Bunga dan Pena
9. Chapter 9

EXT. RUMAH PAK KYAI - TERAS - AFTERNOON

Pak kyai dan Hanif sedang duduk-duduk di teras. mereka duduk berdampingan di kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja kecil. Mendiskusikan hal-hal kecil seputar santri dan pesantren, dan kadang berbicara hal-hal yang bersifat pribadi.

PAK KYAI

Bagaimana kang, setelah beberapa bulan di sini?

HANIF

Njih, alhamdulillah sudah mulai bisa menyesuaikan.

PAK KYAI

Ya mudah-mudahan bisa betah,

(tertawa)

Kalau bapakmu itukan masih kuat mengurus pesantrennya.

HANIF

Njih, pangestunipun saking njenengan.

PAK KYAI

Kalau di sini, masih banyak yang harus dikembangkan dari para santri.

(pause)

Jadi di sini dulu, nikahnya nanti dulu.

(tertawa)

Naila muncul dari pintu rumah menuju teras membawa dua cangkir teh dan beberapa suguhan lain. Sejenak Hanif terpaku pandangannya kepada Naila.

PAK KYAI (CONT'D)

(mendehem)

Ini tehnya, Nif, boleh diminum dulu.

HANIF

Eh, ngapunten.

(pause)

Njih... Njih!

PAK KYAI

Ya, kalau ngomong berkeluarga.

(pause)

Kalau memang kira-kira sudah cocok dengan seseorang. Jangan dipendam,

(pause)

Ya kamukan sudah besar. Pahamlah itu!

CUT TO:

INT. WARUNG POJOK - MEJA DEKAT JENDELA - NIGHT

Muhtar, Fajar, Jalil, dan Umam duduk satu meja. Terlihat senang dan sumringah. Jalil mengangkat salah satu kakinya ke kursi yang ia duduki.

JALIL

Gimana, Tar! Sudah sampai mana?

MUHTAR

Sampai mana, maksudnya?

(pause)

Oh, kisah burung Hud-hud?

FAJAR

Siapa yang pelihara hud-hud?

JALIL

Halah! Kau dengarkan saja Jar, Gak usah interupsi!

MUHTAR

Ya sejauh ini sudah mulai terbuka. Kami cerita hal-hal kecil, kadang juga

(pause)

Hal-hal konyol.

JALIL

Sip! Bahagia kalau lihat teman yang satu ini senang.

MUHTAR

Umam yang paling berjasa ini. Terimakasih, pokoknya Mam!

UMAM

Tadi aku makan gorengan tiga, sama kopi satu!

MUHTAR

Oh, siap! Ambil lagi, ambil lagi! Asal kau senang, Mam!

UMAM

Hadeh, kalau kalian tau. Setiap bawa amplop, hatiku gak tenang!

JALIL

Demi temanmu yang satu ini, Mam!

UMAM

Ya yang penting, kalian kan tau konsekuensinya.

JALIL

Tenang! Kalau soal pengurus, aku siap bela Mam!

UMAM

Bukan itu!

(pause)

Ini buat kau ajalah Tar. Kalau nanti ada yang tidak diinginkan,

(pause)

Sudahlah! Ya pokoknya kau tau maksudku lah Tar.

MUHTAR

Ya,

(pause)

Aku paham maksudmu.

Sejenak mereka semua diam, hanya suara TV yang mengisi ruangan.

JALIL

Oh iya Tar, kalau perihal mimpimu yang tempo hari gimana?

MUHTAR

Ya belum ada

(pause)

Itu kebetulan mungkin, Lil.

UMAM

Mimpi apa? Ketemu Naila?

FAJAR

Ketemu buyutnya Ning Salma.

UMAM

Heh?

(terkejut)

Kyai Idrus?

JALIL

Kalau nggak orang pilihan mana ada.

UMAM

Iya Tar?

MUHTAR

Ya begitu adanya.

UMAM

Terus? Sowan kemakamnya, Tar!

JALIL

Sudah, Mam. Minggu lalu.

UMAM

Terus beliau pesan apa? Atau ngasih tanda apa?

