8.INT. RUANG MAKAN - PAGI
Posisi duduk keluarga ini sehari-hari di meja makan adalah Ayah di ujung meja. Di sisi kanan Ayah secara berurutan: Ibu, Martin, dan Rizka. Di sisi kiri Ayah secara berurutan: Adam, Wina (terkadang bersama DANU (8 bulan) tetapi sekarang tidak), dan Ben. Namun Ben belum bergabung ke meja makan saaat ini.
Orang-orang memulai sarapan tanpa Ben.
AYAH
"Jadi, Adam, bagaimana meeting di Yogya kemarin?"
ADAM
"Lancar, Pa."
(Adam mengangguk-angguk di tempat sembari mengunyah makanan)
Aku suka dengan konsep iklan yang mereka tawarkan. Tidak bertele-tele. Dan yang paling penting, menurutku pesan yang ingin perusahaan kita sampaikan akan bisa diterima dengan sangat baik oleh penonton nanti. Tidak seperti yang kemarin-kemarin yang banyak mementingkan efek visual namun kosong isi.
Ayah mengangguk menghadap sarapannya, mengunyah, dan menelan.
AYAH
"Pegawai? Tidak ada masalah?"
ADAM
"Sejauh ini baik."
AYAH
"Sekali-sekali perlu juga mendekatkan diri dengan mereka. Cari tahu pendapat-pendapat tentang kinerja kau dan perusahaan. Karyawan adalah penggerak sukses sebuah perusahaan, Dam. Kau tahu kan? Jika mereka buruk, tidak disiplin dan suka menunda-nunda, produksi perusahaan tidak mungkin bagus. Sebaliknya, jika baik, perusahaan tak hanya produktif tetapi juga efisien. Tapi Papa tidak bilang harus bergaul dengan mereka setiap saat. Dekat, tapi jangan terlalu. Hanya sebatas hubungan atasan dan bawahan. Jarak itu harus tetap ada. Papa tidak ingin kau dimanfaatkan pihak-pihak."
Adam mendengarkan, mengangguk.
AYAH
"Kalau rumah sakit bagaimana, Martin?"
MARTIN
(Menggeleng)
"Biasa. Tidak ada masalah yang serius."
Ayah memandangi Martin sambil kemudian memotong sarapannya.
AYAH
"Mengenai rumah sakit Papa percaya sepenuhnya kepadamu, Martin. Papa tidak terlalu mengerti tentang itu. Kamu lebih paham. Tapi jika Papa boleh menambahkan, mungkin sudah saatnya kau mulai mencari-cari. Pasangan hidup. Seorang istri."
(Ayah memandang ke arah Ibu, mencari persetujuan)
Di kursinya Ibu mengangguk setuju.
AYAH
"Kau sudah cukup umur dan mapan. Dengan kondisi rumah sakit yang sedang dalam pengembangan, kau akan butuh orang yang selalu support. Papa dan Mama tentu saja akan selalu support kamu. Tapi lihatlah. Kami sudah tua. Lagi pula kami tidak hanya punya satu orang yang harus diperhatikan; ada Adam, Ben. Belum lagi Wina dan si kecil Danu."
Wina tersenyum ketika namanya disebutkan, sementara Rizka memperlambat gerak mengunyah di mulut lantaran tidak menemukan namanya disebut dalam percakapan.
AYAH
"Apa sudah ada calon? Bagaimana dengan Juli? Dia cantik, ramah, dan tahu setidaknya beberapa hal mengenai rumah sakit dan pasien. Rasanya pas, kali aja kamu ingin sharing tentang rumah sakit. Kamu perlu seseorang yang benar-benar paham untuk itu Martin, yang cukup dekat juga sehingga apapun yang ingin kamu ceritakan keluar tanpa takut kalau-kalau orang itu akan membeberkan kekurangan kamu. Papa paham benar itu Martin. Papa dulu seperti itu."
Ibu memandangi Ayah. Ibu tidak bisa mengingat ia pernah menjadi pendengar yang benar-benar paham situasi pekerjaan suaminya itu. Atau mungkin ini karena ia sudah tua dan lupa?
Martin menghentikan makannya, meletakkan peralatan makan di tangan ke atas meja.
MARTIN
"Martin ingin fokus mengembangkan rumah sakit dulu, Pa, Ma."
