79. INT. RUANG MENONTON - PAGI
Ayah membaca koran dengan kacamata baca. Ibu datang dari arah dapur, membawa secangkir teh hangat. Ibu meletakkan cangkirnya di atas meja. Lalu duduk di dekat Ayah.
IBU
"Anak-anak sudah diberi tahu, Pa?"
AYAH
"Adam dan Wina sudah."
IBU
"Yang lain bagaimana? Martin? Ben?"
AYAH
"Untuk apa? Mereka tidak akan mengubah hasil apapun. Kita sudah menang. Kita memiliki setidaknya empat suara dari tujuh, sudah lebih dari separuh."
IBU
"Setidaknya anak-anak masih berhak tahu apa yang terjadi dengan keluarga ini, Pa. Walaupun tidak mengubah hasil yang sekarang, tetapi bagaimana dengan yang selanjutnya? Tiga belas tahun kemudian? Dua puluh enam tahun kemudian? Semua keturunan keluarga diharuskan hadir."
AYAH
"Biar Papa yang atur."
IBU
(Mengela nafas)
"Mama sempat kepikiran untuk tidak melanjutkan ini."
AYAH
"Kamu tahu itu tidak mungkin."
Jeda.
IBU
"Seharusnya kemarin kita tidak perlu gegabah."
AYAH
"Jangan berandai-andai, Widya. Berhenti memikirkan yang sudah terjadi. Kita sudah lakukan, sekarang hadapi. Ingat, kita melakukan ini juga untuk mereka, untuk anak-anak, bukan karena keegoisan pribadi."
Ayah pergi dari ruang menonton dengan membawa korannya. Ibu memandanginya pergi. Uap panas mengepul dari dalam cangkir.
CUT TO:
80. INT. KAMAR ADAM - PAGI
Wina menjauhkan telinganya yang semenjak tadi dekatkan di pintu. Ia sehabis menguping pembicaraan Ayah dan Ibu.
CUT TO:
81. INT. DAPUR - PAGI
Bibi meletakkan baskom plastik kecil berisi susu ke atas nampan. Bibi beralih ke sisi lain dapur untuk menyusun buah-buahan di atas piring putih. Saat Bibi ingin berbalik, Bibi menabrak seseorang berkulit kendur yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek berwarna putih di atas paha.
Buah-buah menggelinding dari piring di tangan Bibi ke lantai.
Bibi menatap apa yang ditabraknya, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Bibi berjongkok memungut buah yang jatuh. Sebuah apel tampak telah tergigit di tangan Bibi. Bibi memperhatikan bekas gigitannya, bercak darah muncul keluar dari sana. Bibi terkejut, melempar buah itu kembali ke lantai.
Wina memasuki dapur dan mendapati Bibi terduduk ketakutan di lantai.
WINA
"Kenapa, Bi?"
Wina menghampiri Bibi, berjongkok di sampingnya. Bibi menunjuk lantai. Wina memandangi buah-buah bertebaran di lantai.
Ibu datang belakangan ke dalam dapur.
IBU
"Ada apa, Wina?"
WINA
"En-enggak, Ma. Tadi katanya Bibi melihat tikus."
IBU
"Tikus? Di mana?"
(Ibu mengawasi sekeliling)
"Wina, minta Pak Sutrisno bantu Bibi cari tikusnya. Pasang perangkap di seluruh rumah kalau perlu. Mama enggak mau anak-anak atau cucu Mama sakit."
Ibu pergi, meninggalkan Wina berdua dengan Bibi. Wina bergegas memungut buah-buah di lantai.
WINA
"Bibi, istirahat saja dulu. Biar Wina yang melanjutkan pekerjaan Bibi untuk sementara."
Bibi tidak menjawab.
WINA (CONT'D)
"Ini mau buat apa, Bi?
CUT TO:
82. INT. RUANG MAKAN - PAGI
Wina memandangi pintu ruangan di bawah tangga. Nampan berisi baskom plastik penuh susu dan piring putih penuh buah berada di dua tangannya.
CUT TO:
83. INT. RUANG DI BAWAH TANGGA - PAGI
Wina memandangi meja di tengah ruangan dengan kedua tangan memegangi nampan berisi baskom plastik penuh susu dan piring putih penuh buah. Wina mendekati meja.
Wina meletakkan isi nampan di atas meja dengan perlahan. Dari tempatnya, Wina melempar pandangan ke sekeliling, tetapi tidak menemukan apapun.
Wina berbalik dengan nampan kosong, berjalan mendekati pintu masuk.
Salah satu kursi berderak keluar dari tempatnya di sisi meja. Wina menghentikan langkah dan berbalik dengan hati-hati.
Kursi di ujung meja telah tidak ada. Digantikan dengan sosok pria paruh baya yang duduk di atas kursi roda dan seorang perempuan bergaun di belakangnya.
WINA
(Berbisik)
"Kakek? Nenek?"
Kursi-kursi di samping meja berjatuhan. Wina terkejut, kakinya spontan mundur beberapa langkah sembari memerhatikan kursi-kursi yang berjatuhan ke arahnya.
Setelah keadaan tampak, Wina berpaling kembali ke depan, ke arah dimana ia sebelumnya menemukan sosok pria paruh baya dan perempuan bergaun. Dengan cepat, sosok perempuan bergaun melayang ke arah Wina. Tangisan perempuan bergaun terdengar semakin keras seiring dengan sosok itu yang melayang mendekat.
Wina terjatuh ke lantai. Nafasnya terengah-engah. Saat dipandanginya ruangan itu kembali, tidak ada apa-apa di sana, bahkan kursi-kursi masih berdiri di tempatya masing-masing.
CUT TO: