan, maka kedewasaan menjawab itu semua. Kedewasaan saya, menjawab bahwa saya bukanlah seseorang yang sembunyi dari persoalan. Saya menghadapinya. Orang berhak tahu segala tentang saya. Bukan hanya kesuksesan, tapi juga kegagalan. Semua itu adalah bagian hidup. Karena saya percaya, satu-satunya hal yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang hamba manusia adalah; lari dari kenyataan."

Sesaat setelahnya, Adrian keluar dari kerumunan wartawan dan masuk ke mobilnya.

"Ric. Tolong setel 99,3 FM."

Eric menghidupkan radio mobil dengan frekuensi 99,3 FM.

"Ya itulah petikan wawancara kami dengan Adrian, calon gubernur Kerangin langsung dari lokasi. Kembali ke studio."

Suara penyiar di studio menggema di audio mobil Adrian.

"Ya, terimakasih Alya. Kita ke narasumber kita yang telah hadir di studio, bagaimana menurut anda Bang Burhan, sebagai pakar komunikasi."

"Sejujurnya saya terkesima dengan jawaban Bung Adrian. Saya surprise dengan kejujuran seorang yang sedang berkampanye. Saya lebih senang seseorang berbicara benar walau pahit, ketimbang manis tapi retoris. Jaman sudah berubah, kita butuh orang-orang seperti ini. Sekarang era post-truth yang meresahkan. Orang berbohong karena publik ingin sesuatu yang menyenangkan mereka. Dan yang benar tidak selalu menyenangkan. Lalu terjadilah kebohongan. Ujung-ujungnya masyarakat menyesali polah pemimpin seperti itu. Maka bagi saya pribadi, berbicara benar itu adalah sebuah hal yang sangat mahal dan langka saat ini. Dan ini adalah sebuah teladan, saya kira. Bila pilkada dilakukan hari ini, saya akan memilih Bung Adrian."

"Terimasih Bung Burhan. Kami akan kembali setelah jeda iklan."

Adrian tersenyum. Eric lalu mengganti channel ke sebuah lagu romantis. Menemani penumpang di dalam mobil itu melaju perlahan membelah jalanan kota.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar