Hari ini Syamsi kembali pulang setelah 3 bulan menyepi.
Syamsi, kawanmu itu tidak terlihat segar. Ia justru lebih kurus, lelah, layu. Beberapa kali kudapati ia tercenung.
Syamsi yang lelah itu ternyata membawa berita mengejutkan. Ia bilang akan kembali terlibat dengan segala "kegaduhan" politik. Ia akan ikut pilkada lagi. Berkali gagal, ulangi lagi, dan cari akal katanya.
Aku tertegun. Bukankah sebelum pergi menyepi, ia bilang akan kembali ke "habitat"nya, sebagai socialpreneur dan akan menjauh dari segala "kegaduhan" ?
Syamsi, kawanmu yang cerdas itu lalu menarikku dalam pelukkannya, ia berbisik menjawab tanyaku yang bersuara lewat tatapan tertegunku. "Aku ini laki laki normal. Laki laki normal itu punya ambisi...."
Aku menghela napas, "Ambisi apa?"
"Berkuasa," jawabnya sambil menatap lekat dua bola mataku.
Oh, Syamsi. Why? Why?
Tak bisa kutahan untuk tak cemberut. Kutepis tangannya dan beringsut menjauh, tapi Syamsi kembali menarikku dalam peluknya.
"Dan aku mau kamu tetap di sampingku," katanya sambil mengikat tubuhku yang berusaha melepaskan diri.
"Aku butuh tempat pulang kala lelah," suaranya tercekat. Jantungnya berdebur riuh. Tubuhnya menggigil.
Kalau sudah begini mana sanggup aku membuatnya kecewa. Aku terpaksa luluh dalam peluknya, membalas setengah hati dengan benakku yang terus menyuarakan ketidakrelaan.
Duh… Syamsi...tahukah kau di "habitat"mu kau terlihat hidup, segar, penuh semangat? Karena itu aku jatuh cinta padamu. Di "kegaduhan" kau menjadi kering, manipulatif, lalu lelah. Aku benci itu. Benci sekali! (dks)