“Ke sawah … Sawah Pak Suroyo,” teriak Fahri. Lalu ia segera membuang gulungan senar ke sembarang arah.
“Fahri …,” teriak Toni. “Tunggu!”
Fahri tak peduli dengan panggilan Toni. Ia berlari menjauhi lapangan. Menerobos rumput gajah setinggi dadanya. “Di sana! Ayo buruan!” Fahri menoleh ke arah Toni sembari mengayunkan kedua tangannya ke atas.
Toni dengan napas tersenggal-senggal berusaha mengejar Fahri.
“Makanya makanmu jangan banyak-banyak,” sahut Fahri dari kejauhan. “Ini keberuntungan kita, dapat layang-layang besar. Sebelum mereka sampai dulu,” tambahnya.
Samar-samar terdengar, “Di sana. Ayo buruan!”
Fahri mempercepat gerakannya.
Tiba-tiba ….
“AW …,” teriak Fahri. Ia mencoba melihat tumitnya. Darah terlihat mengalir dari sana. Dia duduk di galengan sawah sembari menekan tumitnya yang terluka. Ia membuka semak-semak. Terlihat ada bekas darah pada ujung runcing sisa batang rumput gajah. “Hem …,” gumam Fahri. Tangannya mengambil air dari pematang sawah, lalu mengusap darah yang keluar dari tumitnya.
“Kenapa?” tanya Toni yang sudah ada di belakangnya.
“Ini kakiku nginjak sesuatu,” jawab Fahri.
“Wah, berdarah. Kamu gak pakai sandal sih!”
Fahri berdiri. “Sudah, ayo cepat!” dia berusaha berjalan dengan kaki yang berjinjit.
“Mau aku gendong?” canda Toni.
“Mau …,” jawab Fahri.
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Dari kejauhan terdengar suara, “Yey. Kita dapat!”
Fahri menoleh ke arah Toni, “Kamu harus mengecilkan perutmu besok!”
Toni diam melihat tim lawan memegang layang-layang berbentuk pesawat sembari berlari penuh kebahagiaan.
Beberapa detik kemudian.
NGEEENG ... NGEEENG ….
“Ada pesawat,” ucap Toni.
“Itu adalah target kita selanjutnya!”
“Hah?” bibir Toni membentuk huruf O—melongo.
“AYO KITA KEJAR!” teriak Fahri. Ia berlari berjinjit dan berteriak, “PAK … LEMPARKAN UANGNYA! KAMI AKAN MENANGKAPNYA!”
Toni ikut berteriak, “HOI, LEMPARKAN UANGNYA. KAMI AKAN MENGAMBILNYA!”
“HAHA,” mereka tertawa terbahak-bahak sembari berlari mengejar pesawat yang mulai hilang dari pandangan mata.