(Menatap Ayah dan Ibu bergantian)
"Menambah beberapa fasilitas dan tenaga ahli. Sudah ada gambaran ini dua-tiga tahun ke depan ingin melakukan apa aja. Jenjang-jenjangnya. Takutnya nanti kalau apa namanya, menikah, justru pikirannya bercampur dengan urusan-urusan berbau perasaan yang tidak penting."
ADAM
"Menikah itu penting lho."
(Adam menunjuk Martin dengan sendok di tangan, sebelum lanjut lagi menyendok makanannnya)
"Mungkin sekarang kedengarannya seperti omong kosong. Tapi nanti baru terasa. Apa ya? Rasanya visi hidup lebih jelas aja. Tujuan hidup. Ada tanggung jawab lebih gitu."
AYAH
"Kau butuh berapa untuk pengembangan rumah sakit? Fasilitas dan tenaga ahli? Bilang sama Papa, atau Adam. Perusahaan kita punya banyak relasi. Pagi ini kita sebar informasi, siang nanti sudah ada list pihak mana-mana saja yang bersedia dan memenuhi kualifikasi."
(Beralih pada Adam)
"Ingatkan Papa jika Papa salah mengenai hal ini, Dam."
IBU
"Papa dan kakakmu benar, Martin."
(Ibu menyela)
"Boleh giat bekerja-apalagi untuk kepentingan orang banyak. Tapi jangan sampai lupa diri sendiri. Sudah saatnya ada yang memerhatikan kamu lebih, mendampingi saat gelisah dan mengingatkan ketika kehilangan arah. Toh, nanti kalau ada apa-apa sama kamu, bukan berarti Mama mau ada hal buruk terjadi sama kamu, siapa yang akan menggantikanmu mengurus orang-orang banyak ini? Mungkin kamu mau pikirkan lagi. Tapi kalau tetap tidak mau juga ya tidak apa-apa. Tidak ada paksaan-yang mana terbaik menurut kamu saja. Begitu, kan, Pa?"
Martin mengangguk di tempatnya.
Ben turun dari tangga. Menghampiri kursi di seberang Rizka dan di samping Wina.
BEN
(Berbisik ke Rizka, sembari duduk)
"Apa Kakak melewatkan sesuatu?"
Rizka tersenyum dan menggelengkan kepala.
AYAH
"Bagaimana kuliahmu, Ben? Papa harap kegiatan mengecatmu itu tidak mengganggu kegiatan belajar."
Ben mendesah, memain-mainkan (memisah-misahkan) makanan di piringnya dengan sendok dan garpu.
BEN
"Mulai lagi."
Jeda. Ayah memperhatikan luka di wajah Ben, lalu tanpa beralih dari pertanyaan dan pernyataan sebelumnya di meja makan,
AYAH
"Kau ingin mengatakan sesuatu, Ben? Ayo, bicaralah. Kami semua ingin mendengar apa yang ada di kepalamu saat ini."
BEN
"Kegiatan yang kukerjakan itu disebut melukis. Seni."
AYAH
"Yah, tentu saja. Seni. Begitu kau menyebutnya seolah-olah itu sesuatu yang patut dibanggakan. Mungkin sebaiknya kau mulai berhenti sebelum itu benar-benar mengganggu. Kau tidak akan menjadi apa-apa dengan kegiatan itu, Ben. Tidak akan pernah. Kau dengar?"
BEN
"Atau mungkin sebaiknya aku tidak makan bersama kalian di bawah sini.
Ben berdiri dari kursinya, memandangi Ayah.
IBU
"Ben, jaga sikapmu."
Ben memandangi Ibu, lalu Rizka
BEN
"Maaf telah mengganggu waktu makan kalian."
Ben meninggalkan meja makan.
AYAH
(Dengan suara yang lebih keras)
"Kau tidak akan menjadi apa-apa dengan itu! Ben, kau dengar? Ben, kembali ke tempat duduk dan habiskan makananmu! Ben, Papa sedang berbicara!"
Ibu menggenggami tangan Ayah. Berharap itu membantu menenangkannya. Ibu bergantian memandangi Ayah dan Ben.
IBU
"Sudahlah, Pa. Ingat kata Martin untuk menjaga marah. Nanti kalau terjadi apa-apa lagi dengan jantungnya, bagaimana?"
Ayah mendengarkan Ibu; Ayah mengendurkan tubuhnya yang tegang, mencoba bernafas perlahan.
AYAH
(Suara pelan)
"Mungkin sebaiknya kau jangan terlalu memanjakannya, Widya. Lihat bagaimana tidak sopannya anak itu sekarang."
Ibu mengangguk.
IBU
"Nanti Mama bicara dengannya."
