Bunga dan Pena
7. Chapter 7

51. INT. ASRAMA PUTRA - KAMAR MUHTAR - NIGHT

Muhtar segera meraih mejanya, mencari-cari buku saku yang biasa ia pakai untuk hafalan. Ia cari bait 537.

MUHTAR

(berbicara sendiri)

537, 537...

(pause)

537

Matanya tertuju pada bait yang ia dapati. Dahinya mengerut. Air mukanya berubah, ia berusaha keras memahami bait tersebut.

MUHTAR

(membaca)

Fa qod yakunaini munakkiroini. Kama yakunaani mu'arrofaini.

(pause)

'Athof!

Muhtar membuka kitab lain yang lebih tebal. Jari dan matanya beradu cepat menyusuri baris-baris kitab tersebut. Beberapa saat kemudian perlahan ia mulai tersenyum, memalingkan pandangannya dari kitab tersebut. Tawa mulai muncul, ia menutub kitabnya lalu meletakkannya kembali.

Ia bersndar di kursinya, dua telapak tangannya ia letakkan di dagunya. Ia amati para santri sekamar yang telah tertidur. Ia menahan tawa.

MUHTAR

Ya!

Muhtar mengambil secarik kertas, sejenak mengamati pena yang ada di sakunya. Ia mulai menulis sesuatu. Senyumnya tak pernah tenggelam dari wajahnya seraya menulis di atas kertas tersebut.

DISSOLVE TO:

52. INT. KOPERASI - MEJA KASIR - SORE HARI

Umam sedang mempersiapkan barang-barang yang biasa di pesan oleh Bu Nyai. Ia terhenti saat melihat Muhtar memasuki koperasi.

UMAM

Eh, kau Tar.

(memasukkan barang-barang)

MUHTAR

Mam, hari ini biasanya si Naila ambil barang kan?

(nada dan wajah ceria)

UMAM

(mengangguk)

Ini barangnya.

MUHTAR

Oh, ya...ya.

(mengangguk)

UMAM

Tar, jangan aneh-aneh.

(intonasi pelan)

Muhtar tidak terlalu memperhatikan Umam. Muhtar kemudian melihat-lihat keliing koperasi.

MUHTAR (O.S)

Gentengnya sudah bener, Mam?

UMAM

Sudah.

MUHTAR

Sinis kali, kenapa kau?

Tampak naila sedang memasuki koperasi. Di depan meja kasir, naila berdiri dan memandang Muhtar. Begitupun Muhtar menatap wajahnya. Beberapa detik mereka berpandangan, Naila segera menundukkan pandangan dan mengarahkan pandangan ke kasir.

NAILA

Ini daftar barangnya kang.

(menyodorkan kertas)

UMAM

Iya mbak, ini saya sedang siapkan. Sebentar, njih.

NAILA

Iya kang.

Muhtar tampak hanya berputar-putar di dalam pikirannya. Mukanya tampak mengencang, berpikir keras. Tampaknya jantungnya berdetak semakin cepat. Pandangannya hanya terarah pada Naila. Di depannya yang berjarak kurang dari 20 meter, Naila sudah mulai beranjak keluar dari koperasi. Muhtar mengambil nafas cukup dalam dan melangkah mengejar Naila yang sudah selangkah keluar dari koperasi. Dari dalam koperasi ia memanggil Naila.

MUHTAR

Mbak!

(berjalan cepat keluar koperasi)

UMAM

Tar, ngapain!

Muhtar tidak menggubris Umam dan tetap berjalan mengejar Naila.

CUT TO:

53. EXT. KOPERASI - TERAS KOPERASI - MOMENTS LATER

Naila berhenti kemudian mengarahkan pandangannya ke arah koperasi. Muhtar berdiri tepat di depan pintu koperasi yang tertutup. Kemudian Muhtar berjalan pelan mendekat ke Naila. Ia memberanikan diri untuk mempetahankan pandangannya ke arah Naila, sedangkan Naila tetap menundukkan pandangannya.

MUHTAR

Ngapunten, mbak. Njenengan minta saya untuk menuliskan kaligrafi?

NAILA

Ya, saya kemarin sudah sampaikan lewat teman njenengan.

MUHTAR

Iya, dia sudah sampaikan ke saya.

Muhtar mengambil sebuah kertas yang dilipat tidak rapi, menjadi empat bagian lalu mengulurkannya ke Naila.

MUHTAR

Ngapunten, mungkin saya masih kurang paham dengan pesan njenengan.

