Jendela itu kelihatan berbeda malam ini. Dan si kakek akhirnya muncul di sana, menatapku dengan mata terbuka. Kosong. Tapi, barangkali dia sudah lama tertidur sebelum sempat menyadarinya.
Seminggu sebelumnya, aku menyaksikan bayang-bayang monster—berkepala oval besar, mata kuning atau putih seperti cahaya lampu, dan tangan-tangan aneh yang memegangi kisi-kisi jendela dengan ragu.
Monster itu tidak pernah ada sebelumnya. Jendelanya selalu gelap, seakan kedap suara, dan tebal serta berlumut. Si kakek memasang tirai hitam dan gerendel besar di gerbang kayu pendek rumah itu. Dan dari jarak beberapa meter, debu-debu yang menempel di segala sudut seakan menyembunyikan semua hal dengan sempurna.
Kemudian, sekitar pukul sembilan malam sepulang bekerja, untuk pertama kalinya tirai jendela si kakek tersibak sedikit, namun cukup untuk memperlihatkan sesuatu di dalamnya.
Monster!
"Ada 'yang mati lagi' di sana—kata orang yang masuk barusan. Asalnya dari ruang bawah tanah. Aku curi dengar."
Seseorang berbisik-bisik. Dia adalah wanita yang menemukan mayat kakek di jendela, lalu segera menelepon polisi, alih-alih menatap balik mata kosong si kakek dengan bodoh seperti yang kulakukan.
"Ada makhluk aneh di sana. Dia pembunuh kakek itu," jawabku.
Si wanita barusan memicingkan mata, lalu menoleh ke arah jendela yang tadi. Yang baru saja menampakkan wajah mengerikan, bukan sekadar tatapan seseorang. Rumah itu kini dipenuhi cahaya lampu dan kerumunan. Si kakek sudah pergi, namun bayang-bayang monster seakan menggelantung di langit-langit.
Aku memikirkan banyak hal logis selain kemungkinan sesuatu menggerogoti tubuh si kakek, sesuatu melahapnya, atau sesuatu menyisakan tulangnya saja.
Lalu tahu-tahu, teriakan polisi menyentak kesadaranku, membuat kami refleks mundur menjauhi rumah itu—mengikuti instruksinya.
Selama sepersekian detik yang melelahkan, polisi lain muncul melewati pintu ... membawa satu mayat lain.
Monster itu?
Apakah dia dilahap makhluk lain yang lebih besar? Yang tubuhnya tidak pernah muncul di jendela?
"Itu ... itu anjing?"
Bukan! Itu monster!
Ingin rasanya aku meneriaki semua orang di tempat ini. Tapi, semua hal berubah memuakkan ketika monster lain dibawa ke luar, menuju halaman depan yang tidak pernah tersentuh.
Lima. Sepuluh. Lalu belasan. Lalu ... puluhan. Mendekati seratus?
"Kalau saja ada yang melihat anjing ini lebih awal ...," bisik petugas yang membawa makhluk aneh pertama tadi. Tubuhnya mengerikan, kurus, dan tidak kelihatan seperti binatang. Dia lebih mirip ... monster?
Kakek itu terbunuh oleh monster berbentuk binatang? Atau binatang berbentuk monster?
Langkahku goyah ketika belasan lain muncul dari pintu. Muka mereka sama mengerikannya. Busuk. Bau. Dan berwarna pekat seperti kotoran. Kurus. Tidak terawat. Terkekang.
Mereka binatang biasa?
Tidak ada pembunuhan?
Tidak ada makhluk aneh di rumah itu?
Anjing pertama tadi ... mungkinkah dia sengaja menyibak tirai dengan sisa tenaga untuk mencari pertolongan?
Kakek itu mengunci mereka di ruang bawah tanah. Lalu entah bagaimana, dia menyelinap naik, atau wajahnya cukup lucu sehingga kakek membiarkannya keluar.
"Untunglah, usianya tidak bisa diperpanjang lagi," kata si wanita dengan ekspresi kosong, sementara aku tertegun menatap semua bangkai di sana. Si kakek mungkin tidak berbeda dengan kolektor pranko, perhiasan, atau pencinta tanaman hias. Dia bahkan cukup beruntung karena koleksinya berhasil menyibak tirai selebar mungkin untuknya—di hari terakhir pertemuan kami.
Saat tangan hitam monster itu seolah melambai-lambai, aku berbalik pergi.