Saat ini istriku sering pulang malam, tapi aku maklum dengan pekerjaannya yang menumpuk. Berkas-berkas kantor banyak yang harus diselesaikan sebelum tutup anggaran. Dan aku sendiri sudah mengijinkan istriku untuk mengambil lemburnya. Aku tidak khawatir istriku selalu pulang malam, karena aku menugaskan Idrus--adikku--untuk menjemputnya.
“Maaas ....” panggil istriku manja.
“Iya, ada apa?” balasku lembut.
“Aku punya kejutan, Mas.” katanya.
Aku berpikir sejenak. Kejutan apa lagi yang mau diberikan istriku? Padahal seminggu yang lalu dia baru saja memberiku sebuah jam tangan merek SEIKO. Buat hadiah ulang tahunku katanya.
“Kamu bawa kejutan apa lagi, sayang, mobil?”
Istriku tersenyum.
“Aku hamil, Mas.” ucapnya sumringah.
“Hamiiill?” sontak saja aku terkejut sambil menatap wajah istriku.
“Iya, mas, aku hamil. Kok kamu nggak senang sih, Mas?”
Mulutku bagaikan terbius dan tenggorokanku kering kerontang, tatapanku tajam melihat bola matanya yang semula bersinar terang. Namun kini redup.
“Kamu hamil dengan siapa, Rin?” tanyaku tertahan. Istriku malah kewalahan dengan pertanyaanku.
“Dengamu, Mas. Ini bayi kita.”
Aku tersenyum kecut.
“Kamu tidak akan mungkin hamil denganku, Rin.”
“Mas, kenapa kamu ngongong seperti itu?”
“Apa kamu tidak tahu, kemarin aku sudah memeriksakan kesuburanku, Rin. Dan ternyata aku mandul!”
Istriku terbelalak kaget. Wajahnya berubah pias menatap mataku.
“Katakan, bayi siapa yang ada dalam kandunganmu?!”
Istriku malah tertunduk dan sesenggukan. Tidak menjawab sama sekali.
“Katakan, Riiin?!!” bentakku.
Aku menatap Idrus yang tiba-tiba nongol di ruang tamu.
Braaaak!!! Plaaaak!!!