(pause)

Jadi saya tulis saja di sini.

Naila menerima kertas dari muhtar. Kemudian bermaksud membuka lipatan tersebut. Namun tidak jadi karena ia mendengar Umam memanggil Muhtar dari dalam koperasi.

NAILA

Ya sudah. Mari, kang!

Melihat naila menjauh, Muhtar masih memandanginya tanpa berpindah selangkahpun. Setelah Naila menghilang karena masuk sebuah gang, Muhtar kembali masuk ke koperasi.

CUT TO:

54. INT. KOPERASI - MEJA KASIR - MOMENTS LATER

Muhtar masuk dengan wajah penuh senyum, sementara Umam memandangi Muhtar dengan wajah yang serius.

UMAM

Apa itu tadi?

MUHTAR

La katanya kemarin dia minta kaligrafi,

UMAM

Itu bukan kaligrafi!

(pause)

Aku tau kau, Tar!

(pause)

Begini, apapun itu tadi. Jangan aneh-aneh, Tar!

MUHTAR

Kau sudah bilang itu dari kemarin, untuk hari ini kau sudah ulang ebih dari dua kali.

Mereka berdua terdiam. Muhtar duduk di meja kasir.

MUHTAR

Mam, sebenarnya tidak aneh. Apalagi aneh-aneh.

(pause)

Mam, sebelum Allah menciptakan alam semesta ini, kira-kira yang ia ciptakan pertama kali apa?

UMAM

Mulai aneh beneran, hati-hati Tar.

MUHTAR

Cinta!

(pause)

Sepertinya itu yang pertama kali ia ciptakan.

CUT TO:

55. INT. KANTOR PENGURUS - NIGHT

Kepala keamanan dan Hanif sedang melakukan diskusi ringan. Kadang-kadng mereka juga tertawa bersama.

KEPALA KEAMANAN

Gimana mas, satu bulan di sini?

HANIF

Seperti biasa, ya. Kau kan tau sendiri dulu bagaimana.

KEPALA KEAMANAN

Ya memang berbeda, tapi tidak salah juga kalau beberapa sistem diadopsi ke sini.

HANIF

Memang tidak apa-apa. Dan teman-teman santri juga siap.

KEPALA KEAMANAN

Kalau kita yang ikutin cara main mereka gak akan jadi, mas.

HANIF

Ya kita juga harus adaptasi.

(pause)

Kau juga gak perlu garang-garang juga.

(tersenyum)

KEPALA KEAMANAN

Ya namanya juga karakter, mas

(tertawa)

HANIF

Oh iya, aku jadi ingat salah satu teman kita. Dulu dia sering nangis karena digojloki temannya.

(pause)

Tampilannya lugu, ya terkesan culun lah ya. Kancing kemeja paling atas itu selalu dikancingkan. Potogan rambutnya, ya abri.

Raut muka Kepla Keamanan sedikit berubah, seolah bertanya-tanya. Dahinya mulai mengerut, matanya sedikit memicing.

KEPALA KEAMANAN

Kok gak asing, ya?

HANIF

Sebentar, iya memang tidak asing.

(pause)

Terus, suatu hari ikat pinggangnya hilang.

(pause)

Mungkin karena sangking kreatifnya ya,

KEPALA KEAMANAN

(menyela)

Hop! Sudah tau. Sudah tau tidak usah dilanjutkan.

(tertawa)

DISSOLVE TO:

56. INT. ASRAMA PUTRI - KAMAR NAILA - NIGHT

Naila dan Fatimah duduk berdekatan. Pembicaraannya berlangsung cukup pelan supaya tidak terdengar santri lain yang keluar masuk kamar.

FATIMAH

Beneran?

(kaget)

Sangat berani sekali.

NAILA

Aduh, jangan dibilangkan ke Ibuk lo, Fat!

FATIMAH

Kalau itu dibahas nanti dulu. Sekarang, kok dia bisa kenal njenengan, Mbak?

NAILA

Aku gak tau.

(pause)

Setauku tempo hari waktu dikoperasi dia di sana. Mungkin waktu itu.

FATIMAH

Luar biasa!

NAILA

Luar biasa bagaimana?

FATIMAH

Halah, kalau kata orang pandangan pertama.

(tertawa)

NAILA

Fat!

(pause)

Serius to.

FATIMAH

(berhenti tertawa)

Iya, iya. Oke, ngapunten-ngapunten.

NAILA

Ya nggak usah seperti itu juga, Fat!

