Ponsel Nadine bergetar di atas meja, memecah keheningan malam dengan suara notifikasi singkat. Ia melirik layar dengan malas, mengira itu hanya pengingat rutin atau pesan promosi tak penting. Namun, begitu matanya menangkap pengirimnya, detak jantungnya melambat.
Nomor tak dikenal.
Dan yang lebih mengejutkan—ada satu pesan suara.
Perasaan tak nyaman merayapi dirinya. Dengan ragu, ia menekan tombol play.
“Nadine... tolong temukan aku.”
Suara itu membuat tubuhnya membeku. Nadine mengenalnya dengan baik, meskipun sudah lama tak mendengarnya. Itu suara seseorang yang telah menghilang dari hidupnya sejak sepuluh tahun lalu—suara adiknya, Satria.
Darahnya berdesir. Tidak mungkin. Ini pasti tipuan. Bagaimana mungkin seseorang bisa meniru suara Satria dengan begitu nyata? Nadine merasakan dadanya sesak. Polisi telah menutup kasus ini bertahun-tahun lalu. Mereka menyimpulkan bahwa Satria mungkin telah mati, meskipun tak pernah ditemukan bukti nyata.
Dengan tangan gemetar, ia mengetik balasan.
Siapa ini? Apa yang kau inginkan?!
Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Satu pesan suara lagi masuk. Napas Nadine memburu saat ia memutarnya.
"Aku masih di sini, Nadine... di tempat terakhir kita bertemu."
Dada Nadine terasa sesak. Ia menutup mulutnya, menahan desakan ketakutan yang mulai menyusup.
Tempat terakhir mereka bertemu...
Hanya ada satu tempat yang dimaksud—rumah tua keluarga mereka. Rumah itu telah lama terbengkalai setelah tragedi yang menghancurkan hidup mereka. Sejak Satria menghilang, ayah mereka meninggal karena serangan jantung. Ibunya, yang tak sanggup menghadapi penderitaan itu, mengakhiri hidupnya sendiri. Dan sekarang, suara dari masa lalu memanggilnya kembali ke tempat itu. Tanpa membuang waktu, ia meraih kunci mobil dan melaju menuju rumah yang telah lama ia hindari.
Rumah tua itu berdiri di tengah gelapnya malam, tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali ia melihatnya. Catnya mengelupas, jendela-jendela dipenuhi debu, dan suasana di sekitarnya begitu sunyi hingga hanya suara angin yang terdengar.
Nadine melangkah masuk dengan hati-hati. Lantai kayu berderit di bawah kakinya, seakan menjerit protes karena lama tak diinjak manusia. Bau lembap dan debu memenuhi udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih halus—sesuatu yang terasa asing namun familiar. Saat ia menghembuskan napas untuk menenangkan diri, ponselnya kembali bergetar.
Satu pesan suara lagi.
Dengan jantung berdegup kencang, ia menekan tombol play.
"Turun ke bawah... ke ruang bawah tanah."
Lutut Nadine melemas. Ia hampir menjatuhkan ponselnya. Ruang bawah tanah. Satu tempat di rumah ini yang selalu dihindari.
Dulu, ayahnya pernah mencoba membuka ruangan itu setelah Satria menghilang. Namun, sebelum sempat masuk, ia terkena serangan jantung dan meninggal di ambang pintunya. Ibu mereka, yang semakin tenggelam dalam kesedihan, menolak membiarkan ruangan itu dibuka, seolah di dalamnya tersimpan sesuatu yang tak boleh diketahui siapa pun.
Nadine merasakan kakinya berat saat mendekati pintu kayu tua di ujung lorong. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh gagangnya. Dingin. Engsel berkarat berdecit ketika ia mendorongnya perlahan.
Tangga kayu menuju ke bawah terlihat gelap dan sempit. Cahaya ponselnya menjadi satu-satunya sumber penerangan. Ia menarik napas dalam, menahan ketakutan yang berdesakan dalam dadanya lalu menuruni tangga satu per satu.
Begitu ia mencapai lantai ruang bawah tanah, bau busuk yang menyengat langsung menusuk hidungnya. Bau itu begitu kuat hingga membuatnya hampir muntah.
Ponselnya bergetar lagi.
Satu pesan suara lagi.
Tangannya gemetar hebat saat ia menekan play.
"Aku di sini..."
Detik itu juga, cahaya ponselnya menangkap sesuatu di sudut ruangan. Sebuah peti kayu tua. Tertutup rapat, namun di sekelilingnya terdapat bekas cakaran panjang, seolah ada yang pernah mencoba keluar dari dalamnya.
Jantung Nadine berdegup kencang, hampir memekakkan telinganya. Ia menelan ludah dan perlahan mendekati peti itu. Dengan tangan gemetar, ia meraih pegangan kayunya dan menarik tutupnya dengan seluruh tenaga. Tutup peti itu terbuka dengan suara berat.
Dan saat melihat isinya, Nadine menahan jeritan yang nyaris meledak dari tenggorokannya. Di dalamnya, terbaring sesosok tubuh yang sudah lama membusuk. Kulitnya telah mengering, menyatu dengan tulang yang rapuh. Namun sisa-sisa pakaian yang masih melekat padanya cukup untuk Nadine mengenalinya.
Itu Satria.
Air mata mengalir deras di pipinya. Tenggorokannya tercekat. Jika Satria telah mati selama ini...
Lalu, siapa yang mengirim pesan-pesan itu?
Tubuhnya mulai gemetar hebat. Jantungnya berdegup terlalu cepat, seolah bisa meledak kapan saja. Perlahan, ia menoleh ke ponselnya, tepat saat satu pesan suara lain masuk.
Tangannya terasa mati rasa saat ia menekan play.
"Sekarang kau tahu, Nadine..."
Suara itu bukan lagi suara Satria. Nada suaranya berubah—lebih dalam, dingin, dan mengancam. Dan yang lebih mengerikan... suara itu tidak berasal dari ponselnya, melainkan dari belakangnya.
Nadine ingin menoleh, tetapi tubuhnya seakan membatu. Pikirannya berteriak, menyuruhnya lari, tetapi kakinya tak bisa digerakkan. Cahaya ponselnya tiba-tiba berkedip-kedip. Lalu, semuanya menjadi gelap.