MONTAGE:
EXT. RUMAH LALA-TERAS-PAGI
Minggu pagi. Sebulan setelah kelulusan SMA. Di sebuah rumah minimalis, dengan halaman luas, Ray duduk diam memandangi bunga-bunga di taman. Perhatiannya lalu tertuju pada Lala yang bertanya. Mereka berdua sedang mengisi formulir melalui internet, untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.
LALA
Jadi mau daftar jurusan apa? Universitas apa?
Ray memutar bola mata. Melirik Lala yang sama sekali tidak berubah meski hubungan mereka telah berubah dari teman jadi pacar. Diperhatikannya wajah yang selalu bersikap tenang dan selalu sukses menariknya kesana. Ray lalu menyingkirkan rambut yang bergerak menutupi tubuhnya. Tapi tak ada respon dari Lala.
RAY
Nanti malam, nonton yuk?
LALA
Apaan? (kening mengerut). Kamu nggak mau ikut ujian masuk?
Ray memajukan bibir. Ia sudah mendengar itu dari ibunya.
RAY
Emang kamu mau ambil jurusan apa?
LALA
Pilihan pertama, Arsitek. Kedua, Design Interior.
RAY
(menyela)
Benaran nih? Kenapa nggak jadi dokter? Kamu kan pintar. Kan percuma kalo otak encer gitu akhirnya... (suara melemah)
Ray berhenti, mendapati lirikan sinis Lala. Lala mendengus, tertawa kecil.
LALA
Mau kuliah dimana aja, yah otak mesti encer, tetap kerja otaknya. Emang kamu kalo kuliah, udah nggak mau belajar?
Ray menelan ludah. Ia berdehem.
RAY
Jurusan pilihanku kan? (menggumam). Design(yakin).
LALA
Kenapa nggak coba ambil graphic design di luar negeri.
RAY
Kamu mau ngusir aku yah. (mendesis) Di universitas yang sama kamu aja.
LALA
(fokus ke layar laptop) Kamu nggak pilih ini cuman karena mau di tempat yang sama kan?
RAY
Narsis banget sih (perlahan tawa menghilang.) Nggak. Emang aku udah pikirin sebelum-sebelumnya. Pas kamu ngomong sama bunda tentang cita-cita, aku kepikiran ambil DKV. Lagian cewek kok ambil arsitek.
LALA
Baguslah. Pertama banyak cewek yang jago di arsitek kok. Kedua, bukannya narsis, tapi kamu kan dari dulu emang selalu plin-plan. Entar aku bilang bakalan ambil kedokteran, kamu mau coba Psikolog.
RAY
eh? Kedokteran?
Lala menggelengkan kepala. Mengabaikan wajah bingung Ray. Dan beberapa bulan berikutnya, Lala lulus di arsitek dan Ray lulus Desain Komunikasi Visual.
INT. CAFE-MEJA SUDUT-SORE
Ray menyentuh perutnya, membungkuk di atas meja. Ia melirik, segera tersenyum saat Lala datang dan duduk di sampingnya.
LALA
(menghela nafas) habis makan apa lagi sih? (menyentuh punggung Ray, menepuk-nepuknya)
Ray bergumam tak jelas. Mengabaikan saat Lala menemukan gelas minumnya yang sudah kosong.
LALA
Kamu minum yang bersoda lagi? Apaan sih nih anak, udah dibilangin berapa kali.
Ray menegakkan punggung. Melirik Lala.
RAY
Kamu sih kelamaan.
LALA
Apa hubungannya aku yang kelamaan sama kamu minum soda?
RAY
(diam, mengalihkan pandangan)
LALA
Udah makan belom?
Ray menggelengkan kepala. Memperhatikan Lala berdiri, memesan makanan. Tak lama Lala kembali, duduk.
LALA
Hari ini nggak usah ke bioskop dulu.
Kenapa?
RAY
LALA
Bunda Rita telepon, katanya kamu kabur dari acara makan malam kemarin. Sudah di re-schedule sama bunda.
RAY
Apaan sih, Bunda. Kamu nggak usah sering-sering nerima panggilan Bunda. Banyak aja maunya.
LALA
(memutar bola mata)
Terus aku harus bilang ke Bunda Rita, kalau aku nggak bisa nerima telepon dia lagi?
RAY
Ai, terserah.
Lala lalu mengeluarkan buku dari tasnya.
RAY
Baca buku lagi?
