“Api, ini apa?” tanya seorang anak perempuan bernama Marina.
“Oh Ini ... ini untuk Ina.” Alfian menyerahkan sebuah kerajinan perahu dari kain, Alfian sendiri lah yang telah merakitnya.
“Wah, bagus sekali! Tapi, kenapa Api bikin perahu? Api kan tau Ina gak suka perahu. Perahu udah jahat sama Ina. Dia yang bawa papah Ina pergi," ucapnya menahan tangis, dia teringat ayahnya yang hilang ditelan badai tahun lalu.
“Iya Api tau, maka dari itu Api buat perahu untuk Ina. Api mau, Ina gak benci sama perahu. Karena nanti perahu ini yang akan bawa Ina buat ketemu Api.”
Marina mengerutkan keningnya. “Maksudnya apa?”
“Perahu ini memang milik Api, tapi karena pelabuhan Api ada di Ina. Jadi ini sekarang milik Ina.”
Marina masih mengerutkan keningnya. “Ina gak ngerti Api ngomong apa!”
Alfian terkekeh kecil. "Nih!" Alfian memberikan perahu kain yang sudah selesai dirakitnya.
“Makasih Api,” ucapnya sambil melihatkan deretan gigi putihnya.
Alfian mengangguk. Lalu dia melihat ke arah jam “Aduh, Api lupa!”
“Lupa kenapa?”
“Api udah janji sama mom, akan pulang cepat.”
“Kenapa cepat-cepat. Tak biasanya mom menyuruh Api pulang cepat, apalagi ketika bersama Ina.”
“Kata mom. Kita akan pindah rumah. Ina jangan sedih ya Api pergi. Api bakal inget tempat pulang Api,” ucapnya lalu segera berlari dari sana.
“Apiiiiii...” teriak Marina.
Seseorang bangun dari tidurnya dengan nafas memburu.
"Huh mimpi itu lagi," ujarnya sambil mengelus keringat yang muncul di dahinya.
Marina tidak langsung turun dari tempat tidurnya, dia menolehkan kepalanya untuk melihat jam. Jam menunjukkan pukul 3 sore, dia baru terlelap kurang dari 10 menit. Marina mengambil sebuah figura yang ada di sebelah jam, dia menatap tangkapan kenangan yang berhasil diabadikan di dalam sana, 2 orang anak kecil yang sama-sama sedang sibuk dengan mainannya masing-masing.
“Api ... aku mengerti sekarang apa perkataanmu itu, tapi kenapa belakangan ini aku selalu memimpikan hal yang sama? Merasakan sakit hati yang sama seperti saat kamu pergi dulu?” ujarnya sambil mengusap foto anak laki-laki yang ada di figura itu.
“Berikan kabarmu dengan cepat, ya. Aku harus menghampirimu dengan perahu, kan? Walau kamu bilang aku pelabuhan, tapi kalau memang diperlukan, pelabuhan ini akan menghampiri perahunya. Aku berjuang untuk tidak takut lagi dengan perahu dan itu semua cuma untuk kamu, Api ... cepat pulang.”
Marina kembali menyimpan figura itu dengan baik di tempatnya semula, dia merapihkan rambutnya lalu turun ke bawah untuk makan siang yang sebenarnya sudah sangat terlewat. Saat berada di ruang televisi, di sebuah meja, Marina melihat ada sebuah kertas, dia mengambil kertas itu.
“Undangan pernikahan?” tanyanya sambil membolak-balikkan undangan yang ada di tangannya. Marina pun membuka undangan itu.
Alfian Satya Hadikusuma
&
Bianca Veronica
Marina menarik kedua sudut bibirnya hingga senyum kecil terbentuk di wajahnya. Semuanya jelas sekarang.