Dramaturgi
7. Ratih
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Sepeninggal Ziva dibunuh oleh mucikarinya, si Om memberi list terakhir. Ratih.

Dalam perjalanan menuju rumah Ratih, Adrian kembali mengenang kisah pertemuannya dengan gadis cantik nan sederhana itu. Ia berjilbab. Kulitnya bening. Kala ia tertawa maka matanya akan menyipit. Menjelang siang hari itu, hari ketiga KKN, Adrian mengingat ketika ia beradu pandang pertama kali dengan Ratih. Diantara lambaian jemuran pakaian tertiup angin di desa Nusa. Ratih mengintip dari sela-sela pakaian itu. Menatap pemuda paling ganteng dari 10 orang mahasiswa yang sedang berbakti di desa itu. Ratih, anak pak Kadir, ustadz berwibawa di kampung itu. Ratih masih menjaga dirinya, tidak berani menatap langsung, ia hanya mengintip malu-malu.

Tidak butuh waktu lama pesona Adrian meluluhkan hati Ratih. Adrian, hanya tidak ingin merasa bosan. Masa satu bulan KKN di desa Nusa benar-benar membuatnya kesepian dari perempuan.

***

Kehamilan Ratih membawa bencana besar bagi keluarga Ustadz Kadir. Ratih dihamili dibawah alam sadarnya. Ia menderita Respons Vasovagal, tidak fatal, namun sering kehilangan kesadaran. Pada masa itulah tubuh Ratih digerayangi oleh Adrian. Ibu Ratih yang sakit-sakitan meninggal dunia tak lama kemudian karena malu. Merasa terus dihantui dan merasa berdosa, kejiwaan Ratih mulai tidak stabil.

***

Dalam suasana hujan rintik, Adrian tiba di rumah Ratih dan bertemu dengan Kang Dayan, kakak Ratih. Kang Dayan tidak mengenal Adrian. Dengan segelas teh hangat untuk mengurangi cuaca yang sangat dingin, Adrian dijamu di ruang tamu.

"Ratih tidak pernah mau menceritakan siapa yang menghamilinya. Ia menanggung beban itu sendirian," Kang Dayan memulai percakapan. "Sekarang dia seperti itu, tak mampu lagi mengenali siapapun."

Adrian mengintip di balik jendela siapa yang dimaksud oleh Kang Dayan. Seorang perempuan tertawa sendirian dibalik jendela itu. Perempuan itu adalah Ratih, dengan kondisi kejiwaan yang memprihatinkan. Adrian mengingat kembali senyum di balik jemuran itu. Pemandangan nostalgi yang paradoks dengan apa yang dilihatnya saat ini.

"Jadi, saya boleh tahu, apa keperluan anda kesini?" Kang Dayan mengalihkan pembicaraan.

"Oh, saya hanya ingin mengantarkan undangan reuni. Tapi sepertinya, Ratih tidak akan bisa menghadiri acara itu," jawab Adrian.

"Oh, anda teman sekolahnya dulu?"

"Iya, saya teman sekelasnya,"jawab Adrian. Tak ingin berlama-lama, ia segera pamit. Selang beberapa saat setelah berbasa-basi, ia pun melangkah menjauh dari rumah Ratih.

Mendekati mobilnya, kang Dayan lalu memanggilnya.

"Saya pikir kamu laki-laki hebat yang mau bertanggungjawab......Adrian," ucap Kang Dayan dengan sedikit lantang agar Adrian mendengarnya.

Adrian menoleh ke belakang. Ia kaget bukan kepalang, apa yang ia sembunyikan terbongkar. Ia bingung darimana kang Dayan tahu soal itu. Namun, ucapan kang Dayan selanjutnya menjawabnya.

"Ratih sekolah di SMK jurusan boga. Seluruh teman sekelasnya adalah perempuan."

Hujan mulai deras. Sesekali sekelebat cahaya berkilat di udara dan disusul gemuruh petir. Adrian hanya berhenti namun tidak menoleh ke arah suara. Ia membiarkan tubuhnya basah. Ia belum mampu berpikir. Mengecualikan Ziva kepada ibunya ia masih mungkin. Ziva bisa dipermak sebagai gadis baik-baik atau disembunyikan identitas aslinya. Tapi, membiarkan seorang gadis gangguan jiwa menjadi istrinya? Akan seperti apa kata ibunya. Adrian pun menjejakkan kaki menjauh dari rumah itu. Kang Dayan tak memanggilnya lagi. Hingga kemudian si Om muncul dihadapannya.

"Kamu tidak boleh pergi Adrian? Ini kesempatanmu satu-satunya?" Si om berusaha menahan Adrian.

"Tidak mungkin, Om. Aku harus menjelaskan apa pada ibu?"

"Maka jujurlah! Ceritakan apa adanya pada keluargamu."

"Lalu membiarkan ibuku malu dan lalu mati dengan penyakit jantungnya? Lebih baik aku yang mati, Om. Semua boleh aku lakukan. Tapi jangan minta aku korbankan ibu," Adrian mulai menangis sesegukan. Ia lalu berjalan makin menjauh dari rumah itu.

Si Om tidak lagi menghentikannya. Si Om memahami bahwa pemuda itu sudah tak peduli lagi. Ia berpikir, berarti sekarang waktunya.

Petir makin menyambar dan kian dekat dengan dataran. Hingga akhirnya, sesosok tubuh tersambar dan terlempar ke udara. Adrian terjerembab jatuh dengan sebuah hukuman yang ia terima dari penolakannya.

Tubuhnya bergerak-gerak kecil. Bukan dari perintah otaknya. Matanya masih setengah terbuka. Hujan jatuh membasahi wajahnya. Si Om mendekat dan melihat Adrian. Adrian balas memandang dan tersenyum. Lalu matanya tertutup perlahan.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar