“30 Paspor di Kelas Sang Profesor” sebuah buku yang sering dibaca oleh Nadya. Bahkan, saat ini gadis itu sedang membaca buku sekuelnya yang berjudul “30 Paspor : The Peacekeepers Journey”
“Mengapa kamu suka membaca buku dengan tulisan berat macam begitu?” tanya Lana yang sejak tadi duduk bersama Nadya di kantin kampus sambil menikmati milkshake.
Sejenak Nadya menutup bukunya, menatap Lana yang dipenuhi rasa keingintahuan. “Karena aku begitu menikmati setiap kalimat yang ditulisnya. Sarat dengan makna,” jawabnya.
“Memang, sih, kalimatnya indah. Aku juga pernah sedikit mengintip buku bacaanmu itu!”
“Lalu, apa kamu juga menyukai buku ini dan penulisnya?”
Lana terkekeh seraya menutup mulutnya. “Ah! Mana mungkin!” kilahnya. “Dari gaya penulisannya saja sudah dapat ditebak. Orangnya pasti tua, botak, dan berjenggot,” imbuhnya dengan yakin.
Nadya tersenyum seraya menggeleng. “Kalau kamu membayangkannya seperti itu, kamu salah besar, Lana!”
Mata Nadya mengedar ke seluruh penjuru kantin. Didapatinya seorang pemuda yang mengenakan slayer kepala, serta jaket berbahan jeans tengah duduk sambil membaca buku dan menikmati kopinya. “Lan, coba kamu perhatikan laki-laki itu!” titahnya seraya memberi isyarat kepada Lana agar menoleh ke arah belakang. Gadis yang terkenal cerewet itu pun menurut. “Dialah penulis buku ini!”
Lana sangat terkejut. “Maksudmu Jombang Santani Khairen, si asisten dosen itu yang menulis buku ini?”
“Ya! Itulah sebabnya kukatakan kamu salah jika menyangka penulis buku ini adalah seseorang yang tua, botak, dan berjenggot!”
Lana benar-benar tidak menyangka, jika nama J.S Khairen yang tertera pada buku “30 Paspor di Kelas Sang Profesor” sebagai penulisnya adalah seorang pria muda dan bukanlah sosok orang tua yang botak, apalagi berjenggot.