LALA
Sekalian nunggu makanan (bergumam.) Aku bisa dengar kamu ngomong, jadi cerita saja.
Ray menopang dagu, memperhatikan wajah Lala yang selalu tenang.
LALA
(tanpa melihat Ray)
Film kemarin gimana? Seru nggak?
RAY
Eh? (wajahnya bersemangat, mulai bercerita)
EXT/INT. PARKIRAN SALON-SALON-SIANG
Ray membuka helm, mendongak melihati salon di hadapannya. Menoleh pada Lala yang sudah berjalan ke dalam. Dilihatinya punggung Lala, menuju penerima tamu. Lala lalu berbalik, melihati wajah dan rambutnya.
LALA
Kamu nggak mau potong rambut? Udah panjang.
Ray menyentuh rambut yang memang sengaja dibiarkan panjang setelah masuk Universitas. Ia menggeleng, menunjukkan ketidaksukaannya.
LALA
Ya sudah, aku mau potong rambut. Tunggu di sini. Kalau bosan, pulang saja duluan.
Ray memenjulurkan lidah. Memutar bola mata. Merasa terabaikan lagi. Ia menarik Lala mendekat.
RAY
Kok nggak bilang sih, mau mendekin rambut. Rambut panjang kan cantik. Ceweknya teman-temanku semuanya punya rambut panjang.
LALA
Lagi gerah aja.
RAY
Entar teman-temanmu bilang, kamu habis putus cinta. Jadi motong rambut.
LALA
Kenapa dengerin mereka. (mendekat kembali ke respsionis)
Ray mendongak. Mendesah. Mengikuti Lala, berdiri di belakang Lala. Ia menyentuh rambut, ia akan memotong rambut juga.
EXT. RUMAH LALA-DEPAN PAGAR-MALAM
Ray menunggu beberapa saat, bersandar di sisi mobil yang dipinjam dari ayahnya, sambil bermain dengan telepon genggamnya. Ia lalu mendongak saat Lala telah berdiri di samping mobil, tersenyum. Melihati dress putih selutut yang melekat di tubuh Lala. Dan saat matanya mendapati sepatu di kaki Lala, ia mengerutkan kening.
LALA
Kenapa?
Ray melihati sepatu kets Lala.
RAY
Ini kan mau ke kondangan.
LALA
Di kondangan bakalan lama. Kayaknya bakalan sekalian reunian sama
teman-teman SMP. Lagi pula, (membuka pintu mobil, memberi jeda, memutar bola mata) emangnya kamu nggak suka?
RAY
Suka (nada datar)
LALA
(melanjutkan kalimatnya yang belum diucakan)
Dan juga, besok aku bakalan jadi panitia yang menguras tenaga di lomba maraton dan bazar yang diadain sama pacar aku, yang katanya penting banget, dan jangan sampai dilewatakan. (menghela nafas)
Ray menelan ludah. Itu permintaannya.
INT. HOTEL-AULA PERNIKAHAN-PESTA-MALAM
Ray dan Lala berjalan bersama. Perlahan ada jarak di antara mereka, beberapa orang teman sekolah mereka, telah mengelilingi Lala.
RAY (V.O)
Gue juga di sini. Teman SMP kalian juga.
Ray lalu tersenyum lebar, saat Lala berbalik dan menyuruhnya mendekat ke sebelahnya.
LALA
Kenapa di sana sih? Kamu sengaja ninggallin aku yah?
RAY
(masih tersenyum)
Nggak kok. (memasang wajah puas, melihat teman SMP yang lain, seakan berkata dia gadisku.)
Mereka lalu mendekat ke arah pengantin. Segera menyalami keduanya.
PENGANTIN PEREMPUAN
Lala (tanpa melepas tangan Lala), senang banget lo di sini. Kirain lo bakalan datang sendiri. Tapi sekarang akhirnya sama Ray, yah? (setengah berbisik, memancing telinga Ray)
RAY
Apaan sih lo? Maksud lo, siapa lagi? (pada pengantin perempuan)
LALA
(tertawa kecil)
dari dulu, aku sama dia kok.
PENGANTIN LAKI-LAKI
(menepuk bahu Ray)
Jadi kapan kalian nyusul kita?