Orang-orang mengunyah sisa makanan mereka dengan enggan dan lamban.
Rizka memikirkan sesuatu di tempat duduknya. Pandangannya menerawang. Ia berpikir mungkin sebaiknya ia bicara dengan Ben.
CUT TO:
9.INT. LANTAI DUA - PAGI
Rizka keluar dari kamar dan menutup pintunya. Sambil melangkah pelan, ia membetulkan posisi ransel di bahunya. Rizka berhenti di depan pintu kamar Ben, memandanginya. Menimbang-nimbang untuk mengetuk dan mengatakan apa yang dipikirkannya ketika sarapan atau tidak. Rizka memutuskan untuk hanya pergi.
CUT TO:
10.INT. KAMAR BEN - PAGI
Ben duduk di ujung tempat tidurnya. Kakinya membuka dan telapak kakinya menyentuh lantai. Badannya membungkuk. Siku-sikunya bertumpu di lutut sementara jari-jemarinya terjalin menopang dagu. Ben sedang berpikir dan merenung.
Ben berpaling ke sisi lain kamar dimana sebuah kanvas di atas easel ditutupi kain hitam-beberapa kanvas lain yang telah digambari bersandar ke dinding.
Ben beranjak dari tempat tidurnya menghampiri kanvas di balik kain hitam. Ben menyibakkan kainnya.
CUT TO:
11.EXT. HALAMAN RUMAH - PAGI
Dua buah mobil berjajar di depan rumah; mobil hitam berada di depan mobil abu-abu. Wina, Danu (digendong Wina menghadap bahu) dan Adam keluar dari pintu utama. Adam berbalik, mengecup kening Wina, lalu mencium pipi Danu. Wina mengangkat tangan mungil Danu untuk dilambaikan kepada Adam yang segera naik ke mobil hitam. Adam melambai balik.
WINA
"Hati-hati ya, Pa. Jangan ngebut-ngebut."
(Wina berkata dengan suara dilembut-lembutkan mirip suara anak kecil)
Di dalam mobil, Adam menyempatkan untuk menurunkan jendela. Melambai kembali. Perlahan mobil Adam melaju keluar gerbang rumah.
Rizka keluar dari pintu dengan tas ransel di bahu. Ia berhenti di dekat Danu dan sedikit bermain dengan tangannya yang mungil. Tanpa diketahui Rizka, Wina mengawasi dengan tatapan tidak suka.
RIZKA
(Dengan suara yang dibuat seperti anak-anak)
"Danu sudah bangun?"
(Jeda)
"Kakak pergi sekolah dulu ya, Danu. Kamu jaga Mama Wina di rumah. Sini, Kakak cium dulu."
Rizka mencium Danu di kepalanya.
RIZKA
(Dengan suara yang dibuat seperti anak-anak)
"Danu bau nih, belum mandi."
Martin keluar dari pintu utama rumah.
MARTIN
"Sudah? Ada yang ketinggalan?"
Rizka menggeleng. Martin menatap Wina.
MARTIN
"Aku pergi dulu ya, Kak."
Wina mencoba tersenyum.
WINA
"Hati-hati."
Martin berlalu masuk ke dalam mobil abu-abu.
RIZKA
"Aku pergi ya, Kak."
Wina memberikan senyum dibuat-buat. Rizka menyalami tangan Wina di kening. Lalu bergegas ke mobil Martin dan duduk di depan.
CUT TO:
12.INT./EXT. MOBIL MARTIN - PAGI
Rizka mengenakan safety belt. Martin memperhatikan di sampingnya. Rizka mengangguk ke arah Martin.
Martin membunyikan klakson mobilnya. Pertanda mereka akan segera pergi. Wina memerhatikan mobil abu-abu yang melaju keluar rumah sementara tangannya membetulkan gendongan Danu.
CUT TO:
13.INT. KAMAR AYAH IBU - PAGI
Ayah mengintip dari jendela kamar yang mengarah ke bagian depan rumah, pada mobil abu-abu Martin yang baru saja pergi dari halaman. Ayah menjauhi jendela, berjalan melewati Ibu yang berdiri menunggui di belakang.
AYAH
"Harinya sudah tiba. Kita harus bersiap-siap."
CUT TO:
14.INT. RUANG DEPAN - PAGI
WIDE: Wina dan Danu (Danu digendong menghadap bahu Wina) masuk ke dalam rumah. Wina menutup pintu utama dan berjalan terus ke dalam.
CUT TO BLACK: