“Neeeem ....”
“Ya Nyah ….”
“Kalo nyuci yang bener!"
Bugh!
Aku hampir jatuh karena lemparan ember.
***
“Inem!”
“Ya Nyah ….”
“Kamu beli udangnya di mana sih, kok ga seger!”
Prang!
Pecahan piring berserakan. Sepertinya sebagian mengenai kakiku.
***
“Mulai main mata sama tukang kebun sebelah? Dasar kampungan!”
“Neem …!”
“Inem!”
“I-iya Nyah …”
“Sini kamu!! Makanya kalo dipanggil tuh cepetan, lama amat! Lelet … kamu ini …. Hu hu hu hu ….”
Kusodorkan sehelai tisu padanya. Bahunya terguncang-guncang. Aku hanya berdiri memandanginya, tak tahu harus berbuat apa.
Di tangannya kulihat layar ponsel menayangkan kabar terbaru hari ini. Kabar seorang dai yang baru saja menikahi istri ketiganya.
Aku beringsut mengambil gagang sapu dan beranjak ke ruang tamu. Di sana tepat di atas sofa besar berlapis kulit cokelat, terpampang foto si dai kondang bersama istri pertama dan ketiga anak mereka.
"Neeem ..."
Sekarang aku harus bersiap menghadapi lebih banyak makian dan cacian darinya. Tak apa.