MUHTAR

Ya belum ada, tiap mimpi ya sama terus.

UMAM

Berapa kali emang, Tar?

MUHTAR

Mimpi ketemu beliau?

(pause)

Yang bisa aku ingat, tiga kali.

UMAM

Ya nanti coba kau sowan lagi, Tar!

(pause)

Kau baca ijazah dari beliau!

Muhtar hanya terdiam, ia tak berusaha melanjutkan pembicaraan tersebut. Perlahan ia habiskan kopinya.

CUT TO:

INT. ASRAMA PUTRA - KAMAR MUHTAR - NIGHT

Muhtar termenung memikirkan pembicaraan di warung pojok tadi. Ia mengamati kembali penanya, kemudian teringat surat dari Naila yang baru ia terima. Ia baca sepucuk surat itu,

"Tadi sore, kudapati kesulitan. Aku sulit sekali untuk tidak memikirkan surat yang telah ku tulis. Menunggu seminggu rasanya cukup lama. Tapi tak apa, sembari menunggu kusibukkan diriku dengan hafalan dan beberapa kegiatan lain di ndalem. Aku tidak pernah bosan, tidak pula kehilangan kesabaran untuk menunggu."

Muhtar selesai membaca surat itu, dan tertawa kecil. Ia membalas surat yang didapatnya.

MUHTAR (V.O)

Seperti biasa, kusimpan surat yang baru saja ku dapat. Jadi bisa kubaca ulang sambil menawar rasa tak sabarku membaca surat yang lain. Kalau kau mendapati kesulitan, begitupun aku. Kadang beberapa kitab yang ada masih perlu diterjemahkan sendiri, itu membuat kerjaku jadi lambat. Tapi tak apa, kadang berpikir soal yang berat membuat kepala pusing. Surat yang kuterima hari ini bisa jadi aspirin, kurasa.

Muhtar melipat surat itu. Mendadak ia teringat perkataan Umam tadi di warung pojok. Kembali ia bergeming.

DISSOLVE TO:

INT. WARUNG POJOK - MEJA DEKAT JENDELA - MALAM HARI

Muhtar, Jalil, dan Fajar menunggu kedatangan Umam. Kurir pesan yang secara sepihak ditunjuk oleh Jalil untuk menyukseskan hubungan asmara Muhtar dan Naila. Jalil melihat ke sekeliling ruangan. Didapati beberapa santri ada di warung tersebut, tak satupun dari mereka memperhatikan TV yang sedang menyiarkan berita-berita yang sedang terjadi.

Jalil beranjak dari tempat duduknya, menjangkau remot TV dan mematikannya. Tak ada satupun yang melarang atau menegurnya.

MUHTAR

Kau lihat teman kau, ngapain itu?

FAJAR

Biarkan saja, Tar. Suka-suka dia.

JALIL (O.S)

Radioan saja ya, Kang!

PENJAGA WARUNG(O.S)

Iya. yang penting kau senang, Lil.

JALIL

(memutar radio) Oke, mari kita dengarkan lagu yang sedang ngetren!

Suara radio yang sedang agak payah sinyal mulai terdengar mengisi warung. Jalil masih berusaha mencari kanal radio yang enak untuk didengarkan, beberapa kali ia menggocangkan radio itu. Sayup-sayup mulai terdengar lantunan lagu. Muhtar dan Fajar hanya mmenggelengkan kepala dan tertawa kecil melihat kelakuan temannya.

BUNYI LAGU DI RADIO

-...Memandang alam sekitarnya

Karena senja tlah tiba Mentari tenggelam ...-

JALIL (O.S)

Aseg.

(menganggukkan kepala dan ikut bernyanyi mengikuti irama lagu)

Kita pun turun bersama melintasi jalan setapak

(berjalan ke arah mejanya mengikuti irama lagu)

Jalil duduk kembali di mejanya dengan wajah yang seolah menghayati lagu yang sedang diputar di radio. menganggukkan kepala dan bernyanyi. Muhtar dan Fajar hanya melihat kelakuan temannya itu, tidak heran dan ikut menganggukkan kepala sesuai irama lagu.