FATIMAH

Ya namanya kebiasaan, Mbak!

NAILA

Itukan kalau di sana!

FATIMAH

Yasudah. Kembali ke mas-mas yang nulis kaligrafi. Ganteng?

NAILA

Hmm... Ya ganteng sih.

(tersipu)

FATIMAH

(mendehem - tertawa)

CUT TO:

57. INT. WARUNG POJOK - MEJA DEKAT JENDELA - NIGHT

Muhtar, Jalil dan Fajar berssantai melihat-lihat luar jendela dan kadang bercerita tanpa tema, kadang Muhtar tersenyum saat tidak ada sesuatu yang lucu. Saat mereka kehabisan bahan cerita, Rahmad tampak melintas di depan warung.

JALIL

Tar, katanya si rahmad itu kesemsem sama adikmu.

MUHTAR

Kata siapa?

JALIL

Ya kata Rahmad sendiri, Tar!

MUHTAR

Dia cerita begitu?

JALIL

Iya. Kapan ya?

(pause)

Sudah lama sih. Waktu itu dia datang ke kamar. Oh iya waktu aku jadi pembicara musyawarah. Dia nawarin bantuan, terus ku tanya kenapa repot-repot?

MUHTAR

(menyela)

Minta bantuin lobi?

JALIL

Iya!

(pause)

Mungkin bisa lebih mudah, begitu.

MUHTAR

Ya datang kerumah, to ya.

JALIL

Nah, aku juga bilang begitu ke dia. Katanya, kalau ada dekengan dari kakaknya kan lebih besar peluangnya, gitu!

FAJAR

Lobinya lumayan juga dia, ya.

(pause)

Lobi ke kakaknya, lobi juga ke penciptanya.

JALIL

Oh, gitu?

(menyeruput kopi)

Istiqomah mujahadah?

FAJAR

Bukan istiqomah lagi, kalau ada waktu sepertiga siang itu waktu mustajabah, dia pakai juga kayaknya.

JALIL

Tiap malam?

FAJAR

Tiap malam!

(pause)

Kalau ngigaupun rasaku nama adiknya Muhtar yang dipanggil.

(tertawa)

MUHTAR

Halah!

(pause)

Tapi ngomong hal tadi itu. Sudah waktunya mungkin.

JALIL

Kau juga kesemsem sama orang, Tar?

FAJAR

Kau bisa kesemsem cewek juga, Tar?

MUHTAR

Kalau kesemsem sama kau malah repot, Jar!

FAJAR

Maksudku, ku kira kau paten fokus, madep mantep, ke kitab-kitab terus!

MUHTAR

La Nabi saja minta pendamping terus diberi, perempuan.

JALIL

Beneran, suka sama orang kau? Siapa, eh?

(pause)

Kapan kenalannya?

MUHTAR

Kalau kata Imam Sya'roni,

JALIL

(menyela)

Hop! Referensi lagi? Mau cerita atau buat makalah musyawarah?

MUHTAR

Oke,

(mengubah posisi duduknya)

Bahasa itu dipakai untuk berinteraksi. Kenalan, itu interaksi secara fisik. Tau namanya, rumahnya di mana, orang tuanya siapa.

(pause)

Cinta itu, interaksi hati. Bahasanya juga bahasa cinta.

Kemudian mereka semua terdiam, menunggu Muhar melanjutkan penjelasannya. Tapi suasana malah berubah menjadi sunyi.

JALIL

Ya, terus?

MUHTAR

Ya itu!

FAJAR

Hadeh! Sudah serius kuperhatikan ini, cuma sampai di situ?

MUHTAR

La mau sampai mana?

JALIL

Ya sampai mana, gitu! Namanya, orang mana, atau apalah!

(pause)

Ah! Kadang ngomong sama orang pinter malah sulit.

FAJAR

Iya, Lil. Mending kita-kita ini!

JALIL

Iya! Tapi kalau aku pintar dan merakyat, jadi gak akan sulit kalau diajak ngomong!

FAJAR

Kalau kau pintar, gak akan kau berdiri setiap pelajaran Lil!

JALIL

Ya kan merakyat!

FAJAR

Merakyat apanya? Merakyat itu, kaya Muhtar kemarin!

(pause)

Membela orang yang hampir eyel-eyelan sama Pak Abror!

JALIL

Lo, eyel-eyelanku kemarin sama Pak Abror itu juga usaha membela rakyat. Kesimpulannya, merakyat!

