Belakangan kamu menyadari sesuatu, kamu mencintainya.
Kamu, entah untuk kali ke berapa berkata padaku, tentangnya, yang telah kau kenal, lebih dari separuh hidupmu. Menertawai bagaimana caranya menghabiskan semangkuk mie rebus—barangkali biasa saja untuk orang kebanyakan. Tersenyum, mengenang bagaimana dia menanggapi trending Twitter. Bersedih, saat sakit. Terluka, saat dia disakiti orang lain.
Malam ini, kembali kamu menceritakan tentang dia. Dia yang acap membuatmu gelisah saat kamu sebut namanya. Dia yang selalu membuatmu patah tiap kali kamu bercerita tentangnya. Aku bingung, sungguh bingung terhadapmu yang bersikap padanya.
Kamu bilang, dia tidak terlihat bahagia.
Kutanya, "Kenapa?"
Kamu menggeleng.
Ya, lebih baik begitu. Aku tahu, seseorang sepertimu tak butuh pertanyaan macam itu, apalagi sebuah petuah. Kamu yang bilang, bukan, kalau seseorang datang pada seseorang lainnya hanya untuk cerita, dan bukan untuk meminta saran. Barangkali seseorang itu datang meminta saran, tapi kamu bilang, saran dari seseorang yang didatangi seseorang itu bukan tidak mungkin tidak dipakai. Ah, bicaramu seringnya bikin aku pusing. Kenapa tidak seperti orang kebanyakan saja?
Aku menunggu, kamu tidak jua melanjutkan cerita, bagaimana pertemuanmu dengan dia kali terakhir. Aku menyesap habis minumanku. Kamu membiarkan minumanmu begitu saja. Aku ingin protes sebenarnya, kamu selalu memarahiku jika aku tidak menghabiskan minuman atau makanan yang kubeli. Tapi, ya ... kurasa kamu hanya sedang bingung. Ada pengecualian untuk orang-orang bingung, mungkin.
Malam bergulir, aku makin melihat rautmu kian gelisah. Kamu ingin bicara, bukan? Bukan kepadaku, tentu saja. Kamu ingin bicara kepadanya bahwa, "Aku mencintaimu." Ya ... "Aku mencintamu," ingin juga kukatakan begitu, padamu.[]