161. INT. RUANGAN DI BAWAH TANGGA - MALAM
Anggota keluarga berkumpul di meja di tengah ruangan. Tidak seperti urutan di meja makan, kali ini tidak ada yang duduk di ujung meja. Di sisi kiri meja secara berurutan duduk Ayah, Ibu, dan Wina. Di sisi kanan, berhadapan dengan Ayah, ada Martin yang terikat di kursi.
Adam menarik lengan Rizka masuk ke dalam ruangan, disusul Ben di belakang.
BEN
"Kak."
Pintu ruangan di bawah tangga tertutup tanpa ada yang menarik ataupun mendorong pintunya. Abdi datang dari kegelapan dan berdiri tepat di pintu, menjaga mungkin saja ada kejadian yang tidak diinginkan. Di dekat meja, Adam mendorong Rizka ke arah Ben. Ben memegangi Rizka di lengannya. Adam mengambil duduk di sebelah Wina.
AYAH
"Duduklah".
Ayah memandangi Ben dan Rizka.
AYAH
"Agar ritual segera dilaksanakan dan kita semua bisa pergi beristirahat di malam yang melelahkan ini."
Ben maju selangkah dari tempatnya, hendak menghampiri Ayah, tetapi Rizka menahannya di sana. Ben memandangi Rizka namun Rizka tidak membalas, hanya memandang ke depan.
Rizka melepas tangannya dari Ben dan beranjak menuju kursi di sebelah Martin. Martin tidak berani menatapi Rizka.
Ben menatap Rizka sekali, lalu pada barisan dimana Ayah dan Ibunya berada.
BEN
"Kita benar-benar akan melakukannya? Mengorbankan satu per satu nyawa orang lain untuk harta yang tidak akan kita bawa mati? Gila!"
Abdi tampak ingin bergerak dari tempatnya, menghampiri Ben dan membungkamnya. Ibu menggeleng ke arahnya. Abdi mengurungkan niatnya. Ben memandangi Abdi sejenak.
BEN
"Ma, Mama tahu kita semua tidak seharusnya berada di sini melakukan ini! Kita sekarang seharusnya berada di ruang luar, tertawa, membicarakan keluarga, masalah sekarang dan masa depan. Bukannya mencoba memutuskan siapa yang seharusnya mati dan siapa yang tidak. Lakukan sesuatu, Ma."
Ibu mengalihkan pandangannya dari Ben, tidak mengatakan apa-apa.
AYAH
"Itulah yang coba kita bicarakan di sini malam ini, kelangsungan keluarga ini! Tidakkah kau mengerti? Sekarang hentikan bualanmu, Ben, dan duduklah! Biarkan kematian yang kemudian mengambil alih!"
Ben tidak menggubris Ayah, namun justru menghadap Wina.
BEN
"Kak, Win? Kakak menerima begitu saja cerita keluarga Kak Adam yang ternyata sangat busuk ini tanpa ada niat untuk mengingatkan bahwa seluruh ceritanya adalah keliru? Lalu setelah bertahun-tahun kemudian, akan menyeret Danu juga ke dalamnya, sebagai pemeran utama yang mengorbankan atau justru dikorbankan?"
WINA
"A-aku."
Ayah memberikan kode pada Abdi dengan sedikit menggerakan kepalanya ke samping agar Abdi mendudukkan Ben ke kursinya.
ADAM
"Jangan dengarkan, Wina. Dia hanya mencoba mengaburkan persepsi tentang hal-hal yang benar."
Abdi mendekati Ben, menariknya pada kursi. Ben berusaha melepaskan diri tapi tidak bisa.
BEN
"Sekarang mulailah. Agar kita bersama-sama melihat hal menyedihkan seperti apa yang telah kita perbuat."
Suasana hening. Ben didudukkan ke kursinya di sebelah Rizka.
AYAH
"Widya."
Ayah memandangi Ibu, memberi tanda.
AYAH
"Mulailah. Kita sudah separuh jalan. Demi keluarga ini."
Ibu memandangi Ayah, lalu kepada orang-orang di seberang mejanya. Ibu menelan ludah, memejamkan mata. Ibu mengucapkan mantra.
IBU
"Malaikat yang Jatuh datanglah. Kami di sini berkumpul menepati janji. Malaikat yang Jatuh datanglah. Kami di sini berkumpul lanjut mengabdi."
Begitu Ibu selesai membacakan mantra, lampu di tengah ruangan berkedip hidup dan mati. Abdi memandanginya lampunya, ia merasa aneh. Ada sesuatu yang tidak seharusnya.
Tiba-tiba Ayah dan kursinya terbanting oleh sesuatu ke lantai. Menyusul dengan Adam dan kursinya. Seorang perempuan berambut panjang menampakkan diri di ujung meja yang tidak berpenghuni.
Abdi memandangi perempuan itu dari depan pintu, lalu bergerak. Abdi berlari naik di atas meja menghampirinya.
