Srek … Srek ….
Tangan kecilmu terlihat membersihkan dedaunan yang ada di bawah pohon rambutan itu. Kamu menoleh kepadaku. “Hei, kenapa kau diam saja! Dasar lelaki tak berguna!” ucapmu sarkasme.
Aku hanya duduk di sampingmu. Melihat apa yang kamu lakukan.
Aku melihatmu saat kamu memegang pacul Mang Johan. Tanganmu sangat terampil menggali tanah. “Cepat bantu aku!” katamu. “Kalau tidak dalam, nanti terlihat oleh orang yang lewat di sekitar sini. Gunakan linggis itu!”
Aku memegang linggis yang kamu tunjuk. Aku kerahkan tenagaku untuk menggali lebih dalam lagi. “Sudah?” Aku menoleh kepamu.
“Masih kurang dalam!” Kamu mengambil linggis itu dari tanganku dan mulai mencabik-cabik bekas galian yang aku buat. Sangat tidak manusiawi. Napasmu sudah mulai kacau, begitupula dengan keringat di pelipismu.
“Sini, aku gantikan!”
Kamu duduk berselonjor di atas tanah. Tangan kotormu mengusap wajahmu yang terlihat seperti gembel kelaparan. “Apa lihat-lihat?”
Aku menatapmu dengan senyum sinis. “Kamu memang aneh!”
Aku duduk di sampingmu.
“Lima belas tahun lagi, kita sudah jadi orang dewasa. Kita harus datang ke sini. Kita baca mimpi-mimpi kita. Apakah mimpi kita akan menjadi kenyataan? Atau malah sebaliknya. Yang tidak terwujud harus mau diceburin ke kolam ikan Mang Johan!” celotehmu sembari memasukkan botol coklat bekas kecap manis berisi kertas bertuliskan 100 mimpi kita ke dalam lubang itu.
“Kalau begitu aku harus berjuang mewujudkan mimpi itu!”
“YA, HARUS!” jawabmu mantap sembari menginjak-injak bekas lubang itu dengan kaki mungilmu.
“Semoga kamu bersedian di masa itu,” ucapku lirih.
“Ha?”
Aku tersenyum kepadamu saat itu.
Kamu tahu apa mimpiku saat itu? Mimpiku adalah mimpi kita. Aku berharap kamu adalah masa depanku. Menyematkan cincin di jari manismu adalah impian terbesarku saat usiaku masih 10 tahun.
Dan kini … kamu sedang bercanda, tertawa, dan mengulang beberapa adegan itu bersamaku di tempat yang sama. Namun, sudah ada cincin yang melingkar di jari manismu.
“Selamat ya!” ucapku kepadamu. “Aku siap masuk kolam Ikan Mang Johan. HAHA.”
“Ah, sayangnya kolam ikan itu sudah berevolusi menjadi butik. Bagaimana kalau kamu yang bayar separuh acara resepsi pernikahanku? Atau … seperempat?”
Kita tertawa terbahak-bahak ditemani angin semilir yang menerpa untaian rambut panjang hitammu.