Novel
Genre → Sejarah
"DEWAGADIS"
Oleh Helluva
Mulai membaca
Berlangsung
Gratis untuk dibaca
Blurb
Membicarakan fiksi etnisitas khususnya Tionghoa, tentu kita akan sedikit kesulitan menemukan novel atau buku-buku fiksi yang bermain-main di wilayah ini.

Meski Ariel Heryanto menyatakan; sejak 1998 kita telah melihat "suatu kebangkitan dramatis" (a dramatic emergence) karya-karya tentang ketionghoaan yang mengisi suatu kekosongan yang telah lama tercipta di masa Orde Baru, namun selera pasar tetap lebih berpihak pada fiksi etnisitas mayor (agama mayoritas).

Ledakan kecil genre ini bisa dikatakan berawal dari tragedi mei 1998. Pamela Allen (2003: 394; 2004: 109) seorang peneliti sastra Tionghoa Indonesia asal Australia menuliskan "Tragedi Mei telah menjadi suatu landasan dari banyak tulisan tentang identitas Tionghoa sejak jatuhnya Suharto"

Sang pelopor yang menulis cerita berkenaan dengan Tragedi Mei adalah Seno Gumira Ajidarma.

Hanya selang satu bulan setelah Tragedi Mei, Seno menulis cerita pendek bertajuk Clara atawa Wanita yang Diperkosa (tertanggal 26 Juni 1998), dengan sebuah cuplikan percakapan yang cukup menohok di dalam cerita tersebut;

"Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa? Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu? Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit
dibuktikan. Salah-salah kamu dianggap menyebarkan fitnah."

Bahkan sang oknum polisi tersebutpun berkata dalam hati

"Rasanya aku juga ingin memperkosanya." (h. 111)

===

Letupan kecil dari SGA disambut dan kembali ditebali oleh V. Lestari dengan novelnya yang bertajuk "Ketika Barongsai Menari" (2000). Lestari menyampaikan sikap politisnya di dalam novel ini dengan sangat tegas, seperti dalam dua cuplikan ini sebagai contoh;

"Sebagian besar korban (Tragedi Mei) adalah orang Tionghoa atau orang Indonesia keturunan Cina. Jelasnya kerusuhan itu bermotifkan rasialisme. Serangan ditujukan secara khusus kepada kelompok etnis tertentu. Dalam hal ini Tionghoa. Tragedi luar biasa itu menimbulkan kegemparan di seluruh dunia" (Lestari, 2000: 17)

"Habis kita [orang Tionghoa] memang tidak pernah dianggap sebangsa. Kalau ada kerusuhan rasial yang disalahkan selalu kita. Katanya ekslusif lah, nggak mau gaul lah, suka menyuap pejabat lah, ini-itu lah. Habis gimana, coba? Gimana mau gaul kalau kita nggak diterima. Kita kan minoritas, Kris. Rasa takut pasti ada. Itu sebabnya kita lebih suka tinggal berkelompok. Supaya punya teman. Supaya lebih kuat. Rasanya itu wajar. Di mana-mana kaum pendatang juga begitu. Kenapa cuma kita yang disalahkan ya, Kris?" (Lestari, 2000: 39).

Penulis-penulis Tionghoa yang mengacu pada tragedi mei terus bermunculan, meski tidak terlalu pesat. S. Mara GD, dengan bukunya yang bertajuk "Air Mata Saudaraku" (2004). Lalu penulis senior Marga T (Tjoa) yang berfokus pada tragedi mei dalam jilid ke tiga bukunya yang berjudul "Sekuntum Nozomi" (2006). Dan seterusnya, tentunya (sekali lagi) tidak berkembang dengan pesat.

Dari keadaan ini, meski hanya seorang pemula dalam bidang kepenulisan, saya ingin mencoba ikut andil dalam merayakan fiksi etnisitas (Tionghoa). Dan setidaknya memberi pilihan sudut pandang selain berhulu pada Tragedi Mei.

Semoga saja langkah kecil ini bisa dinikmati, sukur-sukur juga dimaknai dengan baik.
Amin.

Helluva, -
Tokoh Utama
DEWA
DASAM
WANTI
Kamu harus masuk terlebih dahulu untuk mengirimkan ulasan, Masuk
Belum ada Ulasan
Disukai
1
Dibaca
165
Tentang Penulis
Helluva
"Pemimpi yang susah tidur."
Bergabung sejak 2020-09-18
Telah diikuti oleh 62 pengguna
Sudah memublikasikan 24 karya
Menulis lebih dari 5,171 kata pada novel
Rekomendasi dari Sejarah
Rekomendasi