FREEZE: Belum sampai di ujung meja, gerakan Abdi berhenti, begitupun dengan orang-orang lain di sekeliling meja.
Abdi terbanting ke belakang bersama dengan meja di tengah ruangan. Pria paruh baya muncul sebelah perempuan berambut panjang di atas kursi rodanya. Sang perempuan berambut panjang memandangi Martin. Martin mengangguk, dan beralih ke arah Ben dan Rizka.
MARTIN
"Ben, bawa Rizka keluar dari sini sekarang."
Ben menarik Rizka dan berusaha keluar dari ruangan itu. Ben menggenggam knop pintu, tetapi ia terhempas ke belakang begitu menyentuhnya. Ben tidak diizinkan lewat.
Rizka memandangi Ben yang jatuh, bergegas menghampirinya.
Abdi bangun dari balik meja yang menimpanya. Penutup kepalanya kini hampir terlepas, dan ia langsungnya membukanya dan melemparnya ke lantai.
Wajah Abdi berbintik-bintik cokelat. Punya sepasang kantong mata yang besar. Pipinya cekung. Mulutnya terjahit dengan benang yang tebal. Bola matanya tidak ada. Rambutnya putih-merah dan jarang-jarang. Sebuah luka bekas jahitan tertera di pelipis bagian kiri wajahnya.
IBU
"David?"
Abdi membuka mulutnya lebar ke langit-langit ruangan. Ratusan ekor lalat keluar dari mulutnya yang gelap. Perempuan berambut panjang mundur selangkah.
BEN
(Mengerang)
"Kakak tidak diperbolehkan keluar dari ruangan ini."
(Jeda)
"Tapi kamu bisa, Rizka."
Rizka memandangi Ben.
Abdi berlari dari tempatnya, menyergap perempuan berambut panjang dan juga pria paruh baya dengan melompat. Ketiganya menghilang ke dalam kegelapan.
Ayah bangun dari jatuhnya.
BEN
"Rizka, pergi!"
Rizka menggeleng-geleng.
BEN
"Rizka!"
Rizka menangis.
RIZKA
"Maafkan aku, Kak. Tapi aku tidak akan meninggalkan Kak Ben, meninggalkan keluargaku menghadapi ini sendiri."
Rizka bangkit berdiri.
Ayah berdiri tegak di tempatnya, memandangi Ben dan Rizka di depan pintu.
AYAH
"Aku menginginkan Rizka menjadi tumbal!"
Sesuatu menyerang Rizka, dadanya seakan dihempas sesuatu di dada-namun tidak cukup kuat untuk membuatnya jatuh. Dengan aneh kepala Rizka menunduk. Badannya bergetar. Giginya bergemeretak. Dengan langkah tersendat-sendat, Rizka melangkah ke kursi. Ben memandanginya.
BEN
"Rizka, kau harus keluar dari sini!"
Rizka tidak menggubris. Ia tidak sadarkan diri hingga berada di tempatnya. Martin memperhatikannya.
AYAH
"Siapa lagi yang memilih Rizka untuk dijadikan tumbal?"
Adam mengangkat tangan seorang diri. Ayah memandangi Ibu, namun Ibu tidak memandangi balik melainkan hanya menatap kosong ke depan. Adam memandangi Wina. Wina menunduk, tangannya bergetar. Ritual ini tidak semudah yang dipikirkannya.
AYAH
"Siapa lagi yang memilih Rizka untuk dijadikan tumbal?"
IBU
"Cukup sekali ditanyakan. Jika memang tidak ada lagi yang mengangkat tangan maka tidak ada."
Rizka mengangkat sebelah tangannya dengan kepala menunduk.
BEN
(Berbisik)
"Rizka?"
Ben bergegas bangkit dari lantai dan bergegas menuju kursi Rizka.
BEN
"Rizka apa yang kamu lakukan?"
Tidak ada jawaban.
WINA
"Wi-Wina tidak ingin ikut voting."
ADAM
"Wina, apa yang kamu lakukan?"
IBU (O.S.)
"Aturan keempat dalam ritual: mereka yang merupakan pemberi voting murni diharuskan menghadiri ritual dan memberi vote. Sementara mereka yang merupakan pemberi vote tambahan diperkenankan untuk meninggalkan ruangan asalkan mereka tidak dicalonkan sebagai korban."
Adam dan Ayah memperhatikannya.
IBU
"Apakah ada yang ingin menjadikan Wina tumbal?"
Tidak ada jawaban. Ibu mengangguk pada Wina, pertanda wanita itu boleh meninggalkan ruangan.
WINA
(Berbisik, sambil menunduk kepada Adam)
"Maafkan aku."
Wina pergi, berjalan ke arah pintu yang terbuka sendiri. Pintu kembali menutup.
IBU
"Siapa yang memilih Ben?"
Tidak ada jawaban.
IBU
Yang memilih Ayah?
Ibu mengangkat tangannya.
FLASHBACK: