Panggil saja namanya Jamila. Seorang wanita paruh baya berusia 45 tahun. Ia memiliki empat orang anak, tiga orang anak lelaki dan satu anak perempuan. Jamila terlihat, seperti ibu rumah tangga lainnya yang tinggal dirumah, memasak dan mengurus rumah. Setiap pagi Jamila dengan mengenakan daster longgar akan belanja pada pedagang sayur keliling di komplek. Jika telah berkumpul dengan ibu-ibu komplek lainnya. Wanita paruh baya ini mulai menjadi ayam yang berkotek di pagi hari. Tidak ada satu warga komplek 'pun yang lewat dari gunjiangan bibir tipisnya termasuk ibu-ibu yang sedang bergunjing dengan mereka saat ini. Aku hanya bisa menatap bingung dari balik jendela. Kumpulan Ibu-ibu komplek layak kumpulan tawon yang siap menyengat, dan aku hanya bisa berharap bukan akulah bahan gunjiangan mereka.
"Mulut Si Jamila itu, sungguh gak bisa di daur ulang!" celoteh Bunda dengan raut muka merah padam sehabis membeli sayur.
"Masih pagi, Bun!"
"Ngapain ngomel-ngomel? Entar makin tua, loh!" ucapku sembari tertawa kecil, meredupkan amarah hati Bunda.
"Kalau Bunda gak malu sama tetangga yang lain, udah Bunda kasih rawit tuh mulut comelnya!"jawab Bunda dengan nada suaranya semakin tinggi.
"Kenapa Bunda semarah itu? Memangnya dia bilang apa?"
"Kamu dibilang perawan tua! Percuma sekolah tinggi-tinggi, tetapi gak nikah-nikah!" terang Bunda yang mengagetkanku.
"Aku gak setua itu, Bun!"
"Aku masih 25 tahun loh! Emang dia nikah umur berapa, udah bilang aku perawan tua!?" Dengusku kesal.
"Di zaman Bunda, wanita 25 tahun udah memiliki 2-3 orang anak."
"Waduh!"
"Kenapa kamu kaget?"
"Kalau 25 tahun udah punya 2-3 anak, mereka nikahnya umur berapa dong, Bun?"
"Ya, umur belasan," jawab Bunda santai mengagetkanku.
"Kalau begitu bukan aku yang perawan tua, tetapi daulah muda yang kegatelan pada nikah muda."