Siang itu hatimu langsung dilanda sedih tak tertahan ketika seorang gadis kecil dengan skuter mininya menyambutmu keluar dari kasir Megamarket. Ia bersama teman-teman tk-nya riuh riang gembira di wahana permainan.
Melewati mereka, kau memaksakan sebuah senyuman, meski menyadari pula setetes bening menggantung di sudut mata.
Keluar dari Mall berlantai 5 itu seorang mas-mas membukakan pintu kaca untukmu, kau kembali memaksakan senyuman, meski terdengar di telingamu, suaramu tercekat duka ketika berucap terima kasih.
Di mobil menunggu si mbak men-swipe kartu parkirmu, kau kembali tercenung hingga tersentak ketika si mbak berkata, “Ibu, maaf kartunya nggak berfungsi.”
“Oya? Tapi masih ada saldonya kok, Mbak…”
Si mbak mengulang lagi. Dan gagal lagi, lalu berkata,”Bukan kartu Ibu yang rusak tapi mesinnya.”
Sepanjang 3 hari berikutnya kau ambruk. Otakmu selalu bilang jangan menangis, toh sudah 5 tahun berlalu (tapi umur mereka juga lima tahun jika hidup, seumur gadis kecil itu dan teman-temannya)
Otakmu kembali berkata, ini takdirmu menjadi perempuan tanpa anak. Jadi jangan menangis lagi. Jangan menyimpan duka diam-diam, karena manusia yang menyimpan duka adalah manusia yang tak tawakal. Kau paham sepaham menghitung jumlah jari tangan dan kakimu, tapi herannya jiwa dan air matamu lagi-lagi luruh menangis perih.
Teruntuk Arsa dan Ayana
Maafkan Ibu,
Maafkan Ibu,
Yang masih menyimpan duka diam-diam.