“Pergi dan jangan pernah kembali!” usir Jarot. “Aku sudah muak denganmu!”
Jarot melempar buntalan berisi pakaian istrinya dan mendarat tepat di tengah pintu.
“Kau tidak perlu mengusirku dua kali,” balas Esti. ”Dasar suami tak berguna. Bisanya cuma marah-marah.”
“Assalamu—”
Ilman tercekat. Dia berdiri terpaku di ruang tamu, menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Dia baru saja pulang sekolah dengan seragam putih biru yang bermandi peluh. Ilman tertunduk lesu. Sudah tak terhitung kali dia menjadi saksi kemelut rumah tangga orang tuanya.
“Ilman, ayo pergi dari sini!” Esti menyeret lengan Ilman.
“Ilman, masuk!” titah Jarot. Suara basnya menggelegar garang.
Melihat istri dan anaknya terus mengayun langkah, secepat kilat Jarot memburu mereka, lalu mencekal sebelah lengan Ilman lainnya.
Ilman terombang-ambing seperti seutas tali tambang, ditarik oleh dua kutub yang saling berlawanan.
“Hentikan!”
Ilman menjerit ketika tak satu pun dari ayah atau ibunya mau mengalah. Persendian lengannya seolah akan lepas dari tempatnya.
Napas Ilman mengap-mengap. Dadanya bergerak liar naik-turun. Menahan beban emosi yang saling pintal dengan rasa lelah dan dahaga.
“Aku tidak akan ikut Bapak ataupun Ibu,” putus Ilman.
Manik matanya memerah saga. Bukan hanya karena terbakar amarah, tetapi juga luka yang menganga tak berdarah.
“Ilman!”
Jarot dan Esti kompak berteriak pada ruang hampa. Ilman tak lagi tercacak di depan mereka. Remaja tanggung itu telah melarikan diri, membawa sekeping luka batin yang entah kapan akan pulih.
Ilman terus berlari, menantang arah terik matahari. Peluh di keningnya berjatuhan. Namun, tak sekali pun ia berhenti walau kakinya terasa kian letih.
Derap langkah kaki Ilman berubah sunyi tatkala tiba di sebuah rumah papan yang sangat sederhana. Dinding rumah itu tegak miring. Belahan papan melekang di sana-sini. Sungguh tak layak disebut rumah, melainkan sebuah gubuk reyot. Mata Ilman berkaca-kaca dalam keprihatinan.
Derit pintu menjerit pilu ketika seorang wanita renta menariknya begitu Ilman mengucap salam.
“Ilman!” Dyah berseru kaget.
“Nenek!”
Nenek dan cucu saling berpelukan haru selama beberapa waktu. Membasuh wajah lelah dengan derai air mata.
“Mari masuk!”
Seiring waktu berlalu, Ilman sudah terbiasa dengan kehidupan barunya bersama sang nenek. Ia tak lagi peduli dengan kabar angin yang menyampaikan pesan bahwa ibunya telah memiliki keluarga baru di kampung halamannya. Begitu pula dengan ayahnya. Lelaki tak bertanggung jawab itu tak sekali pun pulang membesuk Dyah yang sudah semakin renta.
“Makan siang dulu, Man!” panggil Dyah dari pintu belakang.
“Sebentar lagi, Nek.”
Dyah beranjak masuk. Meninggalkan Ilman yang masih asyik bergelut dengan tanaman-tanaman sayur yang baru saja disianginya dari rumput-rumput liar.
Ilman bertekad akan membuktikan kepada orang tuanya dan juga dunia. Dia tetap bisa sukses walau tanpa kasih sayang dan bimbingan orang tua.
Seluruh dunia boleh saja menelantarkan dirinya, tetapi dia tidak boleh menghancurkan masa depannya sendiri. Dia harus bangkit dari keterpurukan dan tak pernah melebur dalam keputusasaan seperti beberapa teman sekelasnya yang menjadi korban keluarga berantakan. Tidak! Dia harus tetap berdiri kokoh melawan hempasan gelombang kehidupan.
Jika dia menyerah pada keadaan, maka tak seorang pun mampu menyelamatkannya dari kehancuran. Dia harus terus berjuang karena dia yakin bahwa dia masih punya Allah Yang Maha Kuasa atas segala takdir kehidupan.
***