JALIL (CONT'D)

Tak lupa kau petik Bunga warna ungu, lalu kau selipkan di rambutku.

FAJAR

Suara kau lumayan bagus, Lil.

JALIL

(mengacungkan jempol dan mengangguk mengikuti irama)

FAJAR

Tapi akan lebih bagus kalau jangan nyanyi.

JALIL

Eh, Kau! Mulai lagi...

(kemudian berbicara ke Muhtar)

Radionya pengertian sama kau, Tar!

MUHTAR

Apa lagi?

JALIL

Lo, ya coba kau bayangkanlah. Kau sama Naila sore-sore, melintasi jalan setapak. Di rambutnya Naila terselip bunga ungu. Eh, di jilbabnya maksudku.

MUHTAR

(menyela sambil mengikuti lagu)

Bukit berbunga, tempat yang Indah...

JALIL

(kepada Fajar)

Nah, Kau Lihat temanmu yang satu ini, Jar! Bahagia, Dia.

FAJAR

Iya, terserah kau lah, Lil.

Umam masuk ke warung dengan kantung plastik hita di tangannya. Setelah memesan segelas teh jahe, ia bergabung dengan Muhtar dan teman-temannya. Tanpa basa-basi ia menarik kursi yang berada di dekat merka.

JALIL

Ini dia! halo bosku... bawa apa itu, bosku?

UMAM

Akupun tak tau apa isinya, bosku...

Umam menyodorkan kantung pllastik itu kepada Muhtar. Ia mngerutkan keningnya karena sedikit bingung.

UMAM

Hari ini gak cuma amplop, Tar.

JALIL

Dari Naila?

Muhtar tampak lebih antusias dari biasanya, didapatinya di dalam kantung itu sebuah kotak merah dengan karet gelang yang menyegel penutupnya.

FAJAR

Bukan Bom kan, Tar?

JALIL

Hus! Kau, kalau ngomong!

UMAM

sepertinya begitu, Bom Waktu.

MUHTAR

Kue ... Isinya kue!

JALIL

wih! Jarang-jarang ada yang sampai kirim kue, Tar!

UMAM

Iya... Jarang-jarang juga ada yang mau bantu temannya untuk pacaran.

MUHTAR

hehe...

(cengengesan)

Makasih ya, Mam!

Muhtar meletakkan kotak merah berisi kue tersebut ke atas meja. Wajah Muhtar tampak memancarkan kegembiaraan yang tidak seperti biasanya. Senyumnya tak mengendur, sembari mengamati kotak tersebut mencari-cari amplop. Wajahnya semakin riang saat ia temukan sebuah amplop di sela-sela kotak merah itu.

JALIL

(ke penjaga warung)

Kang! Pinjam pisau.

(berjalan ke penjaga warung)

PENJAGA WARUNG (O.S)

Kenapa cari pisau, Lil?

JALIL (O.S)

Malam ini istimewa, kang! Temanku ulang tahun.

PENJAGA WARUNG

Ini ...

JALIL

hehe ...

Makan kue, kita!

(berjalan kembali ke mejanya)

DISSOLVE TO:

INT. ASRAMA PUTRA - KAMAR MUHTAR - MALAM HARI

Muhtar bergeming di meja, sudut kamarnya. Yang dilakukan hanya melihat ke deretan kitab dan bukku yang tersusun rapi di hadapannya. Kadang ia ubah posisi duduknya, besandar ke kursinya, meletakkan wajahnya di atas tangannya, dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya setelah mengerutkan dahi. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan tentang mimpi yang ia alami belakangan, namun diwaktu yang bersamaan Wajah Naila memasuki khayalnya.

Ia teringat bahwa sore tadi surat yang ditulis Naila sudah ada di tangannya. Ia beranjak mencari surat itu, yang masih berada di dalam saku kemejanya. tersegel rapi, belum dibukanya. Muhtar melirik ke sekelilingnya terlebih dahulu sebelum kemudian mulai membaca isi surat itu. Di saat yang hampir bersamaan, diagram yang tertempel di dinding dekat meja Muhtar terlepas salah satu sudut atasnya, sehingga membuat kertas besar tersebut melengkung ke bawah. Muhtar kemudian berdiri dan melekatkan kembali sudut yang terlepas itu. Sempat sulit untuk mennempel kembali ke dinding, Muhtar mencari lem dan diagram tersebut dapat melekat kembali. sebelum kemudian kembali duduk dan membaca surat dari Naila.

