GADIS KECIL TEWAS DIANIAYA AYAH TIRI - DITENGGELAMKAN DALAM TOREN SESUDAH DISIKSA TUJUH HARI DAN DIBIARKAN KELAPARAN
Sintia mengusap judul kliping koran yang telah kusut dan menguning. Air matanya runtuh, diharukan judul dan isi kliping berikutnya, yang juga separuh menguning.
KUMBARA, AYAH TIRI PENYIKSA ANAK DIJATUHI PIDANA MATI – Hukuman maksimal itu dibacakan majelis hakim PN Jakarta Utara, Kamis (14/4)...
Terpidana mati itu meminta bertemu dengan Sintia. Ini permintaan terakhirnya, sebelum dieksekusi keesokan harinya, kematian yang mengakhiri dosa-dosanya di dunia. Baiklah, mengingat hubungan mereka di masa lalu, Sintia bersedia mengabulkan keinginan Kumbara, si pesakitan. Anggaplah ini yang terakhir kulakukan untukmu, Kisanak. Sintia membatin dengan pedih, karena Kisanak adalah sapaan mesranya untuk Kumbara.
“Kisanak apa kabar?” Sintia angkat bicara, menghadapi Kumbara yang dingin dan menatapnya tajam, masih tak berkata-kata meski mereka bertatap muka belasan menit lamanya.
Kumbara bungkam. Si pesakitan merasa tak perlu berbasa-basi. Sudah lama ditunggunya momen ini. Untuk menikam hati perempuan yang pernah dicintainya, juga mantan istri yang dibencinya. Akhirnya, bisa kubalaskan dendamku untukmu. Kumbara menelan api kemarahan yang tak padam, melahap wajah si perempuan tanpa ampun, sehabis-habisnya, dan sebengis yang ia bisa.
“Sin, dengan senang hati kuakui, sampai detik ini pun aku tidak menyesal menghabisi putrimu itu.” Kumbara tanpa kasihan menikam sang mantan istri, tepat di poros hatinya yang ringkih. Aku ingin kau menangisi hari ini selama-lamanya. Kumbara membatin puas.
“Aku bahkan sempat mencekiknya, sebelum kulempar tubuhnya dalam tandon air. Kurasakan tulang lehernya remuk dan napasnya tercekat. Aku sungguh menyukai rasanya.” Kumbara membelalakkan mata, hendak menikmati kesedihan dalam sorot Sintia, ibu dari putri tiri yang dibunuhnya.
“Oh, bisa kulihat kamu memang bukan manusia biasa, Kisanak.” Di luar dugaan, mata Sintia berkilatan dengan jemawa. “Karena kamu adalah binatang buas. Bahkan binatang pun tidak membantai darah dagingnya sendiri. Kamu hebat, Kumbara mantan ayah dari putriku.” Si perempuan meneruskan dengan kalem, memberi tekanan pada kata mantan dan ayah.
“Apa maksudmu? Darah daging apa? Putrimu itu kan buah penyelewenganmu dengan Munawa. Tak ada hubungan denganku.” Kumbara berlagak tenang meski hatinya berontak keras. Susah payah ia menata napasnya yang porak poranda.
Sintia tetap dingin, mengangsurkan map cokelat kasar, kaku bergemerisik saat berpindah tangan pada Kumbara. Sesuai permintaan khusus Kumbara, mereka bertatap muka tanpa sekat kaca, tetapi pertemuan itu dikawal ketat oleh sipir dan polisi khusus. Kumbara pun membaca isi map dengan ekspresi pucat. Hasil tes DNA yang menyatakan bahwa Remi, putri tiri yang dibunuhnya bukan putri biologis mendiang Munawa, yakni suami pertama Sintia dan saingan cinta Kumbara.
“Aku tidak menikahimu waktu itu, karena tidak ingin Remi punya ayah sepertimu. Syukurlah Remi meninggal dengan mengira kau ayah tirinya, karena kau takkan pantas menjadi ayah kandungnya.” Sintia menyorot jahat, puas melihat kepanikan hebat dalam wajah mantan suami keduanya. Rasakan dan nikmati penyesalanmu, Kisanak. Sintia berujar diam-diam.
Seketika, tubuh Kumbara menegang. Bibirnya melampiaskan jeritan menyayat, “BOHONG!” sebelum terdiam untuk selamanya. Saat sekarat, terlintas paras Remi yang agak menyerupai dirinya. Betapa si bocah sulit membedakan kiri dan kanan, persis seperti dirinya. Penyesalan. Itulah vonis kematian terkejam bagi seorang manusia. Kumbara pun terbunuh dengan membawa rasa sesal.