Seorang gadis berwajah Ayu nampak tersenyum lebar begitu langit menurunkan hujan sesaat setelah dirinya sampai dipondok gubuk tempat dirinya dan para remaja serta anak-anak biasa melakukan pengajian yang wajib dilaksanakan setiap sorenya.
Bibirnya semakin merekah— tersenyum lebar kala dia menjulurkan tangannya, menengadah membiarkan tetes demi tetes hujan yang jatuh dari pinggiran genteng berjatuhan ke atas telapak tangannya hingga menciptakan rasa dingin yang menjalar sampai ke tangannya.
Saking asiknya dengan kegiatannya itu, gadis itu sampai tak menyadari kehadiran seorang pemuda tampan, berkulit putih bersih dengan kumis tipis yang tumbuh di bawah hidungnya nampak terlihat berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Pemuda itu memakai baju koko berwarna putih serta peci hitam terpasang dikepalanya dengan terusan sarung coklat bercorak batik. Pemuda itu terlihat menarik kedua sudut bibirnya, begitu melihat gadis dihadapannya itu terlihat sangat bahagia saat dia memainkan air hujan yang membentuk tirai dihadapannya.
Sembaring berdehem, pemuda yang terlihat lebih tua di atas gadis itu melangkahkan kakinya, menghampiri sang gadis.
Cahaya, gadis berwajah Ayu itu replek menoleh ke belakang begitu dirinya mendengar deheman tersebut, di mana matanya langsung menemukan sosok pemuda itu.
“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu dengan ramah begitu dia berdiri beberapa meter disamping kanan Cahaya.
“Wa'alaikum salam,” balas Cahaya.
Pemuda itu tersenyum ramah.
“Saya Shabir, Muhammad Shabir Sharif Abbdullah Rahmat.” Tanpa diminta pemuda itu memperkenalkan dirinya sendiri, masih dengan senyum ramah terpatri di bibirnya.
“Kamu boleh panggil saya apa pun, kak, mas atau abang juga boleh,” ucapnya lagi.
Cahaya mendongakkan wajahnya untuk lebih jelas menatap Shabir membuat matanya langsung bertemu dengan mata coklat pemuda itu.
“Matamu Indah,” celetuk Shabir.
“Indah karena Allah yang menciptakannya,” balas Cahaya sontak mengalihkan pandangannya ke depan —menatap pada hujan.
“Boleh saya tahu namamu?”
“Saya Cahaya,” jawab Cahaya.
“Nama yang Indah, persis seperti orangnya,” gumam Shabir kemudian tersenyum manis membuat detak jantung Cahaya berubah cepat.
“Saya ingin mengenalmu lebih jauh, bolehkan.”
Cahaya kembali melirik Shabir yang masih setia tersenyum ke arahnya.
“Kalau Allah mengijinkan, boleh-boleh saja,” balas Cahaya lantas mengembangkan senyumnya.
“Kalau begitu saya akan meminta ijin kepada Allah untuk mengenalmu lebih jauh.”
***
“Kamu kenapa sih senyum-senyum terus dari tadi,” tanya Wulan merasa heran karena Cahaya dari tadi terlihat senyum-senyum sendiri.
Cahaya melirik pada Wulan masih dengan senyum malu-malu di bibirnya.
“Nggak papa, aku cuman keinget sama mimpi semalam aja.”
“Memangnya kamu mimpi apa sih, sampai senyum-senyum gitu. Kasih tahu dong aku kepo nih.”
Cahaya menggeleng, “Rahasia,” jawabnya membuat Wulan berdecak.
“Pelit.”
Cahaya hanya nyengir saja melihat sahabat sejak kecilnya itu merajuk. Tak lama kemudian senyum cahaya luntur saat gadis itu melihat sosok yang sejak dari tadi dia pikirkan mendadak muncul dihadapannya.
Dari kejauhan Shabir berjalan menuju ke arah Cahaya. Cahaya merasa gugup dan malu di tempatnya, dia tidak pernah menyangka akan bertemu pemuda itu dikehidupan nyatanya.
“Assalamualaikum, Cahaya.”
Cahaya menelan salivannya. Merasakan detak jantungnya yang berdebar hebat saat Shabir melempar senyum manis kepadanya.
“Wa'alaikum salam,” balas Cahaya.
“Aku mau kasih proposal sama kamu.”
“Proposal apa?”
“Proposal untuk mengenalmu lebih dalam, aku sudah minta ijin sama Allah dan Allah mengijinkan.” Shabir tersenyum lebar, melihat Cahaya yang tersipu malu.