Bunga dan Pena
1. Chapter 1

FADE IN.

INT. SERAMBI MASJID – SELEPAS MAGHRIB

Seluruh santri sedang khusu’ berdoa bersama, membaca salawat Nariyah. Tampak Pak Kyai (55) berada di kursinya, sebuah kursi kayu berlapis sofa, menghadap seluruh santri. Sambil mengamati santri-santrinya, mulut beliau komat-kamit melafalkan dengan cepat seolah itu sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Kemudian beliau mengusap wajahnya, seperti orang yang telah selesai berdo'a, lalu mendekatkan mik yang dari tadi ia pegang di tangan kirinya.

KYAI

Al-fatihah...

PARA SANTRI

(membaca surat al-fatihah, komat-kamit)

KYAI

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Santriku semuanya, saya tidak akan bosan mengingatkan kepada semuanya. Sama-sama, ayo belajarnya disregepi, ngajinya diistiqomahi, hafalannya, amalannya, mujahadahnya. Diniatkan yang baik-baik, minta ridhonya Allah supaya nantinya ilmunya bisa manfaat.

PARA SANTRI

Amin... (lirih)

CUT TO:

INT. KAMAR SANTRI PUTRA – MALAM HARI

Tampak Jalil sedang serius membaca kitab dan membuat beberapa catatan. Sesekali ia mengelus keningnya yang mengerut karena berpikir cukup keras. Di mejanya tergeletak macam-macam kitab klasik berbahasa arab dan terjemahan. Di jam-jam setelah isya' kamarnya memang selalu sunyi, setiap santri punya kesibukan masing-masing, mulai dari mencuci, mengulang hafalan di serambi masjid, melangsungkan musyawarah, hingga hanya ngopi-ngopi di warung. suasana kamar yang sunyi dimanfaatkan oleh Jalil untuk mempersiapkan dirinya. Tapi kesunyian itu tak berlangsung terlalu lama, salah satu temannya, Fajar, masuk ke kamar Jalil.

FAJAR

(O.S) Assalamualaikum!

JALIL

Waalaikumussalam! (masih fokus dengan catatannya)

FAJAR

Eh ada orang? (berjalan ke arah Jalil)

Edan! Mujtahid kita yang satu ini. (pause)

Luar biasa!

JALIL

(Tidak memberi respon)

FAJAR

Muhtar ke mana?

JALIL

Entah, di masjid mungkin. Dari tadi belum masuk kamar.

FAJAR

Ya, mungkin dia tau kalau mau dieksploitasi.(mengambil dan membuka buku-buku di meja)

JALIL

Mengajarkan ilmu yang sudah dia pahami, bukan eksploitasi.

FAJAR

Ya makannya, dikasih suguhan. Jangan Malaikatan!

JALIL

Aku paham kalau soal itu. Kalau ini kelar, kubayari ke warung pojok!

FAJAR

Paham-paham!

JALIL

Eh, Jar... (menoleh ke Fajar)

FAJAR

Hemm... (tetap melihat ke buku)

JALIL

Sehari aku nggak keluar kamar, sehari aku lupa sama nasi.

FAJAR

Hop! Hop! (menggerakkan tangannya)

JALIL

Gini, intuisiku mengatakan kalau Muhtar di warung pojok. Kalau kesana gak bawa duit, ya minimal pesen apalah, kok kurang pas. (pause) Tadi katanya jangan mengeksploitasi.

FAJAR

Hadeh... (meletakkan buku yang baru dipegangnya)

CUT TO:

INT. DI WARUNG POJOK – MEJA DEKAT JENDELA - MALAM HARI

Muhtar sedang menikmati kopi, masih memakai sarung lengkap dengan peci, menonton pertandingan bola. Tiba-tiba jalil meletakkan buku di sampingnya. Muhtar melihat ke arah Jalil dan menghela nafas. Jalil dan Fajar lalu duduk semeja dengan Muhtar.

JALIL

Kopimu tinggal ampas, Tar. Tapi tenang.

(ke pegawai warung) Kang, kopinya lagi! Dua ya!

FAJAR

Tiga!

JALIL

Oh iya, tiga kang!

(kemudian berbicara ke Muhtar) Udah makan belum? Makan, makan. Tenang!

MUHTAR

(menggeleng) Hadeh, kopi saja. (pause) Tidak boleh menyulitkan orang lain.

JALIL

Nah itu benar! Jangan mempersulit orang lain, tapi tolong menolonglah kamu! (pause) Dan ngomong-ngomong soal tolong menolong. (menunjukkan kitab yang ia bawa)

MUHTAR

Langsung saja dibuka! Yang mana?

JALIL

Gini, jadi kemarin kaukan sudah kasih beberapa tanda, mana-mana saja yang harus dipelajari. Tadi, dengan segala daya dan upaya, kucoba baca dan harokati. Ini hasilnya, (pause) ya beberapa sudah kuterjemahkan juga. (memberikan buku ke muhtar)

MUHTAR

(melihat ke halaman yang disodorkan)

Wah... ini kelihatannya...

JALIL

Ya mungkin ada beberapa yang belum pas, Tar. Sepertinya begitu.

MUHTAR

Beberapa dan beberapa kalau ini Lil.

FAJAR

Tenag, malam masih panjang. (pause) Majlisnya juga masih lusa.

JALIL

(menghela nafas) Oke! Mulai dari mana dulu ini?

MUHTAR

Ini majhul, Lil. (menunjuk ke salah satu kata pada kitab)

Jadi 'ulima min dzalika, diketahuinya keadaan dari barang itu.

JALIL :

'ulima min dzalika... (memperbaiki tulisannya)

(pause - kopi datang) Makasih, kang!

MUHTAR

Yang ini ma'thuf, Lil. Inikan ada huruf 'athofnya, au. Jadi “rof’i hadatsi 'au' izalati najasi.

FAJAR

(ke arah TV yang menyiarkan pertandingan sepak bola)

Ini dia! Zidane! Sodara-sodara...(pause) Iyap, jos! Masuk!

Muhtar dan Jalil melirik ke arah Fajar. Tapi Fajar tak mempedulikan keadaan sekkeliling. Fajar sampai menaikkan salah satu kakinya ke tempat duduknya sembari mengangkat sarungnya, dan memukul-mukul meja.

JALIL

Woi, Jar! Harfu 'athof!

FAJAR

Eh... hehe maaf-maaf.

JALIL

Hadeh, sampai mana tadi?

(ke muhtar)

CUT TO:

INT. RUANG RAPAT PENGURUS PUTRA – SIANG HARI

Para Kasi Pengurus pesantren duduk melingkar. Mengajukan laporan bulanan dan program lanjutan. Mulai dari kasi Dirasah, keamanan, kesehatan, bendahara, dan lurah pesantren. Masing-masing dari mereka terlihat menyibukkan diri dengan buku catatan yang berada di tangan mereka.

LURAH PESANTREN

Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh! langsung saja, kang. Ada perkembangan apa, dan kalau memang ada yang perlu diberi perhatian khusus, kita bisa carikan solusinya sama-sama. Ya, seperti biasalah. Monggo! Dimulai dari Kasi...

KEPALA KEAMANAN

Sepertinya Kasi Dirasah sudah siap untuk laporan duluan..

LURAH PESANTREN

Ya, boleh silahkan! Dirasah dulu.

KASI DIRASAH

(merapikan pecinya yang agak miring)

Begini, kalau dari Dirasah sendiri secara keseluruhan program pendidikan berjalan dengan baik. Tapi kalau capaian dari tiap-tiap individu memang masih bisa dioptimalkan lagi.

LURAH PESANTREN

Ya, kemudian?

KASI DIRASAH

Kami dari Dirasah bermaksud mengajukan program baru, yang tentunya masih dalam proses pematangan. Yaitu program pembukuan dan penerbitan hasil musyawarah santri, begitu.

LURAH PESANTREN

Oh seperti itu...

KASI DIRASAH

Iya, kang. Jadi nanti selain bisa dibaca kalangan yang lebih luas, musyawarah tidak akan berbicara kasus itu-itu saja.

LURAH PESANTREN

Ya, kalau memang sumber dayanya ada dan bisa menangani itu, monggo.

KASI DIRASAH

Iya kang. Nanti akan kami matangkan lagi.

LURAH PESANTREN

Kemudian untuk bagian keamanan, bagaimana?

KEPALA KEAMANAN

Kalau dari bagian keamanan, beberapa minggu terakhir mendapati santri-santri yang menyimpan foto beberapa santri putri (menunjukkan beberapa photo)

Mereka semua sudah ditindak lanjuti. Yang masih belum ditemukan, dari mana mereka dapat photo-photo tersebut. Ada juga Beberapa surat, antara santri putra dan putri, yang kami sudah proses. Saya rasa itu. Kalau pelanggaran-pelanggaran yang wajar, masih terkendali seperti biasa.

LURAH PESANTREN

Oh iya kang, saya dengar njenengan pakai hukuman baru.

KEPALA KEAMANAN

Ya, memang beberapa santri yang tertangkap menyimpan photo santriwati kemarin saya suruh push-up beberapa kali.

LURAH PESANTREN

Oh begitu. Ya, ya... (pause)

Untuk hukuman, saya wanti-wanti jangan terlalu ke fisik. Takutnya ada yang tidak kuat atau ada penyakit tertentu, begitu.

KEPALA KEAMANAN

Iya kang, kalau yang push-up kemarin saya akan pastikan tidak keterlaluan.

CUT TO:

INT. RUANG KELAS – SIANG HARI

Para santri sedang sibuk njrendeli (memberi makna pegon) kitab mereka dengan mendengarkan mustahiq mereka, Pak Abror (35). Di dalam kelas tersebut berisi tidak terlalu banyak santri sehingga tidak sulit untuk mengenali setiap orang. Para santri tampak serius memberi makna pada kitab mereka, beberapa dari mereka bahkan tampak mendekatkan mata mereka ke kitab yang mereka sedang maknai. Namun di sudut paling belakang, Fajar sedang tidur di atas kitabnya. Muhtar yang duduk disebelahnya membiarkan temannya tidur karena ia sudah paham watak temannya itu.

PAK ABROR

Wa tajibu lan wajib, az zakatu opo zakat, fil ibili ing dalem unto, wal baqori lan sapi, wal ghonami lan wedus. (pause - melihat ke arah para santri)

Jadi yang wajib dizakati diantaranya sapi, unta, kambing... (melihat ke arah Fajar lalu ke Muhtar)

Kang, temannya tolong dibangunkan!

Muhtar membangunkan Fajar. Ia sempat terbangun sebentar, melihat ke depan. Ia mendapati Pak Abror menulis di papan tulis. Fajar kembali menyandarkan kepalanya ke meja, setelah menutup kitab yang tadi ia pakai untuk alas kepalanya. Lalu kembali tidur.

MUHTAR

Jar, oi... bangun! Tidur terus.

Pak Abror telah selesai menulis di papan, ia kembali duduk ditempatnya. Ia lihat Fajar masih tertidur. Senyum tipis tampak terbit dari wajahnya, sambil menunjuk ke arah Fajar. Ia kemudian menginstruksikan Muhtar untuk membangunkan temannya.

PAK ABROR

Kang, temanmu yang itu tolong dibangunkan. Kasihan kalau ketinggalan.

MUHTAR

Iya pak.

Muhtar membangunkan fajar. Kali ini ia menepuk Fajar dengan buku catatannya. Karena tak ada respon yang berarti, Muhtar memperkuat tepukannya sampai suaranya terdengar ke seisi kelas. Fajar terbangun, lalu melihat pada muhtar yang menunjuk ke depan. Fajar mendapati Pak Abror yang tersenyum melihat ke arahnya.

PAK ABROR

Kang fajar, qiyamul lailnya sampai subuh, ya?

Fajar hanya mengusap mukanya dan terdiam. Matanya agak merah karena saking lamanya ia tidur. Ia memilih untuk meraih kitab yang ada di sudut mejanya dan mulai membolak-balik tiap lembar dari kitabnya itu.

PAK ABROR

Kalau qiyamul lail, saran saya jangan terlalu lama kang. Jadi wali itu kadang ya repot lo.

(sambil tertawa kecil)

FAJAR

(tersenyum sedikit cengengesan ke arah Pak Abror)

Iya pak, hehe..

PAK ABROR

Ini berhubung beberapa temanmu sepertinya ada yang ketinggalan saat maknai tadi, besuk jrendelanmu dibacakan ya. Biar yang ketinggalan bisa nembel.

FAJAR

Eh? Ngapunten, pak...

PAK ABROR

Ah, iya. Mesti bisa to ya. Biasanya kalau qiyamul lailnya mempeng itu, laduni.

FAJAR

(melihat ke arah Muhtar)

Aduh! Mati, Tar!

CUT TO:

INT. WARUNG POJOK – MEJA DEKAT JENDELA - MALAM HARI

Seperti biasa, warung pojok tidak terlalu ramai. Fajar dan jalil duduk berdampingan fokus menghadap kitabnya masing-masing, kadang mereka membuka catatanny dan menuliskan beberapa poin yang dianggap penting ke buku catatan mereka. Muhtar di depan mereka, mendengarkan dan mengoreksi jrendelan dari masing-masing mereka. Tidak jarang juga terjadi interupsi dari Fajar saat Muhtar sedang menerangkan beberapa poin kepada Jalil, ataupun sebaliknya.

PENJAGA WARUNG (O.S)

Sudah pantas jadi mustahiq kau, Tar!

(tertawa)

MUHTAR

Mustahiq karbitan kang! Hadeh, punya teman kok kaya gini to ya. Gak jelas semua.