Suasana kamar dan asrama putra seperti biasa, sunyi di malam hari. Beberapa suara memang remang-remang terdengar dari mereka yang melakukan mujahadah malam, dipadu dengan suara hewan-hewan malam.

DISSOLVE TO:

INT. SERAMBI MASJID - NIGHT

Para santri sedang berkumpul di serambi. seperti biasa mereka mengikuti kajian rutin kitab kuning yang menjadi kurikulum pesantren. Kajian tersebut dimulai dengan sebuah syair yang dinadakan berssama-sama.

PARA SANTRI

-Alalaa tanalul ilma illa bisittatin. saumbika 'an majmu'iha bi bayanin. Ilingo kang hasil ilmu anging enem perkoro. bakal tak critake kumpule kanti pertelo. Dzukain wa hirshin was thibarin wa bulghotin, wa irsyadi ustadzin wa thuli zamani ... -

Para santri yang berada di serambi tampak bersemangat sekali mengikuti irama dan lirik yang dilantunkan oleh si pemegang mik, yang membuka pengajian malam itu. Bahkan kadang ada yang meninggikan suaranya di tengah-tengah llirik, yang mereka suaki.

PARA SANTRI

-Deneng mlesete lisan nekakke balang endas. deneng mlesete sikil suwi-suwi biso waras. -

CUT TO:

INT. PERPUSTAKAAN - NIGHT

Muhtar dan Kasi dirasah tampak sibuk di meja masing-masing. Suara kertas yang ditimbulkan oleh kitab mereka masing-masing saling beradu. menccari-cari referensi sebagai dalil dari hujjah yang akan mereka tuliskan.

Namun bagaimanapun, sorot mata Muhtar tidak setajam biasanya. Ia sering menghentikan pencarian dan membacanya di tengah-tengah halama. Saat berhenti membaca, Muhtar hanya memejamkan mata untuk beberapa saat lalu kembali ke pencariannya. Kadang menghela nafas panjang, memejamkan mata, kadang juga menepuk keningnya dengan telapak tangannya.

Muhtar berhenti lebih lama dari jeda-jeda yang ia lakukan sebelumnya. menutup kitabnya, kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi. Kasi dirasah menyadari apa yang sedang dilakukan MUhtar.

KASI DIRASAH

Hehe, pusing Tar? alon-alon wae ...

kalau capek ya berhenti dulu, ngopi-ngopi dulu di warung pojok.

MUHTAR

Wehe, iya kang.

(pause)

Kang, njenengan apa tidak kepikiran untuk ... untuk katakanlah berkeluarga begitu?

KASI DIRASAH

Hmmm... (mengubah posisi duduknya)

MUHTAR

Hehe...

Ya cuma kepikiran saja, kang.

KASI DIRASAH

Ya, ya, ya ... (menutup kitabnya)

Agak berat sepertinya ya.

(pause)

Kita ke warung pojok dululah ya, sekalian ngendorkan pikir.

CUT TO:

INT. WARUNG POJOK - MEJA DEPAN PENJAGA WARUNG - NIGHT

Muhtar dan Kasi Dirasah duduk berdampingan menghadap ke penjaga warung.

KASI DIRASAH

(menuangkan kopi ke lepeknya)

Wajar kalau di usiamu ini sudah mikir begitu.

MUHTAR

Iya, kang.

KASI DIRASAH

Kalau saya bukannya tidak mikir ke sana ... ya pasti juga ada pemikiran ke sana.

(pause)

Ya sebentar lagi mungkin. Jatuh cinta?

(menyerupu kopi di lepeknya)

MUHTAR

Njenengan juga ngerasain jatuh cinta begitu, kang?

KASI DIRASAH

Kau sedang suka orang?

DISSOLVE TO:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar