Disukai
0
Dilihat
77
Rasa Jakarta
Puisi

Pada suatu waktu pandemi, Jakarta sepi. Sudut wajahnya pucat pasi. Tidak ada yang senang meski mungkin itu dari doa-doa serapah saat disiksa macet. Sepi selain Idulfitri Jakarta menunjukan ngeri.

Jakarta semakin mempertanyakan diri. Benarkah ia milik orang-orang Betawi yang kemudian terpinggirkan, melipir dan pergi? Ia selalu ingin jadi ibu kandung bagi anak rantau, tak peduli dipanggil ibu tiri. Ia ibu kota uang sekaligus borok kemiskinan dan keserakahan. Ia diajak pesta mereka yang gegap gempita juga yang paling kesepian. Ia diapit di antara orang-orang tercinta dan orang-orang terkejam.

Jakarta sadar ia tempat bagi orang-orang gila yang pura-pura tidak gila. Ia rumah jiwa-jiwa yang rajin direnggut sibuk. Orang-orang banyak terbahak tetapi mata mereka seperti tersedak. Terlalu lelah, sedih, sesak.

Jakarta tahu ia tembok ratapan yang dicaci dan dihina sekaligus dipuja dan diagungkan. Ia coretan grafiti-grafiti juga umpatan-umpatan di jalanan raya sampai jalan-jalan tikus tersembunyi. Semua bisa bilang bangsat tetapi enggan minggat. Banyak bosan lagi-lagi kembali meski pernah mencoba menendang diri menjauh.

Jakarta milik semua yang sama dengan bukan milik siapa-siapa. Sebab suka dan luka bergantian membangun kemegahan sekaligus kekikukannya. Sebab siang dan malam yang menyaksikan segala polusi: polusi udara; polusi suara; polusi polisi. Sebab ia ibu, yang dibutuhkan tetapi juga selalu ingin didurhakai anak-anaknya. Sebab ia bapak, yang antara ada dan tiada. Sebab ia surga sekaligus neraka. Sebab ia terlalu kontradiktif sehingga tidak habis dicintai dan dibenci dan ditulis dan difoto.

Jakarta pantas sebagai kenyataan paling fiksi dan nostalgia yang selalu baru dan biru karena ketidaksempurnaannya yang sempurna. Ia indah meski sakit. 

Jakarta adalah perasaan.

Suka
Favorit
Bagikan