JALIL

(berhenti menulis)

Wah, seharusnya kau bersyukur Tar. Kau mengajari calon mujtahid. Beh! Mujtahid! Kau bayangkan itu. Jariyahnya lo...!

MUHTAR

Iya biar aku saja yang membayangkan! Kau lengkapi saja terjemahanmu.

FAJAR

Ibili tadi apa?

(tanpa mengalihkan pandangan dari kitabnya)

MUHTAR

Ya tuhan! Unta, kang Fajar! Baqorun sapi, ghonamun kambing!

(melepas peci dan menggaruk kepala)

FAJAR

(masih terus melihat kitabnya)

 oh, ya, ya, ya...

MUHTAR

Ealah, kopinya juga sudah habis.

(menyeruput ampas kopi)

DISSOLVE TO:

EXT. LAPANGAN VOLI SABELAH ASRAMA – SORE HARI

Beberapa santri sedang bertanding voli. Gelak tawa juga ikut tumpah ruah mengisi lapangan pertandingan menyambut tiap poin yang muncul dari kedua tim. Jalil, Muhtar, dan Fajar berada dalam satu tim. Jalil bersiap melakukan serve.

JALIL

23 : 21! Siap-siap, liwetan nanti malam!

Dari kejauhan jalil melihat kalau pak kyai berjalan mendekati lapangan. Tim jallil yang mengetahui kalau pak kyai mendekat terdiam dan menundukan pandangan. Sementara lawan mereka yang menyusul sadar kalau pak kyai ada di belakang mereka segera menundukkan pandangan dan menunggu dawuh. Jalil memanfaatkan kesempatan untuk melakukan serve sebelum Pak Kyai sampai ke pinggir lapangan. Dengan upaya tersebut tim Jalil berhasil mencetak angka.

Pak Kyai berdiri di samping lapangan.

PAK KYAI

Kang, ada yang bisa benerin mesin pompa air?

FAJAR

Ngapunten, saya saget, Yai.

PAK KYAI

Saya minta tolong kalau nanti sudah selesai, ke rumah benerin mesin pompa saya ya, kang.

FAJAR

Injih, saya nanti langsung ke ndalem njenengan.

PAK KYAI

Terimakasih ya, kang.

Pak kyai berjalan menjauhi lapangan voli. Tampak air muka Jalil dan timnya menahan tawa. Setiap mereka menunggu waktu untuk meluapkan kegembiraan dari jerih payah Jalil.

JALIL

(berteriak)

Masuk! 24:21! Yeehaa! Liwetan!

Tim lawan hanya menggeleng lalu salah satu teman mereka - Umam - membalas teriakan jalil. Mereka semua sadar bahwa tindakan Jalil adalah kekonyolan yang berhasil, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

UMAM

(menggeleng dan tertawa)

Jalil! Woi, su'ul adab, Kau!

DISSOLVE TO:

EXT. ASRAMA PUTRA - DI TERAS KAMAR – MALAM HARI

Umam sedang memasak lauk pauk dan memasukkan beberapa kayu ke tungku. Jalil dan teman-temannya duduk di teras asrama, menunggu masakan dari lawan voli mereka matang. Kadang Jalil dan Fajar tertawa melihat Umam memicingkan mata karena terkena asap meniup bara dari kayu yang ada di tungku, berusaha menjaga nyala api. Muhtar yang berada di dekat mereka sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri, berusaha menambah hafalan dari kitab saku yang selalu ia bawa.

FAJAR

Lil, emang pak kyai punya anak perempuan?

JALIL

Setahuku ya Ning Salma itu.

FAJAR

Kalau Ning Salma aku tau, Lil. Selain Ning Salma ada?

JALIL

Anak-anak beliau itu ya Ning Salma, gus Qodir sama satu orang lagi masih belum selesai nyantrinya.

FAJAR

Oh. Tadi waktu...

JALIL

Emang tadi ada perempuan? Gimana cantik?

MUHTAR

(mendekat)

Siapa yang cantik?

JALIL

Eh, tar! Makruh tar, khusus buat kau makruh. Hilang hafalanmu nanti.

MUHTAR

Eh! Siapa yang tau? Bisa saja dia tertarik denganku!

Umam berjalan ke arah mereka membawa dandang ukuran sedang berisi nasi. ditaruhnya di teras, kemudian kembali untuk mematikan api dan mengambil sepiring tempe dan beberapa lalapan.

UMAM

Matang bos-bosku! Makan-makan, kita.

JALIL

Masak apa bosku?

UMAM

Sambel tempe sama lalapan! Mantap ni! warung pojok lewat dulu!

FAJAR

Air mana air!

(berdiri lalu masuk ke kamar)

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar