125. INT. KAMAR AYAH - PAGI
Ayah berbaring di ranjang, matanya terbuka memandangi langit-langit kamar. Ibu duduk di samping Ayah, di pinggir ranjang, menemani. Adam berdiri di lantai tidak jauh dari Ibu.
AYAH
"Apa yang kau lakukan tadi di sana di meja makan? Memandangi kedua adikmu pergi membawa Rizka begitu saja?"
ADAM
"Aku sudah coba mengatakan pada mereka-"
Ayah memandangi Adam tajam.
AYAH
"Omong kosong! Kau bisa melakukan lebih daripada 'mengatakan'."
IBU
(Sambil mengelus bahu Ayah)
"Pa."
Ibu menenangkan Ayah. Adam tidak berani memandang Ayah.
AYAH
"Papa tidak percaya akhirnya kau mengecewakan Papa, Adam. Seharusnya Papa tidak mempercayakan semuanya begitu saja kepada kamu."
Jeda. Ayah kembali memandangi langit-langit kamar.
AYAH
"Kita harus melakukan sesuatu. Rizka tidak boleh berada di luar rumah malam ini. Jika tidak, ia tidak bisa ditumbalkan dan kita akan memerlukan orang lain sebagai penggantinya."
ADAM
"Apa yang harus kita lakukan, Pa?"
AYAH
"Kita akan membawanya pulang."
Jeda. Ayah beralih ke Adam.
AYAH (CONT'D)
"Kamu akan membawanya pulang."
CUT TO:
126. INT. KAMAR ADAM - PAGI
Adam masuk ke dalam kamar. Wina terlihat sedang menemani Danu yang sudah tak menangis lagi melainkan sedang bermain robotan di lantai yang dilapisi karpet. Adam mencari-cari sesuatu di dalam lemari kamar mereka.
ADAM
"Malam ini sebaiknya kamu tidak di rumah. Bawa Danu pergi menginap di rumah Intan atau siapalah."
Adam sudah mendapatkan apa yang dicarinya; sebuah pistol. Wina melihatnya ketika Adam memasukkan ke belakang celana.
WINA
"Adam, ada apa ini?"
Adam menghampiri Wina. Dipeganginya kedua lengan atas Wina dengan tangannya.
ADAM
"Wina, percaya sama aku."
Adam dan Wina saling bertatapan. Wina mengangguk di tempatnya. Adam mencium kepala atas Wina.
ADAM
"Aku akan pergi keluar sebentar. Nanti aku akan kembali menjemput kamu dan Danu. Bersiap-siap, ya."
Wina mengangguk kembali. Adam pergi meninggalkan ruangan.
CUT TO:
127. INT. RUMAH SAKIT - PAGI
Rizka yang tak sadarkan diri di atas brankar beroda dibawa dengan tergesa melewati lorong rumah sakit oleh dua orang suster. Martin dan Ben, juga dengan tergesa, mengikuti mereka di belakang.
CUT TO:
128. INT. RUANG PASIEN - PAGI
Rizka masih tidak sadarkan diri di ranjang. Ben duduk di sebuah kursi di sebelah ranjang sementara Martin berdiri menyandarkan sisi samping tubuhnya ke dinding dekat jendela. Tangan Martin terlipat di depan dada. Matanya memandang keluar.
BEN
"Aku tidak percaya ini terjadi. Bagaimana mungkin Papa melakukan ini selama bertahun-tahun dan kita tidak pernah tahu? Pakai tumbal segala. Dan Rizka, dia menghormati Papa seperti seorang dermawan."
Ben memandangi Martin.
BEN
"Kenapa Kak Martin tidak bisa tahu ini lebih awal? Cerita keluarga ini? Apakah orang-orang mati itu tidak mencoba mengatakannya jauh-jauh hari sebelumnya? Setidaknya kita akan punya banyak waktu berbicara dengan Papa dan Mama untuk meminta penjelasan."
Martin membenarkan posisi tubuhnya. Ia memandang Ben sejenak sebelum beralih memandangi kakinya sendiri.
MARTIN
"Aku sudah terbiasa mengabaikan mereka yang ada di dalam rumah, tanda-tanda kecil apapun yang ingin mereka tunjukkan. Lagi pula aku tidak benar-benar yakin telah melihat atau mendengar mereka selama bertahun-tahun sampai dua hari lalu. Bahkan aku baru tahu cerita seluruhnya kemarin malam ketika kamu memergokiku di kamar Rizka."
BEN
"Aku minta maaf soal itu."
Martin memandangi Ben.
BEN
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
MARTIN
"Rizka sebaiknya tinggal di rumah sakit malam ini. Mereka berkata bahwa orang yang akan dikorbankan diharuskan hadir di malam ritual. Dengan tinggal di sini Rizka akan aman. Tapi kita berdua perlu pulang, Ben. Keturunan keluarga diharuskan datang mau tidak mau. Hal yang sudah dimulai harus diselesaikan."
BEN
"Bagaimana kalau bersikeras dan tidak datang?"
Martin dan Ben saling bertatapan.
MARTIN
"Dia akan menemukanmu di mana pun kau berada."
CUT TO: