Gadis itu membuka pintu apartemennya. Dilihatnya ada sebuah kartu nama terselip di bawah pintu. Dengan tak percaya dibacanya tulisan di kartu nama itu, tertera nama seorang dokter spesialis tulang dengan deretan gelar di belakangnya.
Kebetulan sekali! Pikirnya, hari ini sudah lima kali neneknya menelepon, mengeluhkan tulangnya yang sakit. Diberanikan dirinya memencet nomor dokter itu. Setelah menunggu beberapa saat, teleponnya dijawab. Terdengar nada yang antusias menjawabnya. Gadis itu menceritakan keluhan sang nenek, dan betapa terganggunya dia dengan keluhan itu. Ia mengakhiri pembicaraan setelah si dokter berjanji akan berkunjung ke rumah neneknya.
Pada hari yang telah ditentukan, dokter berperawakan tinggi kurus memakai setelan jas lusuh dan topi flanel nyaris menaungi matanya. Tangan kirinya menenteng tas kulit, tangan kanannya menggenggam pengait tumpul dari stainless, sesekali ujungnya dimasukkan ke sela bibirnya.
Dokter itu mengetuk pintu rumah, seketika dibuka oleh nenek yang dari tadi sudah menunggu. Di ruang tamu dia meminta nenek menceritakan keluhannya.
Menggebu-gebu nenek bercerita mengenai sakit tulangnya. Setengah jam si dokter mendengar keluhan tentang sakit tulang si nenek.
"Baiklah Ibu, saya ahli dalam menangani hal ini, dapat dikatakan tidak ada yang melebihi kemampuan saya. Apakah Ibu sungguh terganggu dengan tulang ibu ini?" tanya Dokter.
"Sangat Dokter, aku sudah berobat ke mana-mana, tidak ada yang berhasil membereskannya. Aku sungguh berharap dokter bisa melenyapkan gangguan tulang ini selamanya. Tentang biaya...."
"Tidak perlu pikirkan biayanya, Ibu cukup menandatangani ini,"
Dokter itu mengeluarkan secarik kertas yang warnanya sudah menguning dengan tulisan tercetak miring dari dalam tasnya. Tidak sabar ingin segera diobati, nenek melupakan kacamatanya, dia melirik sekilas tulisan di kertas, samar-samar ia membaca.
PERYATAAN TERTULIS
...kesediaan
tulang....
Hari...
Tanpa pikir panjang, nenek meraih pena dan langsung membubuhkan tanda tangannya. Saat itu mata si dokter menatap tajam kemudian dia berkata.
"Sekarang saya membutuhkan tempat agar Ibu bisa berbaring nyaman hingga pekerjaan saya tuntas dengan sempurna."
Nenek terkesima, si dokter tiba-tiba sudah berdiri sambil menjinjing tas, sesaat nenek terpikir apakah tadi orang ini setinggi itu?
"Ku-kurasa kita bisa memakai ranjang kamarku yang berada di lantai 2."
Dua hari berlalu, gadis itu merasakan ada yang janggal. Nenek tak pernah meneleponnya lagi dan panggilan teleponnya juga tak terjawab.
Esok harinya si Gadis memutuskan untuk ke rumah neneknya. Saat tangannya menyentuh daun pintu, pintunya terbuka sendiri.
Gadis itu memasuki rumah, memanggil neneknya, tapi tak ada sahutan.
"Nek, Nenek!" kakinya melangkah menaiki anak tangga. Tiba di depan kamar neneknya, ia berhenti. Pintu kamar itu sudah terbuka sedikit.
"Neek..," panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Sunyi.
Tangannya terjulur membuka pintu. Tengkuknya bergidik, terasa hawa dingin.
"Neekh..," panggilnya pelan.
"Neek, Nenek ada dima—" Dia berhenti memangil karena sayup didengarnya ada suara bergumam tak jelas. Dia melangkah ke ujung tempat tidur, tanpa sengaja jarinya menyentuh besi ranjang yang dingin.
Gadis itu melihatnya, dia langsung berteriak tapi suaranya tercekat karena terlalu takut kemudian pingsan.
Di pojokan kamar teronggok tumpukan daging setinggi 1 meter. Di onggokan daging itu, tampak sebuah kalung panjang bermatakan batu delima, itu adalah kalung pemberiannya untuk sang nenek. Sekarang neneknya sudah menjadi onggokkan daging berbalut kulit, tanpa ada satu tulang pun tersisa di tubuhnya.