PENGANTIN PEREMPUAN
Mana berani nih anak. Kerjaannya cuman bakalan ngikutin Lala terus. Nanti juga dia ngikut ke pelaminan tapi Lala ama cowok lain (tertawa)
RAY
Ngomong apa nyumpahin lo. (mendekat di sebelah Pengantin laki-laki) Kasihan lo, dapat si cerewet (meringis, saat mendapati pukulan Pengantin perempuan di bahunya)
LALA
(meraih sekali lagi tangan Pengantin Perempuan)
Bahagia sampai akhir, sayang.
PENGANTIN PEREMPUAN
(mengangguk, memeluk Lala) Lo juga ya, Lala sayangku. (menunjuk Ray) jangan sampai lo nyakitin Lala.
Ray menjulurkan lidah. Menarik tangan Lala. Turun dari pelaminan.
RAY
Tunggu sampai aku sukses (bisiknya di samping Lala)
Lala tak menjawab. Hanya menggerakkan bahu.
FADE IN:
INT. KAMPUS-RUANG TUNGGU RUANG JURUSAN-PAGI
Ray, Tara, dan Ali masih berbicara di ruang tunggu. Berbicara tentang Lala. Saat Ray mengeluarkan isi pikirannya.
RAY
Lo nggak tahu seberapa cuek dia.
TARA & ALI
Ah? (menganga, menunggu penjelasan dari kalimat Ray)
RAY
Yah maksud gue (menggerakkan bahu, kalimatnya terhenti)
ALI
Lagi ada masalah?
Ray menggerakkan kepala untuk pertanyaan Ali.
TARA
Ei, jangan-jangan lo lagi bosan yah? (menepuk bahu Ray)
Tara menyelidik, dengan sebelah alis terangkat. Tapi Ray mengalihkan pandangan.
RAY
(mendesis) Nggak.
Gue cuman kepikiran aja, lo gampang banget lepas dari cewek.
TARA
Yeh (mengerucutkan bibir), itu karena gue belum nemu yang pas. Kalau udah, ngapain gue lepas. Yang cantik dan baik hati kayak cewek lo (melihat Ray) dan bukan tukang selingkuh kayak cewek, eh, mantan lo (melihat Ali, menahan tawa)
ALI
Sialan lo. Kualat karena mainin cewek baru tahu rasa lo.
TARA
Daripada dimainin cewek. Iya kan? (menepuk bahu Ray)
Ray menyentuh bahunya. Mengangguk. Perhatiannya kembali terganggu oleh suara di yang tak jauh dari mereka. Suara dari Tiffani terdengar.
TIFFANI (O.S)
(berbicara dengan seseorang di telepon)
Iya gue tahu, ini udah di depan jurusan. Bareng teman gue. Gue cuman mintaain tanda tangan kan? Iya-iya. Belum datang katanya.
Entar gue telepon lagi.
Ray menarik matanya. Melihati Tara dan Ali yang berdiri dari kursinya. Berdiri di hadapan Ray.
RAY
Kemana?
TARA
Mau jalan. Menenangkan hati pujangga yang sedang patah hati (menepuk dada Ali yang meringis kesakitan.
Perhatian Tara lalu teralih pada Tiffani yang duduk tak jauh dari mereka, seperti baru sadar tentang keberadaan gadis cantik di sana. Memberi kode pada Ray dan Ali untuk melihat ke arah Tiffani.
TARA
Tunggu siapa, dek? (volumenya naik, menarik perhatian Tiffani)
Ray memperhatikan Tiffani mengangkat kepala dari telepon genggamnya.
Menampilkan gerakan kepala Tiffani dengan angin yang menerbangkan rambut panjangnya. Dan Tiffani yang lalu tersenyum manis.
Sebelum Tara bergerak, Ali sudah menarik Tara, menjauh sambil melambaikan tangan pada Ray.
RAY
Sori yah. (mengangkat tangannya)
Tiffani menggerakkan kepala, tersenyum. Melihat pada teman di sampingnya yang berdiri.
TEMAN TIFFANI
Gue ada kelas nih, Fan. (tak enak hati harus meninggalkan Tiffani sendiri). Sori yah.
TIFFANI
(mengangguk) Nggak apapa.
Gue juga udah ganggu lo.
TEMAN TIFFANI
Pokoknya kalo udah ada dosen pake topi bundar dia itu pak Mun. (mengingatkan)
Tiffani menganggukkan kepala. Melihati temannya yang berlalu pergi.
Ray mendengar kalimat teman Tiffani. Ia lalu sesekali melirik Tiffani yang mengembungkan pipi, memasang wajah khawatir.Dan saat mata mereka bertemu, Ray dengan cepat menarik wajahnya. Sedang Tiffani seperti memastikan di otaknya bahwa Ray adalah pria yang dikenalnya.
Tak ada suara dari mereka. Dan tak lama, seorang pria besar menaiki tangga, yang adalah pak Mun. Tetapi tidak menggunakan topi bundar yang hanya memeganngya di tangan kanannya.
Ray segera berdiri. Akhirnya dosen yang ditunggunya datang juga. Ia menghentikan langkahnya, berhenti di depan Tiffani.
RAY
Tadi cara pak Mun, kan? (menunjuk bagian belakang pak Mun)
Tiffani menganga. Dengan cepat mengikuti. Sedang Ray bergerak di belakangnya.
Di dalam ruang dosen, Pak Mun sudah duduk di mejanya. Memabalas senyum Tiffani yang mendekat ke mejanya.
PAK MUN
Kenapa? Kenapa? (menunggu)
TIFFANI
Ini pak mau minta tanda tangan.
PAK MUN
(mengeluarkan kertas dari map bening, memeriksa)
Loh ini surat izin perbaikannya Aditia. Namu kamu Adit?
TIFFANI
Bukan, pak. (menggerakkan tangannya).
PAK MUN
Terus kenapa kamu yang bawa? Siapanya? Pacar?
TIFFANI
Bukan, pak. (tersenyum salah tingkah). Teman saya, pak. Sekarang masih di luar kota, lagi mendaki.
Tapi besok katanya, mesti kumpul hasil perbaikan. Terus tinggal tanda tanga bapak saja yang tidak ada.
Terus?
PAK MUN
TIFFANI
(tersenyum kecut) Nggak bisa yah pak?)
Ray yang sejak tadi berdiri, tak mengganggu, akhirnya bersaha membantu. Melihat proposal yang juga ada di atas meja.
RAY
Tanda tanganin aja, pak. Tuh ada proposalnya juga.
PAK MUN
(memperhatikan dan mendapati Ray) Kayak kamu biasanya yah Ray? (melihati Ray menggaruk bagian belakang kepalanya)
Yah sudah (mengeluarkan polpen). Lain kali jangan jadi Adit.
Tiffani tersenyum, berterima kasih. Sebelum keluar ia tersenyum pada Ray.
PAK MUN
Bantuin cewek lain, Ray?
RAY
Apaan sih pak? (menyodorkan mapnya)
Pak Mun tertawa, segera mendantangani.
PAK MUN
Akhirnya kamu bisa kejar Carla, juga. Sampaikan salam bapak sama dia. Jarang dia ke kampus, sekarang.
RAY (V.O)
Yang bukan dosennya aja kenal dia. Tentu saja, Lulusan terbaik universitas.
RAY
Entar saya minta dia ngunjungin bapak(membungkuk, tersenyum, mengumpulkan berkasnya.) Terima kasih, pak.
Ray memasukkan kembali dokumennya ke dalam tas. Dan saat keluar, ia terkejut saat Tiffani menghadangnya.
TIFFANI
Terima kasih yah, kak. Yang tadi. (menambahkan cepat, tersenyum)
RAY
Ok. Pak Mun dosen pembimbing gue. Jadi gampang ngomongnya.
Ray melambaikan tangan. Ia bermaksud pergi, tapi Tiffani kembali berbicara.
TIFFANI
Kak Ray, kan? (memastikan)
RAY (V.O)
Baiklah, dia tentu saja mengenal pangeran kampus.
TIFFANI
Aku Fani. Tiffani, adik kelas kak Ray, di SMP. (sopan) Pasti nggak kenal (menyadari Ray yang tidak mengenalinya)
RAY
Ah... (nadanya mengambang)
RAY (V.O)
Gue nggak pernah tahu ada cewek semacam dia.
TIFFANI
Pasti nggak kenal kan? Emang sih, soalnya udah lumayan lama,
aku tinggal di luar kota. (santai bercerita)
Sebelum menganggapi, Ray dengan cepat menarik Tiffani yang menutupi pintu. Tiffani melihati gadis yang melihatinya kesal, ia segera meminta maaf.
Ray lalu menunjuk bergantian jalan menuju tangga dan kursi salah tingkah. Langkah mereka lalu berurutan, berjalan bersama.