Mari kita panggil dia Imo.
Imo adalah anak yang sangat berambisi menjadi seorang penulis hebat suatu saat nanti. Penulis yang menginspirasi banyak orang seperti sepuh pujaannya.
Imo tahu, dirinya masih pemula. Dan tulisannya tidak sebagus penulis-penulis sepuh yang ia kagumi. Apalagi ceritanya yang… ah, sudahlah.
Tidak bermakna.
Tapi karena Imo adalah anak yang pantang menyerah.
Imo berusaha.
Berusaha membawa mimpinya ke dunia nyata.
Dan demi kepentingan tersebut, Imo berjuang semaksimal mungkin.
Mulai dari merelakan waktu bermainnya untuk menulis. Merapikan ejaan yang mengejek. Menggunakan kata-kata dengan baik dan benar. Memindahkan tanda baca yang salah duduk. Sampai selalu meyakinkan diri setiap kali melihat pantulan dirinya di cermin, kaca, atau air yang menggenang.
“Kamu hebat, tulisan dan ceritamu bagus,” ucap Imo, di suatu siang yang terik, di depan akuarium kecil, sambil menunjuk dan mengelus-elus bayangannya di kaca akuarium, “kamu hebat.”
Imo anak yang pantang menyerah.
Tidak akan berhenti sampai mimpinya terwujud.
Namun suatu hari, di cuaca mendung tidak hujan. Di kamar yang sengaja diberi penerangan minim. Imo terkena penyakit dadakan. Penyakit yang gemar menyerang para penulis.
Kebuntuan.
Ketik satu huruf, hapus.
Ketik satu kata, hapus.
Ketik satu kalimat, hapus!
Sungguh siklus yang menguras hati.
Tarik napas, keluarkan pelan-pelan. Imo mulai menggerutu frustasi. Lembar kerja menulisnya masih kosong. Begitu juga dengan otaknya. Kosong....
Tanpa ide. Tanpa inspirasi.
Menengadahkan kepala. Menatap langit-langit. Imo merosot dari kursi. Terkapar tidak berdaya di lantai.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit.
Imo menyadari sesuatu.
Sesuatu yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit kebuntuan.
Asupan para sepuh.
Bangkit dari posisi terkapar, Imo meraih gawainya. Membuka jejaring sosial yang menampung tulisan para penulis. Geser. Geser. Geser. Sebuah judul memikat hati. Ditekannya judul karya tersebut. Tampilan layar berubah. Kalimat-kalimat menyilaukan muncul menusuk mata. Imo menurunkan kecerahan layar gawainya.
Beberapa menit berlalu. Sesi membaca telah selesai. Sekarang Imo sedang terenyuh di tempat. Menyadari betapa indahnya karya yang ia baca.
Tak sanggup menahan luapan hati. Imo meletakkan kembali gawainya ke tempat semula. Melipat tangan di atas meja. Menelungkupkan kepala ke atas tangan. Imo bergumam pelan, “Pengin berhenti nulis.” Hati Imo meringis, mengingat tulisan dan cerita yang pernah ia buat.
Sekarang Imo terserang depresi.
Imo yang malang.
Niat hati mencari ilham, namun apa daya garam yang didapat.
Tapi tak apa.
Tak perlu khawatir apalagi risau.
Karena Imo adalah anak yang pantang menyerah.
Dia akan bangkit dua hari lagi.
Bisa lebih cepat, bisa lebih lambat.
Tergantung situasi dan kondisi.