Seperti film atau adegan di theater, adegan mesra buah kasih sayang dari sepasang manusia yang sedang jatuh cinta semakin terlihat romantis, semakin digemari atau berbuah tepukan tangan dan haru dari penonton. Walau demikian, ada sesuatu yang terjadi dibaliknya sebelum adegan dimainkan setelah sutradara berkata; "action" dari pemeran pasangan kekasih itu.
Di depan penonton adegan itu begitu mesra dan membuat penonton yang sedang berpasangan iri dan ingin mencontoh untuk bisa melakukannya, penonton tak pernah tahu apa yang ada di balik adegan itu. Apakah mereka benar-benar saling jatuh cinta atau hanya memerankan lakon saja? Sehingga, berulang kali para produser film menggunakan rasa ingin tahu penonton untuk menjual film lewat ’gosip’ hubungan pemeran utama.
Sebuah kemesraan cinta, romantika dan sikap perhatian terhadap pasangan juga perlu latihan dan kerja keras dari kedua belah pihak yang dimadu kasih.
Tak pernah kita menyangka bahwa sepasang kekasih yang memperlihatkan adegan ciuman mesra di depan kita beberapa menit sebelumnya atau sesudahnya bertengkar hebat atau bahkan memutuskan untuk berpisah.
Bingungkah anda?
Kita tak pernah bisa membayangkan bahwa sebuah adegan mesra baik dalam film maupun kehidupan yang sebenarnya, perlu dilatih berulang-ulang.
Bab 1 : Usil
Seorang lelaki yang berjarak tiga langkah dari hadapanku berkata, “Aku cinta kamu!”
Dan di jawab oleh pasangannya, “Aku juga!” Lalu kedua pasangan itu saling berciuman mesra di tengah keramaian orang yang hilir mudik menikmati suasana malam di sebuah mall.
Aku? Sendirian, tentunya. Iri? Mungkin. Tapi aku ingin menikmati kesendirianku tanpa siapa pun yang menggandeng tangan, mencium bibir atau pun memelukku di tengah hawa dingin yang menerpa tempat tinggalku.
****Bab-bab Lain dalam Hidup****
Tanpa disadarinya setiap hari ia menorehkan luka di hatiku, sampai suatu saat mungkin hatiku akan mati untuknya.
Sedih dan tangis tercurah setiap kali menerima goresan luka di hatiku darinya. Tetapi lebih sedih lagi mengetahui yang menggoreskan luka ini tak pernah menyadari tindakannya, sampai kapan aku bisa sabar dan membiarkan dirinya melukaiku. Entah.
Takut mencoba lagi, setiap kali diskusi dan pembicaraan mengenai kritikan sikap dan tingkah lakunya terhadapku berbuah pertengkaran.
Lelah hati dan diriku untuk mencurahkan energi menahan goresan yang sedikit demi sedikit membuka celah di hatiku, celah untuk melirik yang lain; yang bisa menyembuhkan luka ini.
Terlintas di pikiran untuk lari darinya, meninggalkan untuk menyatakan bahwa aku lelah bersamanya tapi tak pernah sanggup ku melakukannya. Entah karena gengsi akibat mesranya kami dulu, entah karena janji yang kuucapkan di depan altar untuk sehidup-semati bersamanya dalam suka dan duka.
Bisakah kutarik kembali janji itu darinya, hanya waktu yang bisa menjawab hal itu.