FAJAR

Makanya kalau merakyatpun,

JALIL

Ini kok malah bahas merakyat?

(menyela Jalil)

FAJAR

Ya kau duluan yang mulai!

Muhtar hanya terdiam melihat kedua temannya berdebat. Kadang ia tertawa karena merespon beberapa hal yang meminta konfirmasinya. Di dalam pikirannya masih dipenuhi oleh Naila.

DISSOLVE TO:

58. INT. PERPUSTAKAAN - NIGHT

Muhtar sedang sibuk di mejanya, menulis di sebuah buku catatan. Beberapa kali ia kembali ke kitab-kitabnya. Membuka beberapa halaman lalu kembali ke catatannya. Ia mendengar pintu dibuka, Kasi Dirasah masuk ke perpustakaan dengan membawa beberapa kitab. Muhar tersenyum kepada Kasi Dirasah. Kitab-kitab tersebut diletakkan di atas mejanya.

KASI DIRASAH

Ini beberapa kitab yang kemarin dirasa bisa dijadikan referensi tambahan.

MUHTAR

Sudah diberi makna, kang?

KASI DIRASAH

(sedikit cengengesan)

Kalau itu masih dijadikan tugas kita, Tar!

MUHTAR

(melonggarkan pecinya)

Oke... Siap! Sampai tampangnya jadi mirip kaligrafi.

(tertawa)

KASI DIRASAH

Wih! Naskhi atau kufi?

MUHTAR

Nafsi kang.

Mereka berdua tertawa karena lelucon yang disampaikan oleh Muhtar. Kasi Dirasah kemudian mengambil salah satu kitab lalu duduk di kursinya.

KASI DIRASAH

Ya paling tidak ini juga bisa jadi percobaan.

MUHTAR

Maksudnya kang?

KASI DIRASAH

Kalau akhir tahun, Dzulhijjah, nanti materinya sudah tersusun dan memenuhi standar, ini bisa dijadikan salah satu program unggulan dirasah.

MUHTAR

Dijadikan kurikulum?

KASI DIRASAH

Bisa dikatakan begitu, cuma seperti apa teknisnya masih dipertimbangkan.

(mulai membuka kitabnya)

Mereka berdua terdiam dan fokus ke kitab mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, terdengar pintu diketuk oleh seseorang. Muhtar beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah pintu untuk membukakannya. Ia lihat Umam berdiri di depan pintu tersebut.

UMAM

Tar! Wah, gila kau!

MUHTAR

Kenapa Mam?

UMAM

Naila! Kemarin itu surat apa?

MUHTAR

Mam!

(menggelengkan kepala ke arah dalam perpustakaan)

Muhtar menutup pintu perpustakaan lalu mengajak Umam untuk berdiri agak jauh dari pintu perpustakaan.

UMAM

(dengan suara yang lebih pelan)

Begini Tar, ini serius jangan aneh-aneh.

(mengambil amplop di sakunya)

Kalau sampai pengurus tau,

MUHTAR

Apa itu?

(mengambil amplopnya)

UMAM

Naila! Dari dia.

MUHTAR

Kalau pengurus tau, palingan diapakan sih?

(pause)

Paling banter dibotak, push-up.

(pause)

Ya memang bisa dikeluarkan, sih.

(pause)

Tapi itu bisa diuruslah! Yasudah, aku masuk dulu. Terimakasih sekali,

(mengangkat amplopnya)

Nanti bisa dibahas lagi.

CUT TO:

59. INT. ASRAMA PUTRA - KAMAR MUHTAR - NIGHT

Di sudut kamarnya, Muhtar beberapa kali membaca kertas yang baru saja ia terima dari Umam. Di kertas tersebut tertulis kalimat yang tidak panjang - Sore tempo hari, aku tak punya cukup kata untuk berbicara. Apalagi keberanian. Mungkin keberanianku bisa segera terbangun.

Muhtar meletakkan kertas tersebut, ia tersenyum tapi juga masih menyimpan tanya di pikirannya, dahinya mengerut. Berusaha menerka jawabannya.

Diambilnya secarik kertas dan mulai menulis.

MUHTAR (V.O)

Sore itu memang cerah sekali, aku sedikit lupa. Aku juga tak ingat waktu itu pukul berapa. Yang aku ingat, waktu itu kupinjam sayap hud-hud supaya sampai beberapa kata. Kau boleh meminjamnya. Seperti yang mereka lakukan dulu kala.